KABARBURSA.COM - Ketegangan global akibat perang dagang dan kebijakan proteksionisme telah memberi tekanan pada perekonomian dunia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa gelombang perlambatan pertumbuhan ekonomi kini tengah melanda berbagai negara besar—dan Indonesia tidak luput dari dampaknya.
Menurut Sri Mulyani, ketidakpastian ekonomi global kini tidak hanya dipicu oleh fluktuasi pasar, tetapi telah bergeser menjadi kombinasi kompleks dari perang dagang, persaingan kekuatan finansial, hingga manuver militer antarnegara.
“Perang dagang eskalatif dan ketidakpastian arah kebijakan ekonomi dunia ke depan telah memperburuk situasi perekonomian dunia yang sudah rapuh sejak awal tahun,” ujar Sri Mulyani Dalam Sidang Paripurna DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024-2025, di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa 20 Mei 2025.
Ia memaparkan deretan negara yang mulai merasakan tekanan ekonomi pada kuartal pertama 2025. Korea Selatan, misalnya, mencatatkan pertumbuhan hanya 0,1 persen secara tahunan—sebuah angka terendah sejak pandemi COVID-19 melanda pada 2020.
Negara tetangga Malaysia yang sebelumnya mencatatkan pertumbuhan 4,9 persen pada kuartal IV 2024, turun menjadi 4,4 persen di kuartal pertama tahun ini. Sementara itu, Singapura yang dikenal sebagai pusat perdagangan dan investasi global, juga mengalami pelemahan tajam. Dari pertumbuhan 5 persen di akhir tahun lalu, kini hanya mampu mencatatkan 3,8 persen secara tahunan.
“Dan Amerika Serikat yang memicu terjadinya policy perang tarif hanya tumbuh 2 persen (kuartal I 2025) sementara triwulan sebelumnya tumbuh 2,5 persen yoy. Bahkan sempat mengalami pertumbuhan 3 persen di triwulan II tahun lalu. Amerika Serikat mengalami kontraksi akibat impor yang melonjak,” ungkap Sri Mulyani.
Indonesia pun tidak luput dari tekanan ini. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I 2025 melambat menjadi 4,87 persen (yoy), turun dari 5,02 persen pada kuartal sebelumnya.
Senior Chief Economist SSI Research, Fithra Faisal Hastiadi, menyebut bahwa bayang-bayang pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, meski Indonesia hampir genap mencatatkan 60 bulan surplus perdagangan berturut-turut.
Menurutnya, ketimpangan antara ekspor dan kekuatan konsumsi domestik membuat struktur ekonomi Indonesia tampak rapuh. “Surplus bukan jaminan pertumbuhan kalau konsumsi rumah tangga melemah, PHK terjadi masif, dan belanja negara berjalan lambat," tegasnya dalam keterangan resmi, Senin 19 Mei 2025
Fithra menjelaskan, setelah momentum Lebaran, berbagai indikator mulai menunjukkan pelemahan. Penjualan ritel dan otomotif mengalami koreksi signifikan, menandai anjloknya daya beli masyarakat.
Sementara itu, indeks keyakinan konsumen yang dirilis oleh Bank Indonesia hanya mencatatkan kenaikan tipis, tidak cukup untuk mengerek ekspektasi pertumbuhan.
Di sisi lain, Fithra menyoroti inisiatif negara dalam membangun sovereign wealth fund baru, Danantara. Ia menilai potensi ekonomi dari konsolidasi BUMN dan penerbitan obligasi oleh Danantara sangat besar, asalkan persoalan tata kelola bisa ditangani sejak awal.
“Instrumen ini bisa jadi mesin pertumbuhan baru, tapi hanya jika pengelolaannya kredibel dan transparan,” katanya.
Fithra juga menyoroti paradoks dalam ledakan investasi digital yang masuk ke Indonesia.
Menurutnya, potensi arus investasi digital hingga USD 130 miliar pada akhir tahun ini mencerminkan posisi strategis Indonesia di Asia Tenggara.
Investasi ini terutama mengalir ke sektor infrastruktur cloud dan pengembangan aplikasi kecerdasan buatan (AI).
Namun, ia mengingatkan bahwa tanpa kerangka regulasi yang kuat, Indonesia justru berisiko menjadi pasar pasif dalam perdagangan digital global.
“Defisit dalam neraca digital kita sudah terjadi beberapa tahun terakhir, tapi belum direspon serius dengan regulasi yang tepat. Ini bisa berdampak dalam perundingan perdagangan internasional,” ujar Fithra.
Isu energi juga masuk dalam sorotan tajam. Ia menilai bahwa kredibilitas Indonesia dalam transisi energi dan komitmen lingkungan kini berada dalam tekanan. Pasalnya, realisasi pengembangan energi terbarukan oleh PLN masih jauh dari target.
“Kita baru mencapai sekitar 7,6 persen dari target bauran energi 2030. Kalau ini tidak dipacu, komitmen keluar dari batu bara akan makin diragukan,” katanya.
Fithra juga mengkritik lemahnya penegakan hukum dalam perlindungan lingkungan, khususnya terhadap pencemaran nikel dan degradasi keanekaragaman hayati.
Ia menyebut sorotan dari komunitas internasional terhadap sektor ini bisa berdampak pada posisi tawar Indonesia di forum global.
Dalam ranah politik dan tata kelola, Fithra melihat pemerintahan Prabowo tengah menghadapi dilema besar.
Di satu sisi, ada dorongan kuat untuk melanjutkan reformasi antikorupsi yang selama ini tertunda. Namun di sisi lain, dinamika politik yang diwarnai oleh kekhawatiran militerisasi dan manuver mantan Presiden Jokowi yang kembali aktif melalui PSI menciptakan ketidakpastian.
“Reposisi kekuatan politik bisa membuka jalan bagi reformasi, tapi juga bisa menimbulkan resistensi baru. Stabilitas politik sangat menentukan efektivitas kebijakan ekonomi ke depan,” ujarnya.
Bagi Fithra, tantangan terbesar ke depan bukan hanya soal bagaimana menjaga momentum pertumbuhan, melainkan memastikan bahwa pertumbuhan tersebut inklusif dan berkelanjutan.
Ia menekankan pentingnya respons cepat terhadap risiko struktural yang sedang berkembang. “Kalau kita gagal membaca dinamika global dan domestik secara tepat, peluang bisa jadi petaka,” tutupnya.(*)