KABARBURSA.COM – Skandal korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di tubuh Pertamina menyeret banyak pihak. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sembilan tersangka dari anak usaha perusahaan pelat merah itu. Namun, persoalan tak berhenti di sana.
Anggota Komisi Hukum atau Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, menilai kemungkinan keterlibatan pejabat di level yang lebih tinggi masih terbuka, tergantung alat bukti yang dikantongi penyidik. "Pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal. Kecuali si tersangka memiliki keterangan yang jelas dan pasti bahwa pejabat di level atas ikut mengarahkan dan mendapatkan hasil dari arahan itu," ujar Nasir saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Sabtu, 8 Maret 2025.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini meminta penyidikan dilakukan secara transparan dan profesional. Jika ada indikasi pejabat di tingkat direksi atau kementerian ikut bermain, mereka harus diproses sesuai hukum yang berlaku.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, sebelumnya juga mengingatkan agar penyidikan tidak terpaku pada isu blending BBM. Ia menilai perdebatan soal ini justru bisa menutupi skema markup impor minyak mentah, impor BBM, hingga manipulasi pengapalan yang merugikan negara dalam jumlah jauh lebih besar.
"Fokus utama seharusnya pada dugaan skema korupsi dalam tata kelola impor minyak dan BBM, bukan sekadar perdebatan blending yang justru bisa merugikan Pertamina lebih lanjut," kata Fahmy.
Jika polemik blending terus berlarut-larut, kata Fahmy, migrasi konsumen Pertamax ke SPBU asing atau ke Pertalite yang disubsidi pemerintah bisa semakin besar. Dampaknya, subsidi BBM membengkak dan berisiko menggerus APBN.
Fahmy meminta Kejaksaan Agung tidak berhenti pada penetapan sembilan tersangka. Menurutnya, kasus ini diduga melibatkan berbagai pihak mulai dari Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, hingga Komisaris sejumlah perusahaan swasta.
"Pembersihan besar-besaran harus dilakukan terhadap semua pihak yang terkait dengan mafia migas, termasuk di Pertamina dan kementerian terkait. Bahkan backing mafia migas pun harus disikat," tegasnya.
Ia menyinggung pengakuan mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang pernah menyatakan dirinya tak sanggup membubarkan Petral—anak usaha Pertamina yang disebut sebagai sarang mafia migas—karena backing politik yang kuat. Namun, ada satu hal menarik. Jika korupsi skala besar ini bisa berlangsung sejak 2018 hingga 2023 tanpa tersentuh, lalu tiba-tiba terungkap pada 2025, artinya ada sesuatu yang berubah.
"Seolah-olah selama lima tahun terakhir, mega korupsi ini tak tersentuh karena backing yang kuat. Namun kini, backing itu tampaknya sudah melemah. Ini momen tepat bagi Kejaksaan Agung untuk menindak tegas semua pihak yang terlibat, termasuk aktor besar di balik layar," ujarnya.
Jika mafia migas dan jaringan perlindungannya tidak dibongkar sampai ke akarnya, Fahmy menilai skandal serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terulang.
Erick Thohir dan Boy Thohir Tak Terlibat?
Sementara itu, Kejaksaan Agung memastikan Menteri BUMN Erick Thohir dan kakaknya, Garibaldi alias Boy Thohir, tidak terlibat dalam kasus ini.
Sebelumnya, sebuah video yang beredar di media sosial menyebut nama keduanya dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina Subholding. Narasi video itu menyebut adanya bukti catatan keuangan yang ditemukan dalam rumah pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, yang anaknya telah ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, membantah klaim tersebut. "Saya sudah tanya penyidik, tidak ada catatan yang ditemukan bernarasi seperti itu. Seharusnya dicari juga sumbernya dari mana," kata Harli.
Ia menegaskan informasi perihal kebocoran barang bukti yang disebut dalam video tersebut tidak benar. Seluruh dokumen hasil penyitaan dijaga dengan standar prosedur yang ketat.
"Kami sudah sampaikan barang-barang apa saja yang disita. Namun, apa muatannya, apa isinya, itu sangat dijaga secara rahasia dan bagaimana pengolahannya dilakukan melalui SOP tertentu," ucapnya.
Kejaksaan Agung menyatakan akan berkomitmen bekerja sama dengan Kementerian BUMN untuk memastikan kasus ini tidak hanya berhenti di aspek hukum, tetapi juga menjadi momentum perbaikan tata kelola perusahaan pelat merah.
Direktur Utama Pertamina Minta Maaf
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, belum lama ini akhirnya angkat suara. Ia meminta maaf kepada publik atas keresahan yang muncul akibat dugaan korupsi di tubuh perusahaan yang ia pimpin.
"Saya, Simon Aloysius Mantiri, sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero), menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia atas peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir ini," kata Simon dalam konferensi pers di Grha Pertamina, Jakarta, Senin, 3 Maret 2025.
Simon menegaskan Pertamina berkomitmen memperbaiki tata kelola dan memastikan produk BBM sesuai dengan standar pemerintah. Ia juga menyampaikan hasil uji laboratorium oleh Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), Kementerian ESDM, yang menyatakan 75 sampel BBM Pertamina telah memenuhi standar yang ditetapkan.
"Hasil itu tentunya mendorong kami untuk terus melakukan pendampingan atau pun melakukan uji di seluruh SPBU Pertamina yang berada di seluruh wilayah Nusantara," katanya.
Namun, temuan kejaksaan tetap memunculkan kekhawatiran publik. Salah satu modus yang disorot adalah dugaan manipulasi pengadaan produk kilang. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, diduga membeli RON 90 namun melaporkannya sebagai RON 92, lalu melakukan blending di depo. Skema ini memantik keresahan karena masyarakat mempertanyakan apakah kualitas BBM yang mereka beli benar-benar sesuai dengan klaim di SPBU.
Lemigas akhirnya turun tangan dengan mengambil sampel BBM dari SPBU di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Selatan, serta dari Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Plumpang.
Hasil uji laboratorium memastikan kualitas BBM masih sesuai standar. Namun, dugaan manipulasi dalam proses pengadaan tetap menjadi fokus utama penyidikan.(*)