KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pakan Rabaa Solok Selatan. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-100/D.03/2024 tanggal 11 Desember 2024.
"Pencabutan izin usaha PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan merupakan bagian tindakan pengawasan yang dilakukan OJK untuk terus menjaga dan memperkuat industri perbankan serta melindungi konsumen," ujar Kepala OJK Provinsi Sumatera Barat, Roni Nazra, dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu 12 Desember 2024.
Pencabutan izin usaha ini diambil setelah BPR Pakan Rabaa Solok Selatan mengalami penurunan kondisi keuangan yang signifikan. Pada Mei 2024, OJK telah menetapkan BPR tersebut dalam status pengawasan Bank Dalam Penyehatan karena sejumlah indikator keuangannya berada di bawah ambang batas yang ditetapkan.
"BPR ini memiliki rasio KPMM kurang dari 12 persen, Cash Ratio (CR) rata-rata selama 3 bulan terakhir kurang dari 5 persen, serta Tingkat Kesehatan (TKS) BPR memiliki predikat Tidak Sehat," jelas Roni.
Meskipun telah diberikan waktu yang cukup untuk melakukan upaya penyehatan, pengurus dan pemegang saham BPR Pakan Rabaa Solok Selatan tidak mampu mengatasi permasalahan permodalan dan likuiditas yang dihadapi.
"Pada 26 November 2024, OJK menetapkan BPR ini dalam status pengawasan Bank Dalam Resolusi," tambah Roni.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga telah memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPR Pakan Rabaa Solok Selatan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Simpanan dan Resolusi Bank Nomor 135/ADK3/2024 tanggal 4 Desember 2024.
OJK mengimbau kepada seluruh nasabah PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan untuk tetap tenang. Dana masyarakat yang tersimpan di BPR ini dijamin oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," pungkas Roni.
Cabut Izin Usaha
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melaporkan sebanyak 137 bank telah ditutup dalam kurun waktu 19 tahun terakhir, mayoritas berupa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR Syariah).
Proses likuidasi terhadap bank-bank tersebut telah selesai sejak LPS mulai beroperasi pada 2005 hingga September 2024.
“Sejak beroperasi pada 2005 hingga 30 September 2024, sebanyak 137 bank telah dilikuidasi, terdiri dari satu bank umum, 123 BPR, dan 13 BPR Syariah,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Sepanjang tahun 2024 hingga triwulan III, LPS mencatat 15 BPR-BPR Syariah dicabut izin usahanya (CIU) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, terdapat 17 bank yang masih dalam proses likuidasi, termasuk dua bank yang masuk proses sejak tahun lalu.
Purbaya juga mengungkapkan pencapaian LPS dalam menyelamatkan satu BPR di Indramayu yang sebelumnya berstatus “bank dalam resolusi” oleh OJK.
“BPR tersebut berhasil kembali beroperasi normal pada Mei 2024, menjadi kasus pertama yang terjadi berkat kerja sama erat antara LPS dan OJK,” ujarnya.
Dalam tahun yang sama, LPS menyelesaikan likuidasi dua bank, yakni BPR Pasar Umum dan BPR Persada Guna, dengan rata-rata waktu penyelesaian 15 bulan. Selain itu, LPS mencatat peningkatan efisiensi dalam pembayaran klaim simpanan layak bayar.
Hingga triwulan III 2024, rata-rata pembayaran klaim pertama hanya memerlukan waktu lima hari kerja setelah pencabutan izin usaha, lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Percepatan pembayaran klaim ini bertujuan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, sehingga mengurangi potensi kepanikan jika ada bank yang bermasalah,” ucap Purbaya.
Purbaya menegaskan bahwa LPS terus berupaya mengubah citra dari “malaikat maut” menjadi mitra bagi nasabah.
“Sekarang, kehadiran LPS justru menjadi jaminan keamanan simpanan nasabah,” pungkasnya.
Kemajuan Pasar Keuangan Syariah
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menekankan pentingnya lima faktor utama untuk mempercepat kemajuan pasar keuangan syariah di Indonesia.
Faktor pertama yang dijelaskan adalah pentingnya inovasi produk keuangan syariah yang melampaui tiga instrumen utama, yaitu sukuk, takaful, dan wakaf.
Sebagai salah satu penerbit sukuk terbesar, Indonesia sudah memulai penerbitan Green Sukuk, yang berfokus pada optimalisasi manfaat keuangan bagi ekonomi dan lingkungan berkelanjutan.
“Kedua, akselerasi pasar keuangan syariah melalui digitalisasi ekonomi dan keuangan syariah,” kata Perry dalam acara Joint High Level Seminar and Investor Forum, hasil kolaborasi BI bersama Islamic International Liquidity Management (IILM) dan Islamic Financial Services Board (IFSB), dengan tema ‘Future Development of Product Innovation and Liquidity Management in the Islamic Financial Services Industry’ pada hari Kamis, 31 Oktober 2024.
Digitalisasi dianggap penting untuk memperluas akses dan mempercepat inklusi keuangan. Faktor ketiga adalah integrasi layanan keuangan wholesale dan ritel, yang diharapkan memperkuat keterhubungan antara lembaga-lembaga keuangan syariah, termasuk asuransi dan lembaga sosial finansial.(*)