KABARBURSA.COM - Angka kecelakaan truk barang terus mencuat, dengan sektor ini menduduki peringkat kedua dalam daftar kecelakaan lalu lintas. Kondisi ini diperburuk dengan penghasilan rata-rata pengemudi yang masih jauh di bawah upah minimum regional.
Ketidakpedulian pemerintah terhadap kesejahteraan pengemudi bisa menjadi bom waktu yang merugikan seluruh lapisan masyarakat. Di tengah fenomena ini, banyak pengemudi yang beralih profesi, mengakibatkan penurunan jumlah pengemudi.
"Sementara itu, pejabat negara masih terkesan acuh terhadap kompetensi dan kesejahteraan para pengemudi angkutan umum," kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat dalam keterangan di Jakarta, Minggu 29 Desember 2024.
Ada tiga masalah mendasar terkait keselamatan truk dan bus, yaitu: pertama, belum ada kewajiban perawatan komponen keselamatan, seperti sistem rem yang harus diperbaharui setiap tiga tahun, seperti halnya pada moda transportasi lainnya.
Kedua, tidak ada batasan tegas mengenai jam kerja dan waktu istirahat pengemudi, seperti yang berlaku untuk masinis atau pilot. Ketiga, tidak ada standar kesehatan fisik dan mental yang berlaku bagi pengemudi, padahal hal ini sangat penting untuk keselamatan perjalanan.
Sejumlah masalah krusial terkait pengemudi angkutan umum di Indonesia telah teridentifikasi. Penurunan jumlah pengemudi bus dan truk di Indonesia sudah memasuki level kritis, di mana rasio pengemudi dan kendaraan yang beroperasi sudah berada dalam zona berbahaya.
Kondisi ini membuka peluang bagi pengemudi bus untuk mengendarai truk, atau sebaliknya, tanpa mempertimbangkan perbedaan keahlian yang diperlukan. Rendahnya keterampilan pengemudi dalam mengoperasikan kendaraan dan memanfaatkan teknologi pada bus dan truk, serta ketidakmampuan mereka mendeteksi kerusakan kendaraan secara dini, merupakan faktor penyebab utama kecelakaan.
Selain itu, KNKT juga mengungkapkan bahwa mekanisme pengambilan Surat Izin Mengemudi (SIM) B1/B2 dan pelatihan defensive driving training (DDT) yang selama ini dianggap sebagai persyaratan, ternyata tidak mampu menangkap masalah mendasar mengenai kompetensi pengemudi.
Sebagai pengemudi, bukan hanya keterampilan berkendara yang penting, tetapi juga pemahaman mendalam tentang keselamatan. Dengan demikian, pengemudi akan lebih percaya diri dan tanggap dalam menghadapi situasi di jalan. Namun, waktu kerja, waktu istirahat, dan tempat beristirahat bagi pengemudi bus dan truk di Indonesia masih sangat buruk. Tanpa regulasi yang jelas, pengemudi berisiko tinggi mengalami kelelahan, yang dapat berujung pada micro sleep.
Sebanyak 84 persen di antaranya disebabkan oleh kegagalan sistem pengereman dan kelelahan pengemudi. Kegagalan pengereman ini bisa terjadi akibat pengemudi yang tidak siap atau tidak menguasai kendaraan, selain juga dipengaruhi oleh kondisi kendaraan yang buruk. Sementara itu, kelelahan pengemudi lebih sering disebabkan oleh kurangnya waktu istirahat yang cukup.
Pengemudi harus lebih dari sekadar mahir mengemudi dan tahu peraturan lalu lintas. Mereka juga harus memiliki kompetensi dan sikap yang baik, yang mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap, agar dapat melayani dan mengutamakan keselamatan penumpang.
Pusat Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, melalui pemetaan lapangan yang dilakukan sepanjang tahun 2024, menemukan beberapa masalah. Usia rata-rata pengemudi angkutan umum berada di kisaran 40-55 tahun, dan sebagian besar belum memiliki SIM yang sesuai dengan jenis kendaraan yang dikendarai.
Banyak pengemudi yang memperoleh SIM tanpa melalui pendidikan dan pelatihan formal. Pengemudi juga harus menanggung biaya Diklat sendiri, kecuali perusahaan yang membiayainya.
Minimnya sosialisasi tentang pentingnya kompetensi pengemudi membuat banyak pengemudi tidak memahami kebutuhan untuk mengikuti uji kompetensi. Penghasilan pengemudi pun rata-rata hanya sekitar Rp 1 juta hingga Rp 4 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum daerah.
Di sisi lain, perusahaan angkutan umum kini kesulitan merekrut pengemudi yang kompeten, apalagi yang sudah tersertifikasi. Rekrutmen pengemudi pun belum didasarkan pada kompetensi yang memadai.
Perusahaan juga belum menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan Pengemudi Angkutan Umum (SMK PAU), yang seharusnya menjadi prioritas. Terbatasnya dana dan sumber daya manusia (SDM) menjadi kendala utama. Akibatnya, pengemudi yang mengikuti Diklat seringkali terbatas anggaran dan kurang didukung oleh pemerintah daerah dalam pengembangan kompetensi mereka.(*)