KABARBURSA.COM - Sebelum ketegangan dengan Israel meningkat, Iran sudah terhimpit oleh inflasi tinggi, pengangguran yang meroket, dan nilai tukar mata uang yang terus terjun bebas. Lalu, apakah ekonomi negara tersebut mampu bertahan jika konflik bersenjata berkepanjangan terjadi?
Eskalasi ketegangan antara Iran dan Israel semakin cepat ketika Teheran meluncurkan setidaknya 180 rudal ke Israel pada 1 Oktober 2024, yang memicu kenaikan harga minyak global sekitar lima persen, kenaikan terbesar dalam setahun terakhir.
Harga minyak mentah Brent kembali naik keesokan harinya, melampaui USD75 per barel setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bersumpah untuk membalas serangan tersebut. Hal ini semakin meningkatkan risiko terjadinya eskalasi timbal balik di kawasan yang memasok sepertiga dari kebutuhan minyak dunia.
Peningkatan aksi militer oleh Iran berisiko menyeret Amerika Serikat ke dalam konflik, tulis penyedia data Capital Economics dalam catatan kepada para investornya pada hari serangan terjadi. Ini akan mempengaruhi harga minyak, yang disebut sebagai "saluran utama transmisi ke ekonomi global."
"Iran menyumbang sekitar empat persen dari produksi minyak global, tetapi yang perlu diperhatikan adalah apakah Arab Saudi akan meningkatkan produksinya jika pasokan minyak Iran terganggu," tulis Capital Economics. Kenaikan harga minyak lima persen bisa menambah sekitar 0,1 persen terhadap inflasi di negara-negara maju.
Analis dan pedagang lainnya berpendapat pasar belum sepenuhnya menghitung risiko serangan terhadap fasilitas minyak Iran atau kemungkinan Iran menutup Selat Hormuz — ancaman yang sering dilontarkan tanpa pernah direalisasikan. Selat sempit di mulut Teluk Persia itu menangani hampir 30 persen perdagangan minyak dunia.
Kepala Ekonom di perusahaan komoditas Trafigura Group asal Swiss, Saad Rahim, mengatakan belum ada yang tahu seberapa jauh konflik Iran dengan Israeli akan berkembang. "Bagaimana reaksi Israel sekarang, lalu bagaimana tanggapan Iran? Apakah pemain lain juga akan terlibat?" ujarnya, dikutip dari DW, Kamis, 3 Oktober 2024.
Minyak Menjadi Penopang Ekonomi Iran
Ekspor minyak adalah sumber pendapatan penting bagi Iran. Meskipun mendapat sanksi berat dari Amerika Serikat, Iran tetap menjual minyaknya ke luar negeri, terutama ke China.
Pada Maret 2024, Menteri Perminyakan Iran Javad Owji mengatakan ekspor minyak telah menghasilkan lebih dari USD35 miliar sepanjang 2023. Surat kabar bisnis Inggris Financial Times mengutip pernyataan Owji yang menyatakan meski banyak musuh Iran yang ingin menghentikan ekspor minyaknya, "hari ini, kami bisa mengekspor minyak ke mana pun kami mau, dengan diskon minimal."
Dari Januari hingga Mei 2024, analis sektor energi Vortexa melaporkan peningkatan lebih lanjut yang memperkirakan Iran rata-rata menjual 1,56 juta barel minyak per hari. "Peningkatan produksi minyak, permintaan yang lebih tinggi dari China, dan pertumbuhan armada kapal 'gelap' telah membantu peningkatan ekspor ini," tulis Vortexa dalam laporannya pada Juni lalu.
Istilah "armada gelap" atau shadow fleet merujuk pada kapal-kapal yang menyelundupkan minyak untuk menghindari sanksi. Menurut lembaga nirlaba Amerika Serikat United Against Nuclear Iran, armada gelap Iran terdiri dari setidaknya 383 kapal.
Menurut stasiun TV yang berbasis di London, Iran International, rezim Iran menjual minyaknya dengan diskon 20 persen dari harga pasar global untuk mengkompensasi risiko yang dihadapi pembeli akibat sanksi. "Kilang-kilang minyak di China menjadi pembeli utama pengiriman minyak ilegal Iran yang oleh perantara dicampur dengan kargo dari negara lain, kemudian dibongkar di China sebagai impor dari Singapura dan sumber lainnya," lapor media oposisi Iran tersebut baru-baru ini.
Inflasi dan Mata Uang Melemahkan Ekonomi Iran
Sanksi yang diberlakukan pada Iran tidak hanya menargetkan industri minyak negara tersebut, tetapi juga membatasi kemampuan Iran untuk melakukan transaksi keuangan internasional. Akibatnya, nilai mata uang nasional, rial, merosot tajam.
Saat ini, masyarakat Iran harus membayar sekitar 580.000 rial di pasar gelap untuk satu dolar Amerika Serikat. Sebagai perbandingan, setelah kesepakatan nuklir ditandatangani pada 2015, satu dolar hanya bernilai 32.000 rial.
Meskipun pendapatan minyak stabil dalam beberapa tahun terakhir, Iran masih jauh dari menjadi kekuatan ekonomi. Dengan populasi sekitar 88 juta jiwa, hampir sepuluh kali lipat jumlah penduduk musuh bebuyutannya, Israel, namun pada 2023, produk domestik bruto (PDB) Iran hanya mencapai USD403 miliar, lebih rendah dibandingkan Israel yang mencapai USD509 miliar.
Perbedaan ini semakin jelas ketika membandingkan nilai total barang dan jasa yang diproduksi setiap tahun. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), PDB per kapita Iran hanya USD4.663, sementara Israel mencapai USD52.219.
Korupsi dan Nepotisme di Banyak Tingkatan
Bagi kelas menengah Iran, kondisi ekonomi semakin memburuk. "Tingkat kehidupan telah kembali seperti 20 tahun yang lalu akibat sanksi," ujar Djavad Salehi-Isfahani, profesor ekonomi di Virginia Tech.
Di saat yang sama, sejumlah besar pendapatan negara Iran diduga hilang ke dalam struktur pemerintahan yang tidak transparan. Indeks Persepsi Korupsi yang disusun oleh Transparency International menempatkan Iran di peringkat 149 dari 180 negara.
Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), pasukan elite paramiliter dalam angkatan bersenjata Iran, dan berbagai organisasi keagamaan dilaporkan menguasai sebagian besar ekonomi. Mereka tidak membayar pajak dan tidak melaporkan neraca keuangan. Di Iran, presiden dipilih langsung oleh rakyat, terakhir pada Juli 2024, tetapi negara tersebut bukanlah demokrasi. Dari 80 calon presiden, Dewan Penjaga yang ultra-konservatif hanya mengizinkan enam orang untuk maju.
Rezim ini mencoba membeli kedamaian sosial dengan memberikan subsidi untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan bakar. Terlepas dari penindasan yang ada, rezim tampaknya khawatir dengan ketidakpuasan publik. Protes terhadap kepemimpinan politik sering kali terjadi, sering dipicu oleh kenaikan harga atau aturan wajib berjilbab bagi perempuan.
Perang dengan Israel akan menjadi beban ekonomi yang besar bagi Iran dan kemungkinan memaksa pemerintah untuk memangkas pengeluaran di sektor lain, yang dapat memperburuk ketidakpuasan rakyat.(*)