Logo
>

Pasar Bersiap Hadapi Tsunami Tarif, Sell in May Relevan?

Secara historis, bulan Mei memang cenderung melemah. IHSG mencatatkan probabilitas kenaikan hanya 20 persen dalam lima tahun terakhir.

Ditulis oleh Yunila Wati
Pasar Bersiap Hadapi Tsunami Tarif, Sell in May Relevan?
Ilustrasi. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Memasuki Mei 2025, pasar keuangan global tengah menghadapi tekanan berlapis. Di satu sisi, agenda makroekonomi penuh dengan rilis data penting dari negara-negara utama seperti Amerika Serikat, China, Jerman, Jepang, dan Indonesia. 

Di sisi lain, kebijakan tarif baru yang dicanangkan oleh Donald Trump mengguncang dinamika perdagangan internasional dan berpotensi memicu inflasi baru serta ketegangan geopolitik.

Indonesia: GDP 1Q25 Tertekan, Konsumsi dan Investasi Melemah

Dalam laporan market outlook Kiwoom Sekuritas Indonesia, Senin, 5 Mei 2025, RI mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,87 persen pada kuartal I-2025. Angka tersebut menjadi yang terendah sejak kuartal ketiga 2021. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi tulang punggung PDB, namun hanya tumbuh 4,89 persen meski didukung momen Ramadan dan Lebaran. 

Investasi atau PMTB turun drastis ke 2,12 persen yang mencerminkan dampak suku bunga tinggi dan ketidakpastian global. Belanja pemerintah juga menyusut -1,38 persen karena efisiensi fiskal. Di sisi eksternal, ekspor naik 6,78 persen, tetapi impor justru melambat ke 3,96 persen.

Kiwoom Sekuritas Indonesia memperkirakan pertumbuhan Indonesia sepanjang 2025 akan berada di bawah 5 persen, bahkan dengan potensi kontraksi sebesar 0,3–0,5 persen di beberapa kuartal. 

Tekanan inflasi yang minim membuka ruang bagi Bank Indonesia untuk memangkas suku bunga hingga 50 bps pada semester kedua, dengan catatan The Fed mulai longgar sekitar Juni atau Juli.

AS dan Kebijakan Tarif Trump: Harga Naik, Konsumsi Tertekan

Hal lain yang membuat ekonomi semakin tidak menentu adalah kenyataan bahwa ekonomi Amerika Serikat juga mengalami pelambatan. Diketahui, pertumbuhan PDB AS hanya 0,3 persen yoy pada Q1 2025, turun dari 2,4 persen tahun sebelumnya. 

Impor AS melonjak hingga 41,3 persen. Hal ini disebabkan karena pelaku usaha berlomba-lomba memasukkan barang sebelum tarif baru berlaku. Kebijakan baru mencakup:

  • Tarif 100 persen untuk film produksi luar negeri.
  • Tarif 25 persen untuk mobil impor (CBU).
  • Tarif tetap untuk barang e-commerce murah dari China dan Hong Kong.

Langkah-langkah ini menekan konsumen AS, khususnya kalangan berpenghasilan rendah yang mengandalkan produk murah dari e-commerce seperti Shein dan Temu. 

Dunia hiburan pun terguncang, dengan produksi film internasional dibatasi. Harga mobil baru dan bekas pun diprediksi melonjak dalam kuartal mendatang.

Proyeksi Moody’s menunjukkan inflasi konsumen AS akan naik 0,4 persen hanya dalam dua bulan akibat tarif tersebut. Model Penn Wharton Budget mengestimasikan bahwa jika tarif ini menjadi permanen, maka PDB AS bisa turun 6 persen dalam jangka panjang dan upah riil bisa terpangkas 5 persen. 

Rata-rata rumah tangga kelas menengah diperkirakan akan kehilangan potensi penghasilan sebesar USD 22.000 sepanjang hidupnya.

Reaksi Global dan Potensi Retaliasi

China menyebut langkah AS sebagai “serangan ekonomi” dan mengancam akan membatasi ekspor bahan baku kritikal seperti rare earth. Sementara itu, dunia menanti apakah jalur diplomatik antara Washington dan Beijing bisa mencegah eskalasi lebih lanjut. 

Jika tidak, tarif penuh akan diberlakukan bertahap mulai akhir Mei hingga Juli 2025. Industri yang paling terdampak meliputi komponen elektronik, barang konsumsi, baterai EV, dan panel surya.

Pasar Saham: Sell in May Tetap Relevan?

Secara historis, bulan Mei memang cenderung melemah. IHSG mencatatkan probabilitas kenaikan hanya 20 persen dalam lima tahun terakhir, menjadikannya bulan dengan peluang terendah dibanding 11 bulan lainnya. 

Hal ini menjadi lebih relevan karena saat ini investor dihadapkan pada gejolak kebijakan proteksionis dan ketidakpastian suku bunga global.

Namun, kondisi seperti ini juga membuka peluang selektif. Pelaku pasar yang cermat bisa mencari titik masuk baru setelah koreksi, terutama jika ada sinyal kuat dari bank sentral atau respons kebijakan fiskal baru.

Tren Bulanan IHSG: Siapa yang Bersinar, Siapa yang Meredup?

Jika dilihat dari data lima tahun terakhir, bulan Mei secara konsisten menunjukkan performa buruk, dengan rata-rata return sebesar -1,78 persen. Ini merupakan rata-rata terendah sepanjang tahun, bahkan dengan probabilitas kenaikan hanya 20 persen dan menjadikannya bulan dengan potensi naik paling kecil. 

Hal ini memperkuat sentimen bahwa Mei memang bukan bulan yang bersahabat bagi investor IHSG.

Namun, tidak semua bulan musim panas tampil buruk. Justru sebaliknya, Juli dan Agustus menjadi bintang utama dengan rata-rata return masing-masing 2,19 persen dan 2,66 persen, serta probabilitas naik mencapai 100 persen. 

Artinya, dalam lima tahun terakhir, IHSG selalu mengalami kenaikan pada bulan Juli dan Agustus. Ini menjadi sinyal kuat bahwa tidak semua bagian dari strategi “Sell in May” relevan dengan pasar Indonesia.

Pergeseran Sentimen di Tahun-Tahun Tertentu

Tahun 2024 dan 2025 menunjukkan dinamika menarik. Misalnya, di Februari 2025, IHSG anjlok tajam hingga -11,80 persen, menjadi salah satu penurunan bulanan terbesar dalam lima tahun. 

Namun, bulan berikutnya justru bangkit tajam dengan kenaikan 3,83 persen di Maret dan 3,93 persen di April 2025. Ini mengisyaratkan bahwa volatilitas tinggi masih mewarnai pola pergerakan indeks, dan investor harus waspada terhadap pembalikan tren mendadak.

Sebaliknya, tahun 2023 menunjukkan pola pemulihan dengan pertumbuhan tahunan sebesar 6,16 persen, disokong lonjakan kuat pada November (4,87 persen) dan Desember (2,71 persen). Ini memperlihatkan bahwa meski sebagian bulan lemah, IHSG mampu mengakhiri tahun dengan impresif.

Apa Kata Statistik? 

Secara statistik, probabilitas kenaikan IHSG paling tinggi terjadi pada Februari (80 persen), April (80 persen), serta Juli dan Agustus (masing-masing 100 persen). 

Ini menunjukkan bahwa strategi berdasarkan rata-rata kinerja bulanan dapat memberikan sinyal waktu terbaik untuk masuk pasar.

Namun, perlu dicatat bahwa strategi musiman tidak menjamin hasil pasti. Misalnya, meskipun November memiliki rerata negatif (-0.58 persen), pada tahun 2023 indeks justru naik hampir 5 persen. 

Oleh karena itu, investor sebaiknya tidak hanya mengandalkan statistik bulanan semata, tetapi juga memperhatikan sentimen pasar, data ekonomi makro, dan faktor global lainnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79