KABARBURSA.COM - Di tengah gejolak ekonomi yang belum juga reda, Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ancaman PHK massal, melambatnya pertumbuhan ekonomi, hingga janji pekerjaan yang belum terealisasi. Dampaknya, daya tahan rumah tangga semakin tergerus.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, mencatat banyak rumah tangga yang sebelumnya mampu memenuhi kewajiban cicilan kini mulai kesulitan. Usaha kecil yang dulunya berkembang kini mulai terhambat oleh pasar yang sepi.
Meski Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan belum mengumumkan situasi darurat, data menunjukkan perkembangan yang mengkhawatirkan. Non-Performing Loan (NPL) atau kredit macet secara nasional meningkat dari 2,08 persen pada akhir 2024 menjadi 2,24 persen pada April 2025.
Meskipun angka ini terkesan kecil, penurunan penyaluran kredit menunjukkan bahwa bank semakin berhati-hati, namun masalah tetap ada.
“Dengan kata lain, ketika bank lebih berhati-hati menyalurkan kredit pun, kemampuan bayar debitur tetap memburuk,” ujar Achmad dalam pernyataan resminya, Senin, 9 Juni 2025.
Achmad menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia seperti mobil yang membutuhkan bahan bakar berupa kepercayaan dan penghasilan masyarakat untuk terus melaju.
Ketika pendapatan stabil, kredit menjadi alat yang mempermudah masyarakat membeli rumah, mengembangkan usaha, atau membiayai pendidikan. Namun, ketika pendapatan menurun, kredit berubah menjadi beban.
“Mobil yang tadinya melaju kini mogok, bahkan mulai mundur,” ungkapnya.
Fenomena ini semakin terlihat pada sektor UMKM, yang merupakan penyerap tenaga kerja non-formal terbesar di Indonesia. NPL pada sektor UMKM tetap tinggi, sekitar 4 persen selama setahun terakhir.
Pada Maret 2025, NPL UMKM mencapai 4,14 persen, dengan segmen menengah mengalami lonjakan terbesar, yakni 5,19 persen.
Selain itu, NPL pada sektor kredit rumah tangga juga mengalami kenaikan, dari 1,99 persen menjadi 2,33 persen dalam setahun. Lebih mengkhawatirkan lagi, NPL Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melonjak hingga mencapai 3,07 persen.
Ini menunjukkan bahwa bahkan masyarakat kelas menengah pun mulai terancam kehilangan rumah, aset yang selama ini dianggap sebagai bagian penting dari stabilitas finansial mereka.
“Ketika rumah pun terancam karena cicilan yang tak terbayar, maka ekonomi rakyat benar-benar sedang berada di ambang krisis martabat,” tutur Achmad.
Penyebab Kenaikan NPL
Menurut Achmad, penyebab kenaikan NPL tidak hanya satu faktor, melainkan saling terkait. Ekonomi Indonesia saat ini tengah menghadapi tekanan dari sisi produksi dan konsumsi.
Dari sisi produksi, banyak sektor usaha, terutama UMKM dan industri padat karya, mengalami penurunan permintaan. Pasar yang lesu, terbatasnya permintaan ekspor, dan meningkatnya persaingan dengan produk luar negeri tanpa proteksi yang memadai semakin menyulitkan kondisi.
“Usaha menengah terpukul keras karena tidak mendapat insentif fiskal sebaik perusahaan besar,” kata Achmad.
Di sisi konsumsi, masyarakat menghadapi inflasi kebutuhan pokok, kenaikan biaya pendidikan dan transportasi, namun pendapatan tidak mengalami kenaikan. Ditambah dengan ketidakpastian pekerjaan akibat PHK atau kontrak yang tidak diperpanjang, banyak orang mulai menahan diri untuk berutang lebih jauh.
Sebagian besar masyarakat pun terpaksa mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup, dan ketika tabungan habis, utang pun menumpuk.
“Inilah bom waktu yang sedang berdetak,” kata Achmad.
Saat pendapatan menurun dan utang bertambah, kemampuan bayar akan semakin tertekan.
“Ketika banyak yang jatuh bersamaan, sistem perbankan mulai goyah,” tambahnya.(*)