Logo
>

Omzet Industri Ritel di Jakarta Rp700 Triliun per Tahun

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Omzet Industri Ritel di Jakarta Rp700 Triliun per Tahun

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa jumlah ritel di suatu negara dapat menjadi indikator pertumbuhan ekonomi nasional.

    Kata Airlangga, menurut laporan World Bank, sektor konsumsi atau ritel di Indonesia terus mengalami pertumbuhan sejak 2022. Pusat perbelanjaan di Indonesia, terutama di Jakarta, termasuk dalam kategori yang terbaik dan modern.

    “Berapa jumlah Alfamarat, Indomaret, Ace Hardware, itu menjadi indikator ekonomi nasional. Berapa outlet daripada iBox, itu juga jadi indikator daya beli ritel kita,” ujar Airlangga dalam pembukaan Indonesia Retail Summit 2024 di Jakarta, Rabu 28 Agustus 2024.

    Airlangga menyampaikan dia mendengar dari Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Budihardjo Iduansjah bahwa omzet industri ritel di Jakarta mencapai hingga Rp 700 triliun per tahun.

    “Saya ingin menyampaikan bahwa ritel di Jakarta ini, memang tadi Pak Budi (Ketua Umum HIPPINDO) mengatakan omzet yang ada di ruangan ini Rp700 triliun per tahun. Jadi ini adalah sebuah angka yang besar,” katanya.

    Airlangga juga menjelaskan bahwa sektor ritel di Jakarta kuat karena pendapatan per kapita di kota ini telah melewati jebakan pendapatan kelas menengah atau middle income trap.

    Rata-rata pendapatan di Jakarta, menurut Airlangga, telah mencapai USD20.000 atau sekitar Rp300 juta per tahun, yang mendorong berdirinya berbagai pusat perbelanjaan.

    “Sebetulnya kalau kita monitor pertumbuhan ekonomi itu bisa monitor, jenis ritel di kota itu bisa mencerminkan berapa level income per kapita,” katanya.

    Bahkan,  dia mengungkapkan, pertumbuhan pesat industri ritel di Jakarta dapat dilihat dari kualitas mal yang lebih baik dari negara lain.

    Dengan demikian menurutnya, pesatnya industri ritel di Jakarta membuat pendapatan per kapita kota tersebut mencapai USD20.000 per tahun, sehingga pertumbuhan ritelnya terus digenjot. Hal ini kata dia, juga perlu dicontoh kota-kota besar lainnya di Indonesia.

    “Kita tahu kalau mal di Indonesia khususnya Jakarta lebih baik dari berbagai mal di global, termasuk di San Francisco,” jelas Airlangga.

    Airlangga memastikan pemerintah akan terus mendukung daya beli masyarakat kelas menengah dengan memberikan berbagai program seperti bantuan iuran BPJS Kesehatan, Kartu Prakerja, dan subsidi energi.

    “Jadi inilah program bantalan yang dilakukan oleh pemerintah agar setiap masyarakat punya akses saving untuk daya beli dan juga untuk ke depan. Middle class kita kan cirinya adalah yang dibeli atau yang dibelanjakan itu beyond food and beverage, selain makanan dan minuman," ucap Airlangga.

    Soal Kenaikan PPN 12 Persen

    Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Budihardjo Iduansjah mengungkapkan kekhawatirannya mengenai rencana Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

    Dia meminta pemerintah terpilih mendatang tidak menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen. Mengingat selama ini pihaknya telah menuruti kebijakan pemerintah, termasuk kenaikan tarif PPN sebelumnya, yakni 11 persen.

    Budihardjo menyatakan pihaknya akan selalu siap bermitra dengan pemerintah untuk meningkatkan penjualan domestik dan membantu peningkatan penerimaan pajak melalui kenaikan omzet, bukan dengan menaikkan tarif PPN.

    “HIPPINDO akan terus bermitra dengan pemerintah. Jadi mitra yang aktif, menaikkan penjualan di dalam negeri, membantu menaikkan pajak dengan menaikkan omzet, bukan PPN-nya,” kata Budihardjo dalam acara Indonesia Retail Summit di Swissotel Jakarta PIK Avenue, Jakarta Utara, Rabu, 28 Agustus 2024.

    Menurut Budihardjo, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan dapat berdampak negatif pada daya beli masyarakat, terutama kelompok kelas menengah, meskipun dampaknya mungkin baru terasa dalam jangka menengah.

    “Dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen memang tidak bersifat jangka pendek. Tapi dalam waktu jangka menengah itu ada pengaruh,” ujarnya.

    Ia khawatir, dengan kenaikan PPN ini akan mengurangi konsumsi masyarakat untuk berbelanja di sektor ritel.

    Karena itu, Budi meminta pemerintahan terpilih untuk menunda rencana kenaikan PPN tersebut. Jika penundaan tidak memungkinkan, ia berharap pemerintah dapat memberikan insentif bagi kelas menengah, seperti program kesehatan atau stimulus ekonomi, untuk mengimbangi dampak kenaikan PPN ini.

    “Kalau tidak bisa ditunda, kenaikan PPN 12 persen itu bisa dikembalikan ke meningkatkan daya beli masyarakat. Misalnya program kesehatan atau program rakyat bawa untuk stimulus ekonomi dari uang tambahan itu,” ungkap dia.

    Di acara yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah akan mempelajari usulan dari para pelaku usaha. Namun, Airlangga tidak memberikan kepastian apakah pemerintah akan menunda kenaikan PPN menjadi 12 persen yang rencananya diterapkan tahun depan.

    “Nanti kita pelajari,” pungkas Airlangga. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.