Logo
>

Konsumsi Batu Bara di Australia Belum Senggol Pasar RI

Ditulis oleh KabarBursa.com
Konsumsi Batu Bara di Australia Belum Senggol Pasar RI

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI/ICMA) menegaskan bahwa penurunan konsumsi batu bara di Australia belum memberikan dampak signifikan terhadap pasar batu bara Indonesia.

    Gita Mahyarani, Plt Direktur Eksekutif APBI/ICMA, mengonfirmasi bahwa penggunaan batu bara untuk pembangkit di Australia telah turun di bawah 50 persen, tepatnya menjadi 49,2 persen selama dua pekan terakhir.

    Langkah ini merupakan bagian dari upaya Australia untuk melakukan transisi energi dengan mengurangi proporsi energi fosil dalam sektor kelistrikan mereka.

    “Transisi ini menjadikan Australia salah satu pasar tenaga listrik yang paling tidak stabil di dunia, menyebabkan penangguhan perdagangan spot yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Juni 2022,” jelas Gita dalam keterangannya pada Rabu, 4 September 2024.

    Dibandingkan dengan data sebelumnya, penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik di Australia telah menurun drastis dari puncaknya di 87 persen pada tahun 2006 menjadi 56 persen pada tahun lalu.

    Pada tahun 2023, energi angin dan matahari menyumbang 31 persen dari total output listrik negara tersebut, dengan pembangkit listrik tenaga angin menyuplai sedikit lebih dari 25 persen dalam dua pekan terakhir.

    Menurut Gita, langkah Australia ini belum mempengaruhi stok dan harga batu bara global secara signifikan. Porsi ekspor batu bara dari Indonesia juga tetap stabil meski terjadi penurunan konsumsi di Australia. Australia lebih banyak memproduksi dan mengekspor batu bara kokas berkalori tinggi ke Jepang.

    Pada Agustus, negara tersebut mengirimkan 7 juta ton batu bara kokas ke Jepang, sedangkan ekspor ke China mencapai sekitar 5,5 juta ton, yang merupakan salah satu tujuan utama ekspor batu bara termal Indonesia.

    “Bila dibandingkan dengan Indonesia, pada Juli, Indonesia mengekspor 18,80 juta ton batu bara ke China dan 2,4 juta ton ke Jepang. Perbedaan kualitas batu bara yang ditawarkan menunjukkan bahwa dampak terhadap Indonesia belum signifikan,” tambah Gita.

    Per Selasa, 3 September 2024, harga batu bara di pasar ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman bulan ini tercatat USD142 per ton, mengalami penurunan 1,32 persen dan mencapai level terendah sejak 31 Juli, atau lebih dari sepekan terakhir. Harga batu bara sempat mengalami lonjakan dan mencapai USD150 per ton pada pertengahan Agustus, yang merupakan level tertinggi sepanjang tahun 2024.

    Dari sisi fundamental, kabar dari Australia tampaknya memberikan sentimen negatif terhadap harga batu bara. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, proporsi batu bara dalam bauran energi Australia turun di bawah 50 persen.

    Batu Bara Masih Dominan

    Kebutuhan batu bara sebagai sumber energi tetap mendominasi baik di Indonesia maupun secara global. Setelah mengalami lonjakan produksi pada tahun ini, pemerintah Indonesia menetapkan target produksi batu bara yang lebih tinggi untuk 2024.

    Staf Khusus Menteri ESDM untuk Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif, mengungkapkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil masih sangat besar. Pada bauran energi primer hingga Agustus 2023, batu bara masih menyumbang 38,8 persen.

    “Tren produksi batu bara terus meningkat. Pada 2023, produksi mencapai 695 juta ton, dan untuk 2024, targetnya adalah 710 juta ton, dengan kebutuhan dalam negeri mencapai 220 juta ton,” jelas Irwandy pada Selasa, 19 Desember.

    Menurut data MODI ESDM, produksi batu bara tahun ini adalah yang tertinggi dalam sembilan tahun terakhir. Hingga Desember 2023, produksi mencapai 751 juta ton, atau 108,28 persen dari target produksi tahun 2023 sebesar 695 juta ton.

    Penjualan domestik tercatat sebesar 324,14 juta ton, sementara ekspor mencapai 381,84 juta ton. Pada Desember 2023, persentase Domestic Market Obligation (DMO) baru mencapai 40,19 persen, dengan realisasi 71,06 juta ton dari rencana DMO sebesar 176,80 juta ton.

    Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara (Aspebindo), Anggawira, menyatakan bahwa permintaan batu bara dari luar negeri menurun tahun ini karena musim dingin tidak sedingin biasanya.

    “Namun, dari sisi RKAB, kami melihat kenaikan karena konsumsi domestik yang meningkat,” kata Anggawira.

    Dia menambahkan, konsumsi batu bara sangat dinamis, dipengaruhi oleh situasi geopolitik. Meski begitu, dia memperkirakan ekonomi akan membaik tahun ini, yang akan berdampak positif pada konsumsi dan harga batu bara.

    “Meskipun mungkin harga tidak akan melonjak setinggi saat COVID-19, China telah melakukan strategi buffering stock hampir 500 juta ton,” tambahnya. Strategi ini bertujuan untuk menstabilkan harga energi di China dan memastikan ketersediaan batubara saat dibutuhkan.

    Anggawira juga melihat potensi pasar baru untuk ekspor batu bara ke Bangladesh dan India. “Pasar di India dan Bangladesh tampaknya menjanjikan, namun dukungan solusi finansial diperlukan,” ujarnya.

    Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, mengungkapkan bahwa proyeksi industri batu bara untuk tahun depan menunjukkan permintaan ekspor masih positif. Konsumsi domestik juga menunjukkan penguatan.

    “Namun, dengan pasokan yang tinggi, pasar global batu bara termal diperkirakan mengalami oversupply. Dalam kondisi ini, harga kemungkinan akan tertekan. Diperkirakan harga batu bara akan melandai pada 2024,” ujar Hendra, dikutip Rabu 4 September 2024.

    Hendra menambahkan bahwa menurut banyak proyeksi, harga batu bara di 2024 akan berada pada level harga September-November 2023, sekitar USD131 per metrik ton.

    “Pelaku usaha tentu berharap harga batu bara bisa lebih tinggi,” imbuhnya.

    Hendra juga mencatat bahwa prospek bisnis batu bara di tahun depan sangat bergantung pada harga komoditas dan biaya operasional tambang. Seiring harga batu bara yang melandai, biaya produksi tambang terus meningkat.

    Setiap tahun, tambang harus menggali lebih dalam, sehingga rasio stripping semakin besar, yang berakibat pada kenaikan biaya penambangan. Selain itu, harga bahan bakar juga semakin mahal.

    Regulasi seperti penerapan kewajiban Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan skema Mitra Instansi Pengelola (MIP) juga mempengaruhi biaya pertambangan.

    “Sebagai catatan, tarif royalti yang diberlakukan pada 2022 untuk pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) jauh lebih tinggi dibandingkan tarif sebelumnya. Begitu pula dengan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus-Operasi Produksi (IUPK-OP) yang mengalami tarif royalti yang sangat tinggi,” pungkasnya. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi