Logo
>

Kop Des Merah Putih Berisiko, BUMDes Bisa Terancam

Celios memperingatkan potensi kebocoran hingga Rp48 triliun jika koperasi desa Merah Putih dipaksakan masuk ke skema pembiayaan dana desa.

Ditulis oleh Dian Finka
Kop Des Merah Putih Berisiko, BUMDes Bisa Terancam
Transaksi pedagang dan pembeli di sebuah pasar tradisional. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Program pendirian Koperasi Desa (Kop Des) Merah Putih dinilai berpotensi menimbulkan risiko fiskal besar bagi desa-desa di Indonesia. 

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Galau D. Muhammad, menyebut program tersebut tidak hanya membebani keuangan desa, tetapi juga membuka celah kebocoran anggaran hingga ke ranah ekonomi akar rumput (underground economy).

Menurut Galau, program koperasi desa yang masuk melalui pendekatan top-down seperti ini sangat sentralistik. 

"Temuan Celios menunjukkan, 63 persen perangkat desa merasa bahwa dana desa yang ada saat ini saja sudah sulit dialokasikan sesuai kebutuhan riil masyarakat, ujar Galau dalam dalam siaran pers di Jakarta, Rabu, 4 Juni 2025.

Apalagi jika kemudian dipaksa untuk dialihkan demi membiayai koperasi yang notabene belum tentu relevan dengan kebutuhan lokal.

“Dana desa tanpa pengurangan untuk koperasi saja sudah tidak leluasa. Ketika ada tuntutan baru, risikonya makin besar,” tegas Galau.

Celios memproyeksikan, total risiko fiskal yang harus ditanggung desa jika program koperasi desa dijalankan bisa mencapai Rp33,6 triliun. Angka ini merupakan estimasi cicilan pokok plus bunga selama masa tenor pinjaman 10 tahun, dengan asumsi setiap desa mengajukan pinjaman Rp3 miliar.

Jika dibagi bulanan, maka ada beban sekitar Rp2,8 triliun per bulan yang harus ditanggung secara kolektif oleh desa-desa.

“Perbankan yang sudah cukup berat membiayai banyak program pusat juga akan kena imbasnya. Likuiditas bisa terganggu,” kata Galau.

Selain beban angsuran, Galau juga menyoroti potensi kebocoran anggaran. Berdasarkan skema pembiayaan Rp3 miliar untuk 80 ribu desa, maka total kebutuhan mencapai Rp240 triliun. Jika mengacu pada standar konservatif Bank Dunia, potensi kebocoran 20 persen berarti sekitar Rp48 triliun bisa masuk ke ranah underground economy.

Dibagi rata dalam jangka waktu 10 tahun, potensi kebocoran itu sekitar Rp4,8 triliun per tahun atau sekitar Rp60 juta per desa. Nilai itu setara dengan 6,8 persen dari total dana desa nasional yang saat ini sebesar Rp71 triliun.

Jika skema pinjaman Rp3 miliar per desa dijalankan, maka total cicilan dan bunga akan mencapai Rp336 triliun selama 10 tahun. Dengan total anggaran dana desa dalam 10 tahun sekitar Rp710 triliun, maka hanya tersisa Rp374 triliun untuk kebutuhan pembangunan.

“Artinya, hampir separuh dana desa, atau tepatnya 48,7 persen, akan tersedot hanya untuk membayar pinjaman koperasi. Ini angka yang sangat mengkhawatirkan,” tutur Galau.

Ancaman terhadap BUMDes, Program Sosial, dan Kemandirian Lokal

Celios juga mencatat dampak lanjutan lain dari skema ini, yakni tergesernya anggaran untuk program gizi seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan matinya perlahan badan usaha milik desa (BUMDes).

“Di banyak daerah, PMT jadi salah satu program langsung yang menyentuh masyarakat. Tapi sekarang anggarannya malah digeser seenaknya untuk pembiayaan koperasi,” katanya.

Galau juga menegaskan, eksistensi BUMDes yang selama ini dibangun secara bertahap dengan penyertaan modal dari desa juga terancam tergeser oleh koperasi baru yang tidak lahir dari inisiatif lokal.

“Kami sudah bertahun-tahun membangun BUMDes, tiba-tiba muncul lembaga baru yang tidak jelas dari mana. Kami juga punya KUD (kredit usaha desa), Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), asosiasi. Sekarang bagaimana kami mengelola semua ini bersamaan?” ujar Galau mengutip keluhan perangkat desa yang diwawancarai.

Dalam temuan Celios, 35 persen perangkat desa menyatakan kekhawatiran bahwa pendirian Koperasi Desa Merah Putih akan menghambat perkembangan BUMDes. Sementara itu, 23 persen menyebut koperasi baru itu secara langsung mengganggu pendapatan usaha masyarakat.

Tak berhenti di situ, Galau juga membeberkan skema pelibatan TNI dalam penyediaan obat di desa yang dinilai akan menggeser peran rantai pasok farmasi yang selama ini digarap sektor swasta.

Menurut simulasi Celios, jika laboratorium milik TNI mengambil alih suplai obat-obatan di desa, maka potensi kerugian di sektor farmasi swasta bisa mencapai Rp4,7 triliun.

“Masyarakat desa sangat tergantung pada obat tanpa resep. Kalau penyediaannya digeser tanpa perhitungan matang, sektor swasta yang sudah bangun sistem efisien bisa tumbang,” jelas Galau.

Politisasi dan Potensi Konflik dari Program Koperasi Desa

Program ini juga dinilai bisa memicu konflik horizontal di desa. Sebanyak 46 persen perangkat desa menyatakan khawatir koperasi desa Merah Putih akan menimbulkan benturan kepentingan di antara pelaku usaha lokal, elite desa, dan masyarakat.

Celios juga mencatat indikasi politisasi program. Sebanyak 35 persen responden menyatakan bahwa koperasi desa Merah Putih adalah program politik.

Menggunakan metode simulasi kursi Webster, Galau menunjukkan bahwa dengan skema 80 ribu koperasi yang masing-masing punya minimal 100 anggota, 5 pengurus, dan 3 pengawas, maka potensi munculnya 400 ribu pengurus dan 160 ribu pengawas bisa diarahkan sebagai lumbung suara politik.

“Kalau ini dijadikan kendaraan elektoral, potensi tambahan kursi bisa mencapai 34 sampai 46 kursi, tergantung konfigurasi koalisi,” tutup Galau. (*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.