KABARBURSA.COM - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menetapkan target ambisius dengan menurunkan angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dari level 6 menjadi 4 untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, langkah strategis pemerintah adalah mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) secara lebih massif.
Airlangga menyebut sejumlah KEK telah menunjukkan tingkat efisiensi tinggi dengan ICOR di bawah 4.
“Target kita adalah mencapai ICOR ke 4 dalam 3–4 tahun ke depan. Tahun ini kan belum banyak yang dilakukan, baru juga mulai dua minggu,” kata Airlangga di Jakarta, Selasa 14 Januari 2025.
Menurutnya, kawasan seperti Weda Bay dengan ICOR di level 2 menjadi model efisiensi investasi yang akan dijadikan tolok ukur pemerintah.
“Kalau kita memiliki daerah-daerah yang seefisien itu, kita bisa menjadi world-class benchmark. Nantinya, ICOR kita akan menjadi rata-rata antara kawasan ekonomi khusus dan daerah perekonomian lainnya,” ujarnya.
Namun, ia mengakui bahwa di luar KEK, investasi tidak langsung memberikan dampak signifikan. “Misalnya, investasi waduk harus disertai salurannya, dan saluran itu harus sampai ke sawah. Ini semua membutuhkan waktu,” tambahnya.
Selain kawasan berbasis industri seperti Weda Bay, Airlangga mengungkapkan bahwa KEK berbasis pariwisata juga menjadi prioritas untuk mencapai target ICOR.
“SEZ yang berbasis pariwisata harusnya bisa menjadi quick win. Tetapi, tantangan utamanya adalah kapasitas angkutan udara,” jelasnya.
Menurut Airlangga, jumlah pesawat yang tersedia saat ini masih belum kembali ke level sebelum pandemi COVID-19, yang menjadi kendala dalam mengoptimalkan sektor pariwisata sebagai salah satu penggerak ekonomi utama.
Meski KEK menjadi solusi jangka pendek, pemerintah tetap harus menghadapi tantangan infrastruktur dan logistik yang kompleks.
“Banyak faktor yang membuat ICOR kita tinggi, mulai dari infrastruktur yang kurang memadai, birokrasi yang rumit, hingga tingginya biaya logistik,” kata Airlangga.
ICOR Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Sebelumnya, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di Indonesia, yang kini mencapai angka 6,5.
Angka ICOR ini menjadi hambatan serius bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen, sebuah tujuan ambisius yang dihadapkan pada berbagai tantangan internal.
Wijayanto menjelaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi itu, Indonesia memerlukan investasi yang sangat besar, yaitu sekitar Rp12.480 triliun, atau setara dengan 52 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP). Jumlah ini, menurutnya, hampir mustahil dicapai dalam jangka pendek mengingat kondisi ekonomi yang ada saat ini.
“Untuk tumbuh di atas 8 persen itu sangat berat bagi Indonesia, karena memiliki hambatan ekonomi yang boros modal. Untuk tumbuh tinggi tentunya membutuhkan investasi, tetapi ICOR Indonesia cenderung bertumbuh yaitu 6,5,” katanya dalam dalam diskusi publik prospek kebijakan ekonomi prabowo yang disiarkan daring, dikutip, Senin 23 September 2024.
Sebagai informasi, ICOR adalah indikator yang menunjukkan seberapa efisien investasi digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi ICOR, semakin rendah efisiensi modal dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
Ini berarti, perekonomian Indonesia saat ini membutuhkan investasi yang lebih besar untuk mencapai pertumbuhan yang diharapkan, tetapi dengan hasil yang relatif kecil, sehingga dapat dianggap sebagai ukuran dari inefisiensi penggunaan modal.
Wijayanto menyoroti beberapa penyebab utama tingginya ICOR di Indonesia, mulai dari investasi yang tidak efisien hingga biaya tinggi dalam menjalankan perekonomian. Faktor-faktor lain yang turut memperburuk situasi ini antara lain korupsi, ketidakpastian regulasi, markup, serta perencanaan proyek yang buruk. Artinya, jika Indonesia ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, masalah-masalah ini harus segera diatasi.
“Meningkatkan investasi memang penting, tetapi menekan ICOR juga tidak kalah pentingnya,” katanya.
Untuk diketahui, secara kumulatif data realisasi investasi sepanjang periode Januari – Juni (Semester I) Tahun 2023 mencapai Rp678,7 triliun atau meningkat sebesar 16,1 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu dan berhasil menyerap 849.181 orang TKI. Capaian tersebut telah memenuhi 48,5 persen dari target realisasi investasi tahun 2023 yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebesar Rp1.400 triliun.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam konferensi persnya pagi tadi (21/7) menyampaikan capaian ini merupakan hasil kerja keras seluruh jajaran Kementerian Investasi dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) di seluruh Indonesia.
“Alhamdulillah, insyaallah saya jadinya optimis karena kita sudah lewati satu semester. Terima kasih banyak kepada tim DPMPTSP dan Kementerian Investasi. Realisasi ini adalah hasil kolaborasi semua elemen bangsa. Kalau tren ini terus terjadi sekalipun memasuki tahun politik dan kita bisa jaga kondisi, maka target bisa tercapai dan mungkin juga sektor lain bisa sama dan pertumbuhan ekonomi kita bisa tetap di atas 5 persen,” kata Bahlil.
Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan dalam paparannya bahwa kontribusi penanaman modal asing (PMA) pada Triwulan II 2023 mencapai 53,3 persen dari total investasi atau sebesar Rp186,3 triliun yang merupakan nilai tertinggi sejak 2019. Hal ini menunjukkan kepercayaan investor asing yang terus meningkat terhadap kebijakan pemerintah serta stabilitas ekonomi dan politik Indonesia. Adapun lima besar kontribusi investasi terbesar PMA berasal dari Singapura (US$3,4 miliar), R.R. Tiongkok (US$2,6 miliar), Hongkong (US$2,0 miliar), Jepang (US$1,0 miliar) dan Malaysia (US$0,8 miliar).
Pada Triwulan II 2023, Sektor Transportasi, Gudang dan Telekomunikasi menjadi sektor dengan capaian tertinggi sebesar Rp43,0 triliun, disusul oleh Sektor Industri Logam Dasar, Barang logam, Bukan Mesin dan Peralatannya sebesar Rp42,4 triliun; Pertambangan Rp37,9 triliun; Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran Rp30,4 triliun; dan Listrik, Gas, dan Air sebesar Rp25,6 triliun.