KABARBURSA.COM - Konsumsi masyarakat selama Ramadan 2025 tetap meningkat, namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dinilai terbatas.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti bahwa peningkatan konsumsi ini tidak serta-merta menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Achmad menjelaskan bahwa struktur ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada belanja pemerintah dan investasi. Ia menyebutkan bahwa kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB saat ini hanya sebesar 54 persen, turun dari 57 persen pada 2022, yang menunjukkan melemahnya daya dorong konsumsi terhadap perekonomian.
“Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB hanya 54 persen, turun dari 57 persen pada 2022,” ungkapnya dalam keterangannya kepada KabarBursa.com, Selasa, 18 Maret 2025.
Selain itu, Achmad menyoroti kebocoran impor yang mengurangi multiplier effect dari belanja masyarakat. Ia menjelaskan bahwa setiap Rp1 juta yang dibelanjakan untuk produk impor hanya menyumbang 0,3 persen terhadap PDB, jauh lebih rendah dibandingkan produk lokal yang menyumbang 0,7 persen.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa belanja masyarakat tidak selalu berujung pada pertumbuhan ekonomi yang maksimal jika lebih banyak mengalir ke produk impor,” katanya.
Faktor lain yang turut membatasi dampak konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan harga pangan dan energi. Pada 2025, sebanyak 65 persen pengeluaran keluarga dialokasikan untuk kebutuhan pokok seperti pangan dan transportasi, menyisakan hanya 35 persen untuk belanja sekunder seperti fashion dan elektronik.
“Akibatnya, meski nominal konsumsi naik, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan,” ujar Achmad.
Belanja Fashion Terhimpit Impor dan Daya Beli Lesu
Dia menyoroti Sektor fashion yang biasanya mengalami lonjakan permintaan menjelang Lebaran tahun ini menghadapi tantangan besar. Banjir produk impor dan melemahnya daya beli masyarakat membuat industri tekstil lokal kesulitan bersaing.
Pada 2024, sekitar 37 ribu kontainer pakaian impor, baik legal maupun ilegal membanjiri pasar domestik. Meski pemerintah telah menerapkan pembatasan impor pakaian bekas dan memperketat regulasi, dampaknya masih belum signifikan.
Berdasarkan survei Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penjualan produk tekstil lokal pada Januari-Maret 2025 hanya tumbuh 3 persen, jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 15 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.
“Padahal, tradisi “baju lebaran” masih kuat. Masyarakat tetap membeli pakaian baru, tetapi dengan budget lebih ketat,” terangnya.
Adapun, rata-rata pengeluaran untuk busana Lebaran 2025 diperkirakan berkisar Rp500.000–Rp800.000 per keluarga, lebih rendah dibandingkan Rp750.000–Rp1,2 juta pada 2024.
Makanan dan Minuman: Bertahan di Tengah Tekanan Harga
Lebih lanjut, ia mengatakan berbeda dengan sektor fashion, dia mengatakan UMKM makanan dan minuman tetap menjadi pemenang di Ramadhan 2025.
“Tradisi buka puasa bersama, takjil, dan kirim hampers Lebaran menjadi pendorong utama,” ungkapnya.
Kategori makanan dan minuman (F&B) menyumbang 45 persen dari total transaksi e-commerce selama Ramadhan 2025, dengan nilai diprediksi mencapai Rp535 triliun.
Namun, pertumbuhan tersebut hanya mencapai 8 persen, lebih rendah dibandingkan 12 persen pada 2024, berdasarkan data BPS. Kenaikan harga bahan baku seperti gula, tepung, dan minyak goreng di awal 2025 membuat UMKM terpaksa menaikkan harga jual.
“Harga kue kering Lebaran, misalnya, naik 10-15 persendibandingkan 2024,” ungkap dia.
Tantangan Lebaran 2025
Dia menilai kondisi ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan ekonomi nasional. Setidaknya ada tiga faktor utama yang memperburuk situasi. Pertama, ketergantungan pada impor bahan baku dan produk jadi membuat Indonesia rentan terhadap gejolak global.
Kedua, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak pro-rakyat kecil, seperti kenaikan PPN 11 persen, Suku bunga tinggi dibandingkan kawasan ASEAN, semakin memberatkan daya beli. Ketiga, kurangnya perlindungan bagi tenaga kerja dan UMKM membuat mereka menjadi korban pertama saat krisis melanda.
"Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, Lebaran 2025 bukan hanya akan dikenang sebagai momen yang suram, tetapi juga sebagai awal dari krisis ekonomi yang lebih dalam," tandasnya.
Pembangunan Dan Daya Beli Masyarakat
Pemangkasan anggaran di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai berpotensi menekan konsumsi masyarakat serta mengurangi belanja di daerah. Chief Economist Permata Bank Josua Pardede, menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak pada pengeluaran pemerintah, tetapi juga mempengaruhi program pembangunan dan daya beli masyarakat.
“Multiplier akan melemah, baik program daerah dan infrastruktur. Ini berisiko menurunkan daya beli,” ujar Josua dalam konferensi pers Permata Institute for Economics Research (PIER) Economics Review: FY 2024, Senin, 10 Februari 2025.
Presiden Prabowo telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dan Pelaksanaan APBN serta APBD Tahun Anggaran 2025. Kebijakan yang diterbitkan pada 22 Januari 2025 ini menargetkan penghematan sebesar Rp50,5 triliun pada dana transfer ke daerah (TKD), dengan total efisiensi APBN mencapai Rp306,6 triliun.
Josua menambahkan, selain berdampak pada konsumsi masyarakat, kebijakan ini juga akan mempengaruhi proyek-proyek yang didanai oleh anggaran daerah. Akibatnya, sektor konstruksi, jasa, serta pendapatan daerah berpotensi mengalami perlambatan.
“Dampaknya juga ke jasa pariwisata,” ujar dia.
Sementara, Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana, menilai bahwa efisiensi ini tidak serta-merta menambah ruang fiskal bagi program-program prioritas, terutama karena adanya risiko penerimaan pajak yang tidak mencapai target.
“Jika pemerintah berhasil menghemat Rp306 triliun sekalipun, maka bukan berarti pemerintah punya 306 triliun tambahan untuk program-program yang ingin direncanakan, namun besar di antaranya digunakan untuk memenuhi kekurangan dari pendapatan perpajakan yang berpotensi tidak mencapai target APBN 2025, sebagaimana target kenaikan penerimaan perpajakan yang tidak tercapai di 2024,” ujar Andri kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Selasa, 4 Februari 2025.
Dari jumlah penghematan tersebut, sekitar setengahnya atau Rp150 triliun berpotensi menjadi dana segar yang bisa dialokasikan untuk program prioritas Presiden terpilih Prabowo Subianto, seperti makan bergizi gratis (MBG). Namun, Andri meragukan kelayakan anggaran tambahan Rp100 triliun yang diajukan untuk mempercepat target 82,9 juta penerima MBG hingga akhir 2025.
“Saya berani mengatakan angka Rp100 triliun tersebut mengada-ada. Untuk memenuhi target 17 juta penerima secara bertahap dari Januari hingga September saja, anggaran yang diperlukan mencapai Rp71 triliun, dan itupun diperkirakan hanya akan cukup sampai bulan Juni. Untuk memenuhi target 82,9 juta penerima, dengan implementasi seperti sekarang ini, anggaran yang dibutuhkan tidak akan kurang dari Rp400 triliun,” tegasnya.
Untuk diketahui, pemangkasan ini tertera dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025. Adapun beberapa pos belanja yang selama ini dianggap membebani anggaran dipangkas secara drastis.(*)