Logo
>

Negara-negara di Dunia saat ini Sedang Perang Tarif Pajak

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Negara-negara di Dunia saat ini Sedang Perang Tarif Pajak

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa dunia saat ini sedang menghadapi tantangan baru, yaitu persaingan tarif pajak yang tidak sehat di antara negara-negara.

    “Saat ini, salah satu masalah yang dihadapi dunia adalah kompetisi tarif pajak yang tidak sehat,” tulisnya dalam unggahannya di Instagram @smindrawati, dikutip Rabu, 25 September 2024.

    Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bekerja sama dengan organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial global.

    Salah satu bentuk kerja sama tersebut adalah penerapan Multilateral Instrument Subject to Tax Rule (MLI STTR), yang telah disepakati oleh 42 negara dan yurisdiksi, termasuk Indonesia.

    “MLI STTR ini merupakan bagian dari Pilar Kedua dalam kesepakatan global, yang bertujuan untuk mengurangi persaingan tarif pajak yang tidak sehat,” jelas Sri Mulyani.

    Dengan menandatangani MLI STTR, Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang mengadopsi instrumen ini. Perjanjian ini sangat penting bagi banyak negara berkembang yang tergabung dalam Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). MLI STTR juga bertujuan untuk memulihkan hak pemajakan atas beberapa jenis transaksi lintas batas antar perusahaan, seperti bunga, royalti, dan pembayaran jasa lainnya.

    Sri Mulyani menambahkan, bahwa bagi negara berkembang, mobilisasi sumber daya sangatlah penting, dan MLI STTR dapat menjadi solusi untuk melindungi basis pajak korporasi mereka.

    “Saat ini, lebih dari 1.000 perjanjian pajak, sekitar seperempat dari perjanjian pajak di dunia telah tercakup dalam komitmen ini,” ujarnya.

    Rencana Prabowo Gabungkan Ditjen Pajak dan Bea Cukai Berisiko

    Rencana ambisius Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, untuk melebur Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai menjadi Badan Otorita Penerimaan Negara telah memicu reaksi tajam, termasuk dari Dana Moneter Internasional (IMF). Langkah yang digadang-gadang sebagai upaya untuk meningkatkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (tax-to-GDP ratio) ini dianggap berisiko tinggi jika tidak dipersiapkan dengan matang.

    IMF, dalam dokumen terbarunya, memberikan peringatan serius bahwa pembentukan badan baru ini bisa menjadi bumerang jika tidak dirancang dengan teliti.

    “Rencana untuk membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) harus dirancang dengan hati-hati, karena restrukturisasi seperti itu mungkin akan memakan banyak biaya,” tulis IMF, dikutip Senin, 12 Agustus 2024.

    Menurut IMF, justru masalah mendasar dalam administrasi perpajakan Indonesia perlu diatasi terlebih dahulu sebelum memulai perubahan besar seperti ini.

    IMF menyebutkan, belajar dari pengalaman internasional memperlihatkan keberhasilan dalam administrasi penerimaan tidak hanya bergantung pada restrukturisasi, tetapi juga pada perbaikan manajemen risiko, digitalisasi, dan peningkatan basis wajib pajak.

    Lebih lanjut, IMF secara tegas menyatakan, bahwa target Prabowo untuk meningkatkan pendapatan hingga 23 persen dari produk domestik bruto (PDB) adalah misi yang sangat ambisius, dan hampir mustahil tercapai tanpa reformasi besar-besaran yang dilakukan dengan hati-hati.

    IMF juga mengingatkan agar kebijakan perpajakan, termasuk pembatasan insentif pajak dan pembenahan belanja perpajakan, tidak dijadikan alat politik yang justru merugikan negara.

    Oleh karena itu, IMF menekankan perlunya reformasi kebijakan perpajakan yang ambisius, selain dari implementasi penuh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

    Selanjutnya, lembaga internasional yang memberikan utang kepada negara anggotanya itu juga menyarankan agar Pemerintah Indonesia memperbarui Strategi Penerimaan Jangka Menengah (MTRS) 2017, yang mencakup penguatan pajak langsung dan tidak langsung serta meminimalkan kebocoran dari insentif perpajakan agar lebih tepat sasaran. Salah satu langkah lain untuk mencapai target rasio pajak tersebut adalah dengan meninjau kembali belanja pajak (tax expenditure).

    Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), nilai belanja perpajakan Indonesia pada tahun 2022 tercatat mencapai Rp323,5 triliun atau sebesar 1,65 pesen dari PDB, meningkat 4,4 persen dibandingkan tahun 2021 yang sebesar Rp310,0 triliun atau 1,83 persen dari PDB.

    IMF mendorong pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa pembebasan pajak dan insentif tetap terbatas guna mencegah erosi basis pajak dan mengamankan peningkatan penerimaan pajak dalam jangka menengah.

    Meskipun demikian, menjelang pengumuman Nota Keuangan dan RAPBN 2025, baik pemerintah petahana maupun pemerintah terpilih belum mengungkapkan secara rinci rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara.

    Beli iPhone 16 di Luar Negeri kena Pajak

    Bagi masyarakat Indonesia yang mengincar iPhone 16 sudah bisa dipesan di 38 negara seperti Malaysia dan Singapura, karena di Indonesia karena belum ada di gerai resminya.

    Jika para Apple Fanboy (penggemar produk Apple/iPhone) di Tanah Air yang tidak sabar untuk memiliki ponsel tersebut dapat memesan di luar negeri.

    Tapi, perlu diketahui, ada bea masuk dan pajak impor yang harus dibayar jika membeli di luar negeri.

    Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, jika membeli iPhone 16 Pro Max 256 GB senilai USD1.199 atau Rp17.985.000 (kurs Rp15.000) dan dibawa sebagai barang bawaan pribadi penumpang.

    Berikut estimasi bea masuk dan pajak impornya:

    • Nilai produk: USD1.199
    • Pembebasan: USD500
    • Nilai yang dikenakan pungutan: USD699
    • Nilai pabean: USD699 x Rp15.000 =485.000
    • Bea masuk: 10persen x nilai pabean = 10 persen x Rp10.485.000 = Rp1.048.500
    • Nilai impor: Nilai pabean + bea masuk = Rp11.533.500
    • PPN: 11persen x nilai impor = 11 persen x Rp11.533.500 = Rp 1.268.685
    • PPh (pemilik NPWP): 10persen x nilai impor = 10 persen x Rp11.533.500 = Rp1.153.350
    • PPh (tidak punya NPWP) : 20persen x nilai impor = 20 persen x Rp11.533.500 = Rp2.306.700

    Total tagihan jika beli iPhone 16 dari luar negeri: Bea masuk + PPN + PPh = Rp 3.471.035 (pemilik NPWP) dan Rp 4.624.385 (tidak punya NPWP)

    “Nilai perhitungan ini adalah estimasi, nilai sebenarnya dapat berbeda bergantung kurs pajak dan harga ponsel,” jelas Bea Cukai. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.