KABARBURSA.COM – Pasar saham global melemah pada Senin, 23 Juni 2025, pagi, sementara harga minyak sempat menembus level tertinggi dalam lima bulan terakhir. Dolar Amerika menguat tipis. Di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat, investor menanti kemungkinan langkah balasan Iran atas serangan udara Amerika Serikat ke fasilitas nuklirnya.
Hingga saat ini, reaksi pasar terhadap eskalasi di Timur Tengah masih cenderung tenang. Investor memilih bersikap menunggu sambil mencermati arah situasi geopolitik yang masih cair. Dilansir dari Reuters di Jakarta, berikut adalah beberapa tanggapan analis pasar merespons situasi ini.
Analis valas di Commonwealth Bank of Australia, Carol Kong, menyebut respons pasar terhadap konflik masih lemah karena pelaku pasar menunggu reaksi resmi dari Iran. Ia menilai pasar lebih khawatir terhadap dampak inflasi dari konflik ini ketimbang efek perlambatan ekonomi.
Menurut dia, nilai tukar global akan sangat sensitif terhadap pernyataan dan langkah dari pemerintah Iran, Israel, maupun Amerika Serikat. Jika ketegangan meningkat, ia memperkirakan mata uang safe haven seperti yen dan franc Swiss akan menguat signifikan.
Kepala strategi investasi di Saxo, Singapura, Charu Chanana, mengatakan pasar saat ini memandang serangan AS ke Iran sebagai peristiwa yang masih terkendali. Minimnya aliran modal ke aset aman, menurut dia, menunjukkan bahwa investor belum melihat ini sebagai ancaman serius terhadap pasokan minyak global atau perdagangan internasional.
Chanana juga menilai, sebagian investor justru menginterpretasikan serangan ke fasilitas nuklir Iran sebagai bentuk pengurangan risiko jangka panjang. Jika kemampuan nuklir Iran dianggap melemah signifikan, pasar bisa membaca situasi ini sebagai de-eskalasi terselubung, bukan ancaman baru. Namun ia mengingatkan setiap sinyal balasan dari Iran, apalagi yang menyangkut Selat Hormuz, bisa cepat mengubah sentimen dan memaksa pasar menghitung ulang risiko geopolitik.
Analis suku bunga kawasan Asia-Pasifik dari TD Securities, Prashant Newnaha, menilai pergerakan harga sejauh ini menunjukkan pasar memandang konflik ini tidak akan berlangsung lama dan kemungkinan besar akan mereda dengan sendirinya.
Sementara itu di Tokyo, Shoki Omori dari Mizuho Securities mengatakan pelaku pasar Jepang lebih memilih bersikap wait-and-see. Antisipasi sebelumnya terhadap penguatan obligasi pemerintah Jepang pasca penurunan tajam penerbitan obligasi 20 tahun tidak sepenuhnya terwujud. Hal ini disebabkan minimnya pergerakan suku bunga AS serta sentimen yang justru cenderung mendukung penguatan dolar.
Direktur Strategi Investasi OCBC, Vasu Menon, mengatakan arah pasar global kini sangat bergantung pada bagaimana Iran merespons. Serangan mendadak dari AS dan peringatan keras dari Donald Trump agar Iran tidak membalas, menurut dia, bisa menahan langkah agresif dari Teheran.
Menon juga memperkirakan volatilitas akan terus mewarnai pasar global dalam beberapa hari hingga pekan ke depan, seiring ketidakpastian yang ditimbulkan dari Timur Tengah dan kebijakan tarif Trump yang belum jelas. Meski begitu, ia menilai krisis ini belum cukup kuat untuk menggoyang tren bull market di pasar saham global, selama inflasi tidak melonjak tajam dan ekonomi dunia tak jatuh ke jurang resesi.
Ia menambahkan, aset lindung nilai seperti emas masih berpeluang menguat. Ketidakpastian global yang terus membayangi dan tren diversifikasi cadangan devisa dari dolar AS ke emas oleh sejumlah bank sentral dunia, menurut dia, bisa mendorong harga emas menembus USD3.900 per ons dalam 12 bulan ke depan.(*)