KABARBURSA.COM - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, memastikan proses pengalihan pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi atau Bappebti ke lembaganya berlangsung mulus tanpa hambatan berarti. Kelancaran proses ini tak lepas dari kerangka regulasi yang telah disiapkan sebelumnya, yakni Peraturan OJK atau POJK Nomor 27 tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto.
Dengan adanya regulasi ini, proses transisi berjalan terarah dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. "Saya sempat diskusi singkat dengan Menteri Perdagangan untuk melakukan proses itu dalam format yang resmi," ujar Mahendra saat ditemui usai menghadiri acara pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia tahun 2025 di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis, 2 Januari 2024.
Kendati peraturan pemerintah perihal transisi pengawasan aset kripto belum diterbitkan, Mantan Wakil Menteri Luar Negeri ini meyakini pihaknya telah membahas dan mempersiapkan proses tersebut. "Saya rasa tidak ada kendala. Ini karena proses pemindahan saja dari penanggung jawab kepada OJK," ujarnya.
Mahendra mengklaim pihaknya telah mengantisipasi sebaik mungkin demi kelancaran proses transisi ini. "Kami mengharapkan proses transisinya akan berjalan mulus, seamless istilahnya. Sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang kurang baik dan tidak pasti," katanya.
Seleksi Alam Kripto di Indonesia
Peraturan baru dari OJK membawa dinamika baru ke dunia perdagangan aset kripto Indonesia. Melalui POJK Nomor 27 Tahun 2024, hanya aset kripto yang berhasil masuk ke daftar Bursa yang diperbolehkan untuk diperdagangkan. Artinya, aset kripto yang sebelumnya bebas melenggang di pasar kini harus melewati proses evaluasi dan seleksi yang ketat oleh OJK.
Dalam Pasal 9 ayat (1) POJK, Bursa diberi mandat untuk menetapkan Daftar Aset Kripto. Namun, tugas ini bukan sekadar mencatat nama-nama, melainkan membutuhkan analisis mendalam. Pasal 10 menjelaskan bahwa analisis tersebut melibatkan berbagai aspek, mulai dari manfaat ekonomi, teknologi, hingga tata kelola dan keamanan. Bursa juga diwajibkan mengutamakan perlindungan konsumen dengan menerapkan prinsip kehati-hatian selama proses berlangsung.
Lebih jauh, Bursa Kripto harus menyusun pedoman khusus sebagai dasar dalam menetapkan daftar aset kripto. Pedoman ini tidak hanya berfungsi sebagai acuan teknis, tetapi juga harus dilaporkan kepada OJK untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Pasal 10 ayat (4) menggarisbawahi, “Pedoman penetapan Daftar Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. pedoman umum analisis kesesuaian Aset Kripto; dan b. pedoman teknis pelaksanaan analisis Aset Kripto.”
Untuk memastikan transparansi, Pasal 10 ayat (5) mewajibkan Bursa mempublikasikan daftar aset kripto maksimal satu hari setelah ditetapkan. Dengan begitu, investor dan pelaku pasar dapat mengetahui aset mana saja yang sah untuk diperdagangkan di Indonesia.
Aturan baru perdagangan aset kripto membawa tanggung jawab tambahan bagi para pedagang. Dalam Pasal 12 ayat (1), pedagang yang ingin memperdagangkan aset tertentu diwajibkan memberikan pemberitahuan tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling lambat tujuh hari kerja sebelum perdagangan dimulai. Sebaliknya, jika pedagang ingin menghentikan perdagangan aset tertentu, laporan penghentian harus diajukan paling lambat sepuluh hari kerja sebelumnya.
Tak hanya sekadar melapor, penghentian perdagangan juga memerlukan rincian yang jelas. Sesuai Pasal 12 ayat (3), laporan ini harus mencakup alasan penghentian, langkah mitigasi yang direncanakan, jumlah konsumen yang terdampak, serta total nilai aset kripto yang dimiliki.
Lempar Tongkat Kripto dari Bappebri ke OJK
[caption id="attachment_100918" align="alignnone" width="1323"] Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan peraturan terbaru, yakni Peraturan OJK Nomor 27 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital, yang mencakup aset kripto. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)[/caption]
Pengawasan aset kripto di Indonesia sebelumnya memasuki babak baru dengan peralihan wewenang dari Bappebti ke OJK. Melalui Peraturan OJK Nomor 27 Tahun 2024, yang mengatur penyelenggaraan perdagangan aset keuangan digital termasuk kripto, tongkat pengawasan kini berada di tangan OJK.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M Ismail Riyadi, mengatakan aturan ini tak muncul begitu saja. Peraturan tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Dengan kata lain, langkah ini adalah upaya besar pemerintah untuk menata ulang ekosistem keuangan digital agar lebih teratur dan terintegrasi.
“Melalui POJK 27/2024, OJK bertanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) serta aset keuangan digital, termasuk aset kripto,” jelas Ismail Riyadi, Selasa, 24 Desember 2024.
OJK telah menyusun strategi bertahap dalam mengelola peralihan pengawasan aset kripto. Menurut Ismail, transisi ini akan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, yang disebut soft landing, dimulai pada awal masa peralihan. Setelah itu, OJK akan memasuki fase kedua yang berfokus pada penguatan, dan akhirnya fase ketiga yang mencakup pengembangan lebih lanjut untuk sektor ini.
[caption id="attachment_104740" align="alignnone" width="2379"] Peringkat adopsi kripto global berdasarkan berbagai metrik, seperti indeks keseluruhan, nilai layanan terpusat, dan aktivitas DeFi. Sumber: Chainalysis diolah KabarBursa.com.[/caption]
“Pada fase pertama, OJK mengeluarkan POJK 27/2024 yang mengadopsi peraturan Bappebti dengan sejumlah penyempurnaan yang diperlukan, sesuai dengan standar praktik terbaik serta pengaturan yang berlaku di sektor jasa keuangan,” kata Ismail.
POJK 27/2024 dirancang untuk memastikan perdagangan aset keuangan digital dilakukan secara teratur, transparan, dan efisien. Selain itu, peraturan ini juga menekankan penerapan tata kelola yang baik, manajemen risiko yang solid, integritas pasar, serta keamanan sistem informasi dan siber. Pencegahan pencucian uang dan perlindungan konsumen menjadi perhatian utama dalam aturan ini.
Aturan baru ini juga menetapkan kewajiban bagi penyelenggara perdagangan aset digital untuk mendapatkan izin resmi dari OJK. Selain itu, mereka diwajibkan menyampaikan laporan secara berkala maupun insidental sesuai kebutuhan regulasi.
Ismail menambahkan, konsumen dan calon konsumen aset keuangan digital, termasuk kripto, harus memahami secara mendalam risiko yang melekat pada transaksi tersebut. “Penyelenggara perdagangan aset keuangan digital juga harus aktif dalam meningkatkan literasi konsumen,” katanya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.