KABARBURSA.COM – Lonjakan harga komoditas global akibat memanasnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah tidak serta-merta menjadi penyelamat ekonomi Indonesia.
Kenaikan harga batu bara, nikel, dan crude palm oil atau CPO memang memberikan keuntungan bagi sejumlah pelaku industri, namun kontribusi terhadap pendapatan negara dan ketahanan ekonomi secara menyeluruh dinilai belum memadai. Hal ini karena bentuk kepemilikannya yang tidak dikuasai negara.
Pembukaan lahan di sektor tambang dan pertanian kelapa sawit dinilai percuma saja. Dan gembar-gembor topangan penguatan ekonomi karena sektor itu hanyalah omong kosong.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyatakan bahwa Indonesia belum bisa sepenuhnya bergantung pada komoditas unggulan tersebut untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global. Menurutnya, struktur penerimaan negara dari sektor komoditas masih lemah, karena sebagian besar dikuasai oleh swasta dan kontribusinya ke negara terbatas.
“Keuntungan terbesar dinikmati pengusaha, bukan negara. Penerimaan dari pajak dan royalti tidak besar,” ujar Fahmy kepada KabarBursa.com dikutip Senin, 30 Juni 2025.
Ia menambahkan, selama ini kebijakan pemerintah belum cukup tegas dalam mendorong hilirisasi dan penguatan kontribusi sektor tambang terhadap perekonomian nasional.
Produk-produk seperti batubara dan nikel masih dijual dalam bentuk mentah tanpa nilai tambah yang optimal, sehingga manfaatnya terhadap pembangunan ekonomi domestik tidak maksimal. Karena hanya dinikmati segelintir orang.
Di sisi lain, situasi geopolitik yang semakin memanas menciptakan potensi ancaman baru. Meski beberapa pihak mulai mendorong tercapainya gencatan senjata, banyak kalangan menilai bahwa kesepakatan itu bersifat rapuh dan sewaktu-waktu bisa dilanggar. Jika eskalasi konflik meningkat dan Selat Hormuz, jalur vital distribusi dua pertiga minyak dunia, ditutup, harga minyak global bisa melonjak drastis.
“Kalau perang meluas dan Selat Hormuz ditutup, harga minyak bisa tembus USD130 per barel,” kata Fahmy.
Skenario tersebut pernah terjadi di awal konflik antara Iran dan Israel beberapa waktu lalu, di mana harga minyak dunia langsung melonjak sekitar 8 sampai 10 persen hanya dalam waktu singkat. Ini menunjukkan betapa sensitifnya pasar energi global terhadap eskalasi konflik di kawasan tersebut.
Mengacu pada data Trading Economics per 26 Juni 2025, harga minyak mentah dan gas alam global mencatatkan penguatan yang konsisten. Namun, Indonesia justru berada dalam posisi yang cukup rawan karena masih bergantung pada impor energi dalam jumlah besar. Kebutuhan impor minyak mentah dan BBM Indonesia mencapai sekitar 1,2 juta barel per hari. Ketahanan energi nasional pun masih lemah, dengan cadangan operasional maksimal hanya 20 hari.
“Kalau pengiriman terganggu, bisa menimbulkan krisis ekonomi dan sosial. Cadangan energi kita hanya cukup untuk 20 hari,” tegas Fahmy.
Dari sisi fiskal, Indonesia menghadapi tekanan berat. Harga BBM non-subsidi seperti Pertamax dapat menyesuaikan harga pasar, namun BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar menjadi beban berat bagi APBN. Jika harga tidak dinaikkan, anggaran subsidi akan melonjak. Namun jika dinaikkan, akan memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
“Ini dilema besar. Kalau harga subsidi tidak dinaikkan, APBN bisa jebol. Tapi kalau dinaikkan, ekonomi rakyat terpukul,” ucap Fahmy.
Ia menyarankan agar pemerintah tidak buru-buru menaikkan harga BBM subsidi, melainkan terlebih dahulu melakukan efisiensi melalui pembatasan distribusi yang lebih tepat sasaran. Langkah ini dinilai bisa menghemat anggaran tanpa menimbulkan gejolak sosial yang besar.
“Batasi dulu konsumsinya. Gunakan mekanisme sederhana di SPBU seperti dalam Perpres 191/2014. Motor dan angkutan umum masih boleh, yang lain wajib pakai Pertamax ke atas,” ujarnya.
Fahmy juga menekankan perlunya evaluasi terhadap subsidi energi yang kerap tidak tepat sasaran. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa potensi subsidi salah sasaran bisa mencapai Rp90 triliun per tahun. Angka ini sangat signifikan dan dapat dialihkan untuk memperkuat jaringan perlindungan sosial atau mendukung transisi energi.
Lebih jauh, Fahmy menilai bahwa krisis geopolitik ini harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk mempercepat peralihan ke energi baru terbarukan. Ketergantungan pada energi fosil yang harganya tidak stabil dan pasokannya bergantung pada negara lain hanya akan memperlemah posisi ekonomi Indonesia di masa depan.
“Momentum konflik ini seharusnya digunakan untuk mengubah paradigma. Kita harus beralih dari energi fosil yang tidak stabil ke energi terbarukan,” tuturnya.
Menurutnya, selama ini pemerintah terlihat ambigu. Di satu sisi menyuarakan transisi energi, tetapi di sisi lain masih mendorong peningkatan lifting minyak dan eksplorasi migas. Bahkan, beberapa kebijakan justru kembali mengandalkan LPG impor, padahal cadangannya kian menipis dan harganya sangat fluktuatif.
“Kalau mulai sekarang dan serius, lima tahun cukup untuk bangun ketahanan energi. Tapi kalau seperti sekarang, biar sepuluh tahun pun tidak akan tercapai,” tegas Fahmy.
Dalam konteks kebijakan struktural, Fahmy mendorong pemerintah untuk membuat aturan yang memaksa sektor tambang dan energi fosil terlibat dalam pengembangan energi terbarukan. Salah satu caranya dengan mewajibkan porsi tertentu dari produksi mereka untuk dialokasikan pada hilirisasi atau gasifikasi.
“Pemerintah bisa paksa lewat regulasi. Misalnya, 40 persen produksi wajib digasifikasi. Itu bisa jadi langkah awal pengusaha terlibat dalam transisi energi,” katanya.
Ia juga mengingatkan agar janji politik Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai kedaulatan energi benar-benar diimplementasikan, tidak sekadar menjadi pidato semata. Menurutnya, komitmen terhadap pengembangan energi baru terbarukan harus diikuti dengan kebijakan yang konkret dan terukur, bukan justru terjebak dalam pola lama yang kontraproduktif.
“Prabowo sudah menekankan kedaulatan energi di pidato pelantikannya. Tapi kalau implementasinya masih ambigu, targetnya tidak akan pernah tercapai,” ujar Fahmy.
Berdasarkan data APBN KiTa edisi Januari 2024 realisasi royalti nikel untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP Rp13,82 triliun.
Pendapatan negara dari sejumlah komoditas unggulan seperti nikel, batu bara, dan crude palm oil (CPO) tercatat mengalami koreksi cukup signifikan.
Pendapatan dari sektor sumber daya alam (SDA) migas dan nonmigas menjadi kontributor terbesar dalam struktur PNBP, meskipun realisasinya mengalami pelemahan. Pendapatan dari SDA migas tercatat sebesar Rp117,47 triliun, turun 14,43 persen dibandingkan capaian tahun 2022 sebesar Rp137,27 triliun. Sementara pendapatan dari SDA nonmigas yang mencakup pertambangan minerba, kehutanan, perikanan, dan panas bumi mencapai Rp254,91 triliun, turun 5,20 persen dari Rp268,77 triliun pada tahun sebelumnya.
Jika dirinci lebih dalam, pendapatan negara dari pertambangan minerba – yang di dalamnya termasuk komoditas nikel dan batu bara – tercatat sebesar Rp148,70 triliun pada tahun 2023, mengalami penurunan sebesar 14,47 persen dari capaian tahun 2022 yang sebesar Rp173,94 triliun. Penurunan ini menjadi yang paling signifikan dalam kelompok SDA nonmigas dan mencerminkan tekanan harga serta penurunan volume ekspor dari sejumlah komoditas unggulan, termasuk batu bara yang sebelumnya menjadi penyumbang terbesar.
Pendapatan dari sektor kehutanan yang juga terkait dengan komoditas ekspor seperti CPO tercatat sebesar Rp53,91 triliun, turun tajam 21,47 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp68,64 triliun. Sementara itu, sektor perikanan menyumbang Rp14,96 triliun atau meningkat 21,30 persen dibandingkan Rp12,33 triliun pada tahun 2022. Pendapatan dari panas bumi juga mencatatkan pertumbuhan sebesar 16,09 persen menjadi Rp11,27 triliun dari Rp9,71 triliun.
Selain pendapatan SDA, PNBP dari kategori pendapatan Kementerian/Lembaga (K/L) mengalami kenaikan menjadi Rp127,10 triliun atau naik 14,96 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp110,79 triliun. Sementara pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) juga naik 5,68 persen menjadi Rp239,01 triliun dari Rp226,10 triliun pada tahun 2022.
Secara keseluruhan, meskipun pemerintah berhasil mencatatkan pertumbuhan PNBP di tahun 2023, tekanan dari penurunan harga dan volume ekspor komoditas strategis seperti batu bara, nikel, dan CPO menyebabkan kontribusi sektor unggulan mengalami penurunan tajam. Hal ini turut menjelaskan mengapa komoditas tidak lagi menjadi pusat perhatian pelaku pasar di tengah tren pelemahan harga global serta ketidakpastian geopolitik dan kebijakan perdagangan internasional.
Saat ini data Bursa Efek Indonesia mencatat ada 63 perusahaan tambang batu bara yang melantai di pasar modal. Sementara data ESDM menunjukkan hanya ada 5 perusahaan nikel yang diberi izin dan yang resmi melantai di BEI yakni dari dua emiten ANTM dan INCO.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 mencatat ada 2.466 perusahaan sawit. Dari jumlah ini dominasinya 1.322 perusahaan di Sumatra dan 1.024 perusahaan di Kalimantan. Sementara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memprakirakan ada sekitar 3.000 perusahaan sawit di Indonesia dengan 731 anggota GAPKI.
Dengan data yang cukup tinggi itu harusnya komoditas unggulan bisa menjadi penopang ekonomi disaat terjadi gejolak.
Data Trading Economics per 30 Juni 2025 mencerminkan tekanan berkelanjutan dari sisi permintaan dan volatilitas global, yang membuat komoditas andalan tersebut belum mampu menjadi penopang kuat perekonomian nasional dari sisi ekspor.
Harga CPO tercatat turun 0,85 persen dalam sehari ke level MYR 3.978 per ton. Secara mingguan, harga CPO melemah 3,56 persen, namun masih mencatatkan kenaikan tipis 2,58 persen dalam sebulan terakhir. Namun secara year-to-date, harga masih terkoreksi 10,49 persen dan relatif stagnan dalam basis tahunan dengan penurunan hanya 0,15 persen. Kondisi ini mencerminkan bahwa meskipun ada perbaikan dalam jangka pendek, tekanan dari regulasi Eropa dan tren substitusi ke minyak nabati lainnya masih membayangi kinerja harga sawit global.
Di sisi lain, harga batu bara yang tercatat pada 27 Juni 2025 justru mengalami kenaikan harian sebesar 0,80 persen ke level USD 107 per ton. Secara mingguan dan bulanan, harga naik tipis masing-masing 0,38 persen dan 6,05 persen. Namun, kinerja sepanjang tahun tetap negatif dengan penurunan 14,57 persen year-to-date dan 19,67 persen secara tahunan. Penurunan tajam harga batu bara dalam jangka menengah hingga panjang ini menunjukkan adanya pergeseran besar-besaran pada bauran energi global yang berfokus pada dekarbonisasi, serta melemahnya permintaan dari pasar tradisional seperti Tiongkok dan India.
Untuk komoditas nikel, yang juga menjadi andalan ekspor Indonesia terutama dari kawasan Indonesia Timur, harga tercatat turun 0,17 persen harian ke level USD 15.205 per ton pada 30 Juni 2025. Dalam sepekan, harga nikel naik 2,46 persen namun terkoreksi 1,97 persen secara bulanan. Sepanjang tahun berjalan, harga nikel tercatat menurun 0,62 persen dan secara tahunan melemah hingga 12,40 persen. Penurunan ini tak lepas dari kelebihan pasokan global seiring ekspansi produksi di Indonesia dan Filipina, serta ketidakpastian permintaan dari sektor kendaraan listrik dan baja tahan karat.(*)