Logo
>

May Day Selesai, Buruh Tunggu Aksi Nyata Pemerintah

Sehari usai May Day, buruh menunggu langkah nyata pemerintah menjawab tuntutan, mulai dari PHK massal, jaminan sosial, hingga reformasi perlindungan pekerja.

Ditulis oleh Dian Finka
May Day Selesai, Buruh Tunggu Aksi Nyata Pemerintah
Setelah May Day, buruh desak pemerintah segera wujudkan aksi nyata menanggapi tuntutan soal PHK dan kesenjangan. Foto: Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden

KABARBURSA.COM – Sehari setelah peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, suasana di sekitar Monumen Nasional (Monas) mulai lengang. Namun, gema tuntutan buruh yang kemarin menggema di lapangan belum berhenti menggema di telinga pemerintah. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi memastikan, meski aksi sudah selesai, pemerintah tetap mendengarkan setiap aspirasi yang diteriakkan.

“Perizinan kami bantu. Peringatan di Monas karena tidak melanggar Undang-Undang, kami fasilitasi. Begitu kira-kira. Selama Hari Buruh, semua pekerja Indonesia tetap semangat,” ujar Prasetyo di Monas, Kamis, 1 Mei 2025.

Kemarin, ribuan buruh berkumpul membawa enam tuntutan utama. Tidak semuanya bisa langsung ditangani pemerintah, tapi sebagian, kata Prasetyo, sudah mulai diproses, terutama isu yang belakangan bikin gaduh: maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Salah satunya yang sedang kita kerjakan itu soal mitigasi PHK. Dalam beberapa minggu terakhir ini kita intensif merumuskan substansi yang sebaiknya masuk ke dalam proses itu,” jelasnya.

Pemerintah, menurut Prasetyo, ogah kalau cuma jadi pemadam kebakaran yang baru bergerak saat krisis sudah di depan mata. Mereka ingin perencanaan dari hulu, supaya jangan sampai PHK massal telanjur bikin guncangan. “Kita tidak ingin bermain di ujung, ketika sudah PHK. Kita ingin dari awal kita rancang sedemikian rupa. Jadi kalau bicara soal tuntutan, beberapa memang sudah berjalan,” katanya.

Ia juga berjanji, tuntutan-tuntutan lain yang belum tersentuh tetap akan diperhatikan. “Kalaupun ada dari enam tuntutan itu yang belum kita kerjakan, pasti akan kita pelajari dan kita tindak lanjuti bersama,” katanya

Siap, Bray! Aku buatkan narasi tambahan yang sudah diparafrase dengan tone ringan mengalir ala Mojok, tapi tetap sesuai KBBI. Kutipan langsung tetap aku jaga verbatim.

Deret Pemimpin Buruh Berpanggung Bersama Prabowo di Monas


Tak hanya ribuan buruh yang memadati kawasan Monas pada Hari Buruh Internasional 1 Mei kemarin, tetapi juga deretan nama besar di dunia pergerakan buruh nasional. Mereka tak hanya datang untuk berorasi, tapi juga berbagi panggung bersama Presiden RI Prabowo Subianto, yang hadir menyampaikan sambutan di tengah gegap gempita May Day.

Di antara para pemimpin serikat yang tampil adalah Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Ketua Umum Partai Buruh. Meski Partai Buruh tak berhasil melenggang ke Senayan pada Pemilu 2024—setelah hanya meraih sekitar 972 ribu suara atau 0,64 persen—partai ini tetap menyatakan dukungannya kepada pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik September nanti.

Lalu ada nama Jumhur Hidayat, Ketua Umum KSPSI periode 2022–2027. Sosok satu ini sudah lama malang melintang di arena aktivisme, bahkan sejak kuliah di ITB era 1980-an.

Jumhur juga pernah memimpin Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dulu ia mendukung Jokowi, kini ia memuji arah pemerintahan Prabowo. “Bapak Presiden ingin meningkatkan daya beli, memperkaya petani di desa-desa yang ujung-ujungnya adalah akan membeli produk-produk yang kita buat, karena itulah sistem ekonomi industri, ekonomi kita seluruhnya akan hidup dan insyaallah pertumbuhan akan menjadi lebih baik,” kata Jumhur.

Nama lain yang mencuri perhatian adalah Andi Gani Nena Wea, Presiden KSPSI sekaligus figur yang dikenal sebagai loyalis Jokowi sejak lama. Andi aktif mendukung Jokowi dari Solo sampai dua periode kepresidenan. Namun di Pilpres 2024, jalan politiknya berseberangan: sementara Jokowi mendukung Prabowo-Gibran, Andi Gani mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Tak hanya sebagai aktivis buruh, Andi juga punya darah politik dari ayahnya, Jacob Nuwa Wea, yang pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja di era Megawati.

Terakhir ada Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Elly bukan nama baru di jagat perburuhan: lahir di Sumatera Utara, ia sudah aktif di serikat sejak 1995, menduduki berbagai posisi penting termasuk di Federasi Garmen dan Tekstil, Komite Penasihat ILO Better Work Indonesia, bahkan memimpin L20 saat Indonesia menjadi Presidensi G20 pada 2022.

Kehadiran para tokoh ini di panggung May Day bersama Prabowo memperlihatkan betapa gerakan buruh di Indonesia tidak hanya soal turun ke jalan, tetapi juga soal membangun komunikasi dengan pusat kekuasaan. Sekarang, tantangannya adalah memastikan semua janji, sambutan, dan seruan di panggung tidak hanya berhenti sebagai kata-kata, tetapi benar-benar terwujud menjadi kebijakan yang menyentuh kehidupan buruh sehari-hari.

PHK Massal, Sinyal Ekonomi yang Timpang

Kalau melihat laporan-laporan belakangan, gelombang PHK memang jadi cermin nyata betapa pemulihan ekonomi Indonesia masih berjalan pincang. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, bilang, masalahnya bukan sekadar angka-angka makro, tapi struktur ekonomi yang timpang.

“Sektor-sektor seperti UMKM dan pariwisata mengalami tekanan akibat daya beli masyarakat yang melemah,” kata Achmad kepada KabarBursa.com.

Dia menyebut, inflasi harga pangan dan energi yang sempat melonjak pada 2023–2024 makin memperberat beban rumah tangga. Meskipun inflasi sekarang mulai melandai, upah riil pekerja tetap saja jalan di tempat, sehingga konsumsi rumah tangga tidak kunjung membaik.

Menurut Achmad, masalahnya bukan hanya soal angka pertumbuhan ekonomi nasional yang tercetak tinggi, tetapi soal siapa yang menikmati pertumbuhan itu.

“Pertumbuhan yang digerakkan oleh ekspor komoditas dan industri padat modal tidak menyentuh sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Banyak perusahaan justru melakukan efisiensi melalui otomatisasi, bukan menciptakan lapangan kerja baru,” jelasnya.

Dampaknya terasa jelas, yakni angka pengangguran terbuka tetap tinggi, terutama di kalangan anak muda dan para lulusan baru yang belum mendapat tempat di pasar kerja. “Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, banyak perusahaan justru melakukan efisiensi melalui otomatisasi,” katanya.

Belum lagi, mereka yang kena PHK di sektor formal sering kali terpaksa beralih ke sektor informal, yang umumnya menawarkan upah rendah tanpa perlindungan jaminan sosial. “PHK di sektor formal juga mendorong pergeseran ke sektor informal, yang umumnya menawarkan upah rendah dan tidak ada jaminan sosial,” katanya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.