KABARBURSA.COM – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan kenaikan signifikan sebesar 1,23 persen (mount-to-mount/mtm) menjadi 122,78 pada Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) pada Desember 2024.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengungkapkan, kenaikan ini dipicu oleh peningkatan indeks harga yang diterima petani (IT) sebesar 1,83 persen yang lebih besar dibandingkan kenaikan indeks harga yang dibayar petani (IB) yang naik 0,60 persen.
Komoditas utama yang mendorong kenaikan NTP ini adalah kelapa sawit, kakao, gabah, dan bawang merah. Sektor hortikultura menjadi sektor dengan kenaikan NTP terbesar, mencapai 5,26 persen.
“Kenaikan ini terjadi karena indeks harga yang diterima petani hortikultura naik lebih besar dibandingkan dengan kenaikan biaya yang harus dibayar petani,” jelas Pudji dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Menurutnya, kenaikan NTP menunjukkan adanya peningkatan pendapatan bagi petani di sebagian besar subsektor pertanian. Kendati demikian, dampaknya belum merata di seluruh provinsi. Berdasarkan catatan BPS, hanya 29 provinsi yang NTP-nya naik. Kenaikan tertinggi terjadi di Sulawesi Tengah dengan capaian 4,47 persen.
Sementara 9 provinsi lainnya mengalami penurunan NTP. Penurunan terbesar, lanjut dia, terjadi di Papua Barat sebesar 1,13 persen. Penurunan NTP di Papua Barat di sebabkan oleh penurunan harga komoditas bayam, cabe rawit, terong, jeruk, dan kelapa.
NTN Nelayan juga Naik
BPS juga mencatat kenaikan nilai tukar nelayan (NTN) di 26 provinsi. Kenaikan NTN tertinggi terjadi di Gorontalo dengan capaian 3,08 persen. Sementara di 11 provinsi lainnya mengalami penurunan NTN. Penurunan terbesar terjadi di Jawa Barat dengan capaian -1,54 persen.
Lebih lanjut, BPS juga mencatatkan kenaikan nilai tukar usaha petani (NTUP) sebesar 1,72 persen menjadi 125,90 persen pada Desember 2024.
Menurutnya, kenaikan NTUP terjadi karena ada peningkatan indeks harga yang diterima petani lebih besar dibandingkan dengan kenaikan biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM), yang hanya naik sebesar 0,11 persen.
“Komoditas yang dominan yang memengaruhi kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) nasional adalah jerami, bibit bawang merah, upah penanaman, dan upah membajak,” tambah Pudji.
Subsektor hortikultura kembali mencatatkan kenaikan NTUP tertinggi sebesar 5,66 persen, berkat kenaikan harga yang diterima petani yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksi dan penambahan modal yang mereka bayar.
Peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan indeks harga yang diterima petani hortikultura sebesar 5,86 persen, yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan modal sebesar 0,19 persen.
“Komoditas yang dominan yang memengaruhi kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) adalah bibit bawang merah, upah mencangkul, sewa lahan, dan upah menuai atau memanen,” jelas Pudji.
Harga Gabah dan Beras
Sebelumnya, BPS melaporkan harga gabah dan beras di tingkat petani, penggilingan, grosir, dan eceran mengalami pergerakan yang bervariasi pada Desember 2024.
Harga gabah kering panen tercatat meningkat sebesar 0,87 persen secara bulanan (mtm). Namun, secara tahunan (yoy), harga gabah kering turun sebesar -5,47 persen. Hal serupa terjadi pada harga gabah kering giling, yang naik 0,71 persen secara bulanan, tetapi merosot hingga 8,90 persen secara tahunan.
“Kenaikan harga gabah kering panen dan gabah kering giling menjadi salah satu faktor yang memengaruhi dinamika harga pangan pada akhir tahun ini,” ujar Pudji.
Di sisi lain, harga beras di penggilingan pada Desember 2024 tercatat meningkat sebesar 0,89 persen secara mtm, namun turun 3,63 persen secara yoy. Pudji juga menyampaikan bahwa inflasi beras terlihat di tingkat grosir dan eceran. Pada tingkat grosir, inflasi tercatat sebesar 0,24 persen mtm dan 0,20 persen yoy, sementara di tingkat eceran lebih tinggi dengan inflasi 0,25 persen mtm dan 2,58 persen yoy.
“Perlu dicatat bahwa harga beras yang kami sampaikan di sini mencakup rata-rata harga beras dengan berbagai kualitas yang ada di seluruh wilayah Indonesia,” tambah Pudji.
Namun, di balik fluktuasi harga yang terjadi, BPS mencatat adanya penurunan luas panen padi pada 2024. Puncak musim kemarau yang terjadi pada Juli hingga Agustus 2024 berdampak signifikan pada produksi tanaman pangan, termasuk padi.
Selain itu, puncak panen juga bergeser dari Maret 2023 ke April 2024. Pudji memprakirakan, luas panen padi turun sebesar 1,54 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
“Penurunan luas panen padi ini dipengaruhi oleh musim kemarau yang lebih panjang, serta perubahan pola curah hujan yang mempengaruhi hasil pertanian,” pungkas Pudji. (*)