KABARBURSA.COM - Raja Yordania Abdullah II menjadi pemimpin Arab pertama yang datang ke Gedung Putih sejak Presiden Donald Trump mengumumkan niatnya untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi dua juta penduduknya. Namun, Abdullah memilih untuk menghindari konfrontasi terbuka dan tak memberikan dukungan terhadap rencana yang—bahkan di atas kertas—sulit dibayangkan bisa terwujud.
Saat duduk di sebelah Trump di Oval Office pada Selasa, 11 Februari 2025, Abdullah tampak tidak nyaman ketika Trump kembali menegaskan “Kami akan mengambil Gaza”. Sang Raja berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menekankan bahwa negara-negara Arab akan menyusun rencana mereka sendiri untuk Gaza pascaperang, yang akan dipresentasikan akhir bulan ini.
“Saya harus memikirkan kepentingan terbaik negara saya. Mari kita tunggu sampai Mesir memaparkan idenya,” kata Abdullah, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Rabu, 12 Februari 2025.
Untuk menenangkan Trump, Abdullah kemudian mengumumkan bahwa Yordania akan menerima 2.000 anak sakit dari Gaza untuk mendapatkan perawatan medis. Trump pun menyambut baik inisiatif tersebut—tetapi, seperti biasa, tak butuh waktu lama baginya untuk kembali ke rencana besarnya: mengubah Gaza menjadi destinasi wisata tepi laut dengan hotel-hotel mewah dan perumahan bagi warga dari seluruh Timur Tengah.
Trump bersikeras bahwa AS akan “menyayangi” Gaza, tetapi di saat yang sama juga tak ragu menegaskan bahwa negaranya akan mengambil alih wilayah yang hancur akibat perang itu. “Kami akan mengambilnya,” katanya. Saat ditanya otoritas apa yang akan digunakannya, ia menjawab santai, “Otoritas Amerika Serikat.”
Pemerintah Mesir mengumumkan akan menggelar pertemuan puncak dengan para pemimpin Arab akhir bulan ini untuk membahas “perkembangan baru dan berbahaya dalam isu Palestina.” Mesir belum memaparkan rencana secara terbuka, tetapi diperkirakan akan menegaskan pentingnya mempertahankan penduduk Gaza di tempatnya, meskipun belum jelas bagaimana wilayah tersebut akan dikelola pascaperang.
Sebagian besar pakar Timur Tengah memandang rencana Trump sebagai utopis, jika tidak ingin disebut ngawur. Ketakutan utama warga Palestina adalah mereka akan dipaksa meninggalkan tanah mereka secara permanen, sementara Yordania dan Mesir sudah menolak keras menerima pengungsi Palestina dalam jumlah besar. Beberapa analis bahkan memperingatkan rencana ini bisa dianggap sebagai pembersihan etnis dan berpotensi melanggar hukum internasional.
Setelah pertemuannya dengan Trump, Abdullah menegaskan kembali sikap Yordania dalam pernyataan resminya: “Saya menegaskan kembali posisi Yordania yang tegas dalam menolak pemindahan paksa warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.” Ia juga menekankan bahwa membangun kembali Gaza tanpa mengusir penduduknya serta menangani krisis kemanusiaan yang semakin buruk seharusnya menjadi prioritas utama semua pihak.
Dari sudut pandang Trump, rencananya justru mudah dan masuk akal—setidaknya menurut para pendukungnya. Jika Gaza benar-benar dikosongkan, maka dengan sendirinya para pejuang Hamas dan simpatisannya juga akan pergi. Setelah itu, komunitas internasional bisa menentukan siapa yang boleh kembali ke Gaza yang telah dibangun ulang, sementara Hamas akan tertutup aksesnya ke wilayah itu.
Bagi para pendukung Trump, rencana ini setidaknya bisa memaksa negara-negara Arab untuk menyusun solusi konkret guna mengatasi tantangan keamanan dan ekonomi dalam rekonstruksi Gaza.
Namun, di mata banyak pihak, “kesederhanaan” ala Trump ini lebih terlihat sebagai kesembronoan. Sebab, jika rencana ini benar-benar diterapkan, itu berarti mengabaikan realitas politik, hukum, dan kemanusiaan yang ada di Gaza.
Yordania dan Mesir dalam Posisi Sulit
Di mata para pendukung Trump, kalaupun rencananya tidak bisa diterapkan begitu saja, setidaknya itu bisa memaksa negara-negara Arab untuk mengajukan solusi konkret dalam membangun kembali Gaza, termasuk menangani aspek keamanan dan pembiayaan.
“Saat ini, satu-satunya orang yang berdiri dan mengatakan ‘Saya siap membantu’ adalah Donald Trump,” ujar Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dalam wawancara dengan SiriusXM Patriot pada Senin lalu. “Para pemimpin lain harus ikut turun tangan. Jika mereka punya ide yang lebih baik, sekaranglah waktunya. Inilah saatnya pemerintah lain dan kekuatan di kawasan, termasuk negara-negara kaya itu, mengatakan ‘Oke, kami akan melakukannya’.”
Namun, di balik layar, tekanan besar kini mengarah ke Yordania dan Mesir. Kedua negara tersebut berada dalam posisi sulit karena harus menjelaskan kepada Trump mengapa negara-negara Arab menolak gagasannya, tetapi di saat yang sama juga menunjukkan bahwa mereka paham Gaza perlu dibangun kembali—tanpa Hamas di dalamnya.
“Raja Abdullah menghadapi tugas yang rumit: bagaimana menjelaskan kepada Trump mengapa para pemimpin Arab menolak seruannya, tetapi di saat yang sama menunjukkan bahwa memang perlu ada pendekatan praktis dalam rekonstruksi Gaza dan bahwa ini hanya bisa dilakukan jika Hamas tidak lagi berkuasa,” kata Dennis Ross, mantan pejabat senior Timur Tengah yang pernah bekerja di bawah pemerintahan Demokrat dan Republik. “Menjaga keseimbangan itu berarti menawarkan solusi konkret dan menunjukkan bagaimana itu bisa sejalan dengan keinginan Trump memperluas Abraham Accords.”
Seperti diketahui, Abraham Accords adalah perjanjian yang dinegosiasikan oleh AS di bawah pemerintahan Trump yang menormalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko. Trump berharap perjanjian ini bisa diperluas ke Arab Saudi, yang hingga kini masih belum mencapai kesepakatan dengan Israel.
Ancaman Trump untuk memotong bantuan ekonomi dan militer ke Yordania juga menambah kompleksitas situasi. Meski pada Selasa kemarin Trump tampak mengendurkan ancaman ini, faktanya AS punya daya tawar ekonomi yang kuat terhadap Yordania. Setiap tahunnya, Yordania menerima lebih dari USD1 miliar (Rp16 triliun) bantuan dari AS.
Namun, bagi sebagian pejabat AS, memotong bantuan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Pasalnya, tanpa dukungan finansial, stabilitas di Yordania bisa terguncang—dan ini bukan sesuatu yang diinginkan Israel maupun AS.
“Bahkan Israel pun harus memahami bahwa memotong bantuan lebih dari USD1 miliar ke Yordania bisa menciptakan ketidakstabilan yang tidak mereka butuhkan,” ujar mantan negosiator perdamaian AS, Aaron David Miller. “Yordania berbatasan langsung dengan Israel, dan itu salah satu perbatasan mereka yang paling panjang serta paling sulit dipertahankan.”
Guncangan Timur Tengah dan Dampaknya pada Investor Global
[caption id="attachment_119471" align="alignnone" width="680"] Aktifitas depan Papan Pantau Saham di Main Hal Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (11/2/2025). Hari ini Papan Pantau terlihat Panah Merah. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji[/caption]
Sementara negara-negara Arab sibuk merumuskan respons atas manuver Trump soal Gaza, dampaknya mulai terasa di sektor ekonomi dan pasar keuangan. Namun begitu, perubahan besar yang terjadi di Timur Tengah mulai menarik minat investor asing. Mereka melihat peluang di tengah angin segar perdamaian dan pemulihan ekonomi setelah bertahun-tahun dilanda gejolak.
Usulan Presiden Donald Trump agar AS mengambil alih Gaza mungkin menjadi faktor kejutan dalam kalkulasi ini, tetapi gencatan senjata yang masih bertahan di perang Israel-Hamas, lengsernya Bashar al-Assad di Suriah, melemahnya Iran, serta pemerintahan baru di Lebanon telah memunculkan harapan akan arah baru di kawasan tersebut.
Mesir, yang selama ini menjadi pemain kunci dalam negosiasi damai, baru saja berhasil menerbitkan obligasi dolar pertamanya dalam empat tahun. Padahal sebelumnya, negara dengan populasi terbesar di kawasan ini sempat terancam krisis ekonomi yang parah.
Investor pun mulai kembali melirik obligasi Israel dan Lebanon dan bertaruh bahwa Beirut akhirnya bisa membenahi krisis politik, ekonomi, dan finansialnya yang saling terkait.
“Beberapa bulan terakhir benar-benar mengubah peta kawasan dan menciptakan dinamika yang sangat berbeda dalam skenario terbaik,” kata analis pasar negara berkembang dari FIM Partners, Charlie Robertson, dikutip dari Reuters. Namun, ia juga mempertanyakan apakah rencana Trump untuk Gaza akan memantik ketegangan baru di kawasan.
Proposal Trump untuk “membersihkan” Gaza dan mengubahnya menjadi “Riviera Timur Tengah” mendapat kecaman luas dari komunitas internasional. Menanggapi reaksi keras tersebut, Mesir telah mengumumkan akan menjadi tuan rumah KTT Darurat Liga Arab pada 27 Februari untuk membahas perkembangan yang disebutnya “serius” bagi Palestina.
Sementara itu, lembaga pemeringkat kredit S&P Global memberi sinyal bahwa peringatan penurunan peringkat Israel bisa dicabut jika gencatan senjata bertahan lebih lama. Meski masih banyak faktor yang harus diperhitungkan, skenario ini menjadi angin segar bagi Israel yang tengah bersiap melakukan penjualan obligasi besar-besaran setelah tercapainya gencatan senjata.
Michael Fertik, seorang venture capitalist asal AS sekaligus CEO perusahaan kecerdasan buatan Modelcode.ai, mengatakan meredanya ketegangan di kawasan menjadi salah satu faktor yang mendorong keputusannya untuk membuka anak perusahaan di Israel.
“Dengan Trump di Gedung Putih, tak ada yang meragukan bahwa AS akan selalu membela Israel jika konflik kembali pecah,” ujarnya. Menurut Fertik, hal ini memberikan tingkat kepastian bagi para investor, meskipun risiko konflik belum sepenuhnya hilang.
Para investor obligasi, yang sebelumnya menjauhi Israel ketika belanja pertahanan melonjak akibat perang, juga mulai kembali masuk ke pasar. Data bank sentral Israel menunjukkan bahwa mereka mulai kembali memborong surat utang Israel.
Menteri Ekonomi Israel, Nir Barkat, dalam wawancara dengan Reuters bulan lalu, mengatakan pemerintahnya akan mengupayakan paket stimulus yang lebih agresif, dengan fokus pada pertumbuhan ekonomi yang lebih berani.
Namun, ada tantangan bagi investor saham. Pasar modal Israel termasuk salah satu yang berkinerja terbaik dalam 18 bulan setelah serangan 7 Oktober 2023. Namun, begitu gencatan senjata mulai berlaku—bersamaan dengan sell-off besar di sektor teknologi AS—bursa saham Israel mulai melemah.
Kepala riset di Leader Capital Markets, Sabina Levy, menilai selama 2024 pasar lebih takut pada konflik politik internal Israel dibandingkan ancaman perang. Namun, jika gencatan senjata runtuh, “Bisa dipastikan reaksi pasar akan negatif,” kata Levy.(*)