KABARBURSA.COM - Pengembangan dan pengusahaan listrik panas bumi hampir di semua negara relatif lebih lambat dibandingkan jenis pembangkit listrik lainnya. Hal itu dikatakan lembaga riset ReforMiner Institute.
The Credit Suisse Analysis menyebut meskipun harganya dapat lebih murah, potensi bisnis ini tidak terlalu membuat pebisnis tertarik.
Mengutip laporan ReforMiner yang dikutip Rabu, 7 Agustus 2024, memaparkan setidaknya ada empat faktor yang membuat pelaku industri di bidang kelistrikan kurang tertarik melirik potensi bisnis listrik panas bumi.
Pertama, menyangkut investasi awal yang lebih mahal jika dibandingkan dengan jenis pembangkit listrik lainnya.
"Kedua, investor masih menilai biaya operasional pembangkit listrik berbasis fosil yang lebih mahal tetap lebih menarik dibandingkan modal awal yang tinggi untuk usaha listrik panas bumi," jelas ReforMiner.
Ketiga, lokasi pengembangan panas bumi dinilai tidak fleksibel karena hanya dapat dibangun atau dikembangkan di tempat tertentu.Sedangkan pembangkit listrik lain dapat dibangun di lokasi yang lebih fleksibel.
Keempat, adanya kesulitan untuk menemukan sumber panas bumi yang menyebabkan biaya eksplorasi menjadi lebih tinggi. Pengembangan dan pengusahaan panas bumi pada dasarnya belum dapat sepenuhnya menggunakan mekanisme business to business, dan pada umumnya masih memerlukan intervensi kebijakan.
Soal harga listrik panas bumi yang lebih murah, menurut ReforMiner Insitute, tidak selalu menjamin atau menjadi faktor pendorong yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan dan pengusahaan listrik panas bumi di suatu negara.
Namun, dari semua hal yang disebutkan di atas, faktor lain yang lebih menentukan, salah satunya adalah komitmen pemerintah dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi itu sendiri.
Data menunjukkan rata-rata harga listrik panas bumi di Amerika Serikat (AS) lebih rendah dibandingkan rata-rata harga listrik nasional negara tersebut. Akan tetapi, pengusahaan listrik panas bumi di AS relatif belum cukup berkembang.
Kapasitas terpasang listrik panas bumi di AS sampai dengan 2023 dilaporkan baru sekitar 12,99 persen dari total potensi yang dimiliki. Produksi listrik panas bumi dilaporkan hanya sekitar 0,20 persen dari total produksi listrik negara tersebut.
Faktor penyebab industri panas bumi di AS relatif belum berkembang adalah karena proses untuk menemukan cadangan panas bumi memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang cukup panjang. Selain itu, proses perizinan usaha panas bumi di AS juga cukup panjang dan menjadi kendala utama.
Kondisi berbeda terjadi di Filipina dan Turki. Rata-rata harga listrik panas bumi dari kedua negara tersebut tercatat lebih tinggi dari rata-rata harga listrik nasional masing-masing negara. Akan tetapi, realisasi pengembangan panas bumi dari kedua negara tersebut cukup progresif.
"Sampai dengan 2023, kapasitas terpasang listrik panas bumi Filipina dan Turki masing-masing sekitar 48,03 persen dan 37,58 persen dari total potensi panas bumi yang dimiliki oleh masing-masing negara," papar ReforMiner Institute.
Manfaatkan Air untuk Pembangkit Listrik
Indonesia dengan kekayaan sumber daya airnya telah memanfaatkan tenaga air sebagai salah satu sumber energi listrik. Salah satu contohnya adalah Pembangkit Listri Tenaga Air (PLTA) Cirata di Purwakarta, Jawa Barat. Uniknya, selain PLTA, Waduk Cirata juga dilengkapi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung, menjadikan PLTS terapung terbesar di kawasan Asia Tenggara.
PLTA Cirata, yang beroperasi sejak 1983, berperan penting sebagai cadangan listrik untuk sistem Jawa-Bali. Letaknya yang berada 200 meter di bawah permukaan tanah menjadi keunikan tersendiri. Selain menghasilkan listrik, PLTA juga berkontribusi pada sektor pariwisata. Pemandangan alam yang indah, seperti di Waduk Jatiluhur, menarik minat wisatawan untuk menikmati keindahan alam, olahraga air, dan kuliner lokal.
Meskipun menawarkan banyak manfaat, pemanfaatan PLTA juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pembangunan bendungan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem sungai dan danau. Perubahan iklim, seperti kekeringan panjang atau curah hujan ekstrem, juga dapat memengaruhi kinerja PLTA. Deforestasi turut berkontribusi pada masalah erosi dan berkurangnya debit air sungai.
Indonesia memiliki potensi tenaga air yang sangat besar, namun pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Data menunjukkan bahwa Indonesia baru memanfaatkan sekitar 6,9 persen dari potensi tenaga airnya. Padahal, pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk meningkatkan bauran energi terbarukan, termasuk dari sektor tenaga air.
Untuk mencapai target peningkatan kapasitas PLTA sebesar 21 gigawatt pada tahun 2025, diperlukan upaya yang sangat besar dalam waktu yang relatif singkat. Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana mengatasi kendala teknis, lingkungan, dan finansial dalam pembangunan PLTA baru.
Pemanfaatan tenaga air untuk pembangkit listrik merupakan langkah yang tepat dalam upaya transisi energi di Indonesia. Namun, untuk mencapai potensi penuhnya, diperlukan perencanaan yang matang, investasi yang besar, serta pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Dengan demikian, Indonesia dapat memanfaatkan kekayaan alamnya untuk memenuhi kebutuhan energi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. (*)