KABARBURSA.COM - Presiden RI ke5, Megawati Soekarnoputeri menyinggung soal pengelolaan keuangan negara di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia mempertanyakan jumlah utang Indonesia saat ini.
Awalnya, Ketua Umum PDIP ini bicara terkait beberapa daerah di Indonesia yang ingin melakukan pemekaran. Namun karena skala ekonominya masih kecil, daerah hasil pemekaran tersebut justru tidak bisa mandiri dan bergantung suntikan dana dari pusat. Dia bilang, kegagalan pemekaran suatu daerah berimbas pada masyarakatnya.
Ia kemudian menyoroti soal kondisi keuangan negara.
"Siapa yang apa tuh namanya, kalau keuangan tuh, sarjana ekonomi ini, ada enggak di sini angkat tangan? Coba dong kamu hitung yang namanya pendapatan negara tuh sekarang itu berapa sih? Terus, utang kita tuh berapa sih?" ujar Megawati di DPP PDIP, Jakarta, yang juga disiarkan secara live, Kamis, 22 Agustus 2024.
Selain masalah utang pemerintah, Megawati juga menyinggung maraknya PHK dalam beberapa terakhir ini. Dan, di saat bersamaan, harga-harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan.
"Tanya deh sana, keliling ke tempat-tempat pabrik sarung. Saya dengar mulai banyak yang tutup lho. Sudah PHK, harga pangan apalagi beras juga naik. Ini saya serius lho, saya kan Ibu rumah tangga juga," ucap Megawati.
Lalu, Megawati meminta kepada para kader PDIP yang bakal dicalonkan menjadi kepala daerah untuk lebih memperhatikan kondisi ekonomi di daerahnya.
"Jadi saya enggak bohong kan. Terjadi PHK, PHK-nya berapa? Makanya lho jangan mikir mau enak wae, ini saya ngomong benar lho sebagai warga Indonesia yang tahu banyak," tegasnya.
Jumlah Utang yang Diwariskan Jokowi
Jelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden RI, jumlah utang pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) semakin membengkak. Per 31 Juli 2024, totalnya mencapai RpRp8.502,69 triliun.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat peningkatan utang sebesar Rp57,82 triliun dari akhir Juni 2024, yang saat itu berada di angka Rp8.444,87 triliun.
Namun, pada akhir Juli 2024, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat sebesar 38,68 persen, turun dari rasio bulan lalu sebesar 39,13 persen. Kemenkeu menyatakan rasio tersebut masih di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai dengan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam Buku APBN Kita edisi Agustus 2024, Kemenkeu melaporkan bahwa sebagian besar utang pemerintah berasal dari dalam negeri, dengan proporsi mencapai 70,96 persen atau sekitar Rp7.462,25 triliun. Sementara itu, utang pemerintah sebagian besar berbentuk surat berharga negara (SBN), yang mencapai 87,76 persen.
Sebagian besar SBN didominasi oleh rupiah, dengan total mencapai Rp5.993,44 triliun, sementara sisanya dalam valuta asing.
Pada akhir Juli 2024, lembaga keuangan memegang sekitar 39,6 persen kepemilikan SBN domestik, terdiri dari perbankan 20,5 persen dan perusahaan asuransi serta dana pensiun 19,1 persen.
Bank Indonesia (BI) memiliki sekitar 24,3 persen SBN domestik, yang digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter, sementara investor asing memiliki sekitar 14,0 persen SBN domestik, termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing.
Kemenkeu mencatat bahwa kepemilikan investor individu di SBN domestik terus meningkat sejak 2019 dari di bawah 3 persen menjadi 8,7 persen pada akhir Juni 2024, dengan peningkatan 0,1 persen dari bulan sebelumnya.
Kemenkeu menyatakan bahwa peningkatan ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam memperluas basis investor, inklusi keuangan, dan literasi keuangan masyarakat. Kemenkeu menekankan pentingnya pengelolaan portofolio utang untuk menjaga kesinambungan fiskal.
"Pemerintah konsisten mengelola utang secara cermat dan terukur dengan menjaga risiko suku bunga, mata uang, likuiditas, dan jatuh tempo yang optimal," ujar Kemenkeu dalam keterangan resmi, Senin 19 Agustus 2024.
Sebelumnya, sejumlah ekonom memproyeksikan utang pemerintah akan mendekati angka Rp9.000 triliun. Rata-rata pembayaran utang selama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (2004-2014) mencapai Rp215,88 triliun per tahun, sedangkan pada era Jokowi (2014-2024), angka tersebut meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp742,05 triliun per tahun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati merencanakan penarikan utang baru sebesar Rp775,9 triliun untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 di bawah pemerintahan Prabowo Subianto.
Rencana ini tercantum dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 yang dirilis setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan Pidato Kenegaraan RAPBN 2025 dan Nota Keuangan di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024.
RAPBN 2025 dirancang dengan defisit sebesar 2,53 persen, setara dengan Rp616,2 triliun, lebih besar dibandingkan target tahun ini sebesar 2,29 persen atau Rp522,8 triliun. Sri Mulyani menyebutkan bahwa defisit ini akan dijaga pada level yang relatif aman meskipun bisa berubah karena situasi ekonomi yang dinamis.
Pembiayaan utang tahun depan sebesar Rp775,9 triliun akan dipenuhi melalui pinjaman sebesar Rp133,3 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp642,6 triliun.
Pinjaman pemerintah terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,2 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp128,1 triliun. Instrumen pinjaman akan lebih banyak digunakan untuk mendukung proyek-proyek prioritas pemerintah, sedangkan pembiayaan utang dari SBN akan dipenuhi melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.