KABARBURSA.COM - Penurunan tajam dalam kinerja industri manufaktur, yang seiring dengan melambatnya ekonomi nasional, kini tengah menjadi perhatian serius para pengusaha.
Menurut laporan terbaru dari S&P Global, Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan Juli 2024 terjatuh ke level 49,3, turun dari posisi 50,7 pada bulan sebelumnya. Ini menandai kontraksi pertama kalinya sejak Agustus 2021, mengakhiri periode ekspansi selama 34 bulan berturut-turut.
Di tengah penurunan PMI Manufaktur Indonesia, pertumbuhan ekonomi nasional juga melambat menjadi 5,05 persen year on year (yoy) pada kuartal II-2024. Banyak pihak menilai bahwa penurunan ini dipicu oleh masalah kebijakan relaksasi impor yang menyebabkan subsektor manufaktur kewalahan.
Shinta W. Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menjelaskan bahwa masalah impor ilegal dan predatory pricing adalah penyebab utama yang merusak permintaan terhadap industri nasional. Meskipun fenomena ini bukan hal baru, dampaknya baru terasa lebih signifikan dalam kondisi pasar yang kurang stabil.
“Isu impor ilegal dan predatory pricing seperti penyakit kronis yang dampaknya baru muncul ketika kondisi pasar sedang buruk,” ujar Kamdani Rabu 7 Agustus 2024.
Menurut Kamdani, masalah utama saat ini adalah melemahnya kondisi pasar domestik yang mengakibatkan penurunan permintaan. Sebagian besar industri manufaktur Indonesia berorientasi pada pasar domestik, berbeda dengan negara-negara ASEAN-5 seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura yang lebih fokus pada ekspor. PMI manufaktur di negara-negara tersebut justru mengalami kenaikan karena perbaikan dalam permintaan ekspor, meski tidak signifikan.
PMI manufaktur sangat dipengaruhi oleh daya beli, keinginan, dan kepercayaan konsumen di pasar utama industri. Penurunan PMI saat ini menunjukkan adanya gejala pelemahan dalam ketiga faktor tersebut. Subsidi yang mendukung daya beli dan konsumsi masyarakat kelas menengah bawah terhenti sejak akhir Juni 2024, yang berimbas pada perlambatan pertumbuhan konsumsi di segmen ini.
Selain itu, transisi kepemimpinan di Indonesia turut mempengaruhi ekspansi usaha dan konsumsi, dengan ketidakpastian mengenai arah kebijakan ekonomi dari pemerintahan baru. Ini berdampak pada potensi pendapatan masyarakat, dengan pertumbuhan lapangan kerja dan produktivitas ekonomi yang stagnan.
Permintaan dari kelas menengah atas juga terdampak oleh ketidakpastian ekonomi, termasuk risiko suku bunga tinggi dan pelemahan rupiah. Dampaknya, konsumsi terhadap barang-barang tahan lama seperti kendaraan, hunian, elektronik, dan pengeluaran investasi menurun. Tren ini sudah mulai terlihat sejak akhir tahun lalu.
Apindo memandang bahwa kuartal III-2024 tidak memiliki momentum konsumsi besar seperti kuartal I atau II yang memiliki momentum Ramadan dan Lebaran Idulfitri. Oleh karena itu, sulit untuk mendongkrak konsumsi pasar domestik dalam kondisi ekonomi saat ini.
Apindo merekomendasikan stimulus untuk meningkatkan produktivitas ekonomi dari sisi suplai, termasuk fasilitasi ekspor, investasi, pembiayaan usaha, dan insentif untuk UMKM. Selain itu, stimulus konsumsi seperti pemotongan PPN, insentif pembelian barang tahan lama, dan keterjangkauan suku bunga kredit ritel perlu dipertimbangkan.
Penegakan hukum terhadap impor ilegal dan predatory pricing harus terus dilakukan untuk memacu suplai dan produktivitas industri manufaktur nasional. Bea masuk anti dumping (BMAD) dan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) juga bisa menjadi instrumen yang mendukung pemulihan industri, meskipun perlu dikonsultasikan dengan pelaku usaha untuk memastikan kebijakan tidak kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, sependapat bahwa perekonomian Indonesia saat ini semakin menunjukkan perlambatan. "Kemungkinan bisa di bawah 5 persen, Indef memproyeksikan 4,8 persen untuk keseluruhan 2024 ini," tutur Eko.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalia Situmorang, menyatakan bahwa dalam skenario terburuk, dengan adanya tiga faktor tersebut, perekonomian Indonesia bisa melambat hingga ke level 4,9 persen yoy. Angka ini meleset dari target pemerintah sebesar 5,2 persen yoy.
Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak melemah lebih dalam, belanja pemerintah perlu disiapkan guna menjaga daya beli kelas menengah ke bawah.
"Karena di tengah kontraksi manufaktur, badai PHK, dan deflasi, konsumsi kelas menengah masih cukup solid, dan pertumbuhan kredit masih bisa tumbuh dua digit," tutur Ana, sapaan akrab Hosianna.
Di sisi lain, Ana berharap penurunan suku bunga The Fed dapat menjadi angin segar bagi sektor riil tahun ini.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, sependapat bahwa perekonomian Indonesia saat ini semakin menunjukkan perlambatan.
"Kemungkinan bisa di bawah 5 persen, Indef memproyeksikan 4,8 persen untuk keseluruhan 2024 ini," tutur Eko. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.