KABARBURSA.COM – Minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia terus mengalami penurunan akibat kendala birokrasi, praktik rente, dan suap. Hambatan dalam investasi ini menciptakan ketidakefisienan ekonomi yang memerlukan perhatian mendalam.
Direktur Kolaborasi Internasional Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah menyebutkan Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah yang seharusnya mampu menjadi penopang ekonomi, tetapi banyak investor tetap enggan menanamkan modal mereka.
“Sawit ini berkontribusi terhadap 53 persen total ekspor komoditas global, lalu batu bara juga sampai 22 persen,” kata Imaduddin dalam diskusi publik bertajuk konflik SDA-Tanah dan Hambatan Investasi, Rabu, 11 Desember 2024.
Keengganan investor muncul akibat konflik lahan antara warga, pengusaha, dan pemerintah yang sering diselesaikan dengan pendekatan represif. Penanganan konflik semacam ini tidak menarik bagi investor dari negara yang menerapkan prinsip Environmental, social, and governance atau ESG.
Ia menjelaskan komoditas tersebut menjadi tulang punggung ekspor Indonesia dan memiliki pengaruh besar di pasar internasional. Namun, ketergantungan pada sektor sumber daya alam memicu risiko konflik sosial yang berdampak pada ekonomi dan stabilitas masyarakat, terutama akibat praktik crony capitalism yang menghubungkan keuntungan bisnis dengan relasi antara sumber daya alam dan kekuasaan negara.
Dampak Konflik Terhadap Investasi
Imaduddin mengatakan, konflik SDA dan pertanahan yang berlarut-larut berdampak negatif terhadap kepercayaan investor dan reputasi Indonesia. Menurutnya, penyelesaian konflik yang berlarut-larut disertai dengan represi memberikan citra negatif Indonesia di mata investor internasional.
Terlebih lagi saat ini investor mempertimbangkan kriteria ESG dalam pengambilan keputusan investasi mereka. Menurutnya, berdasarkan data, saat ini adopsi standar ESG di kalangan perusahaan global terus meningkat. “Perusahaan-perusahaan di Eropa, Amerika, dan Asia Pasifik semakin memperketat kriteria ESG mereka. Ketika ada masalah lingkungan atau sosial yang tidak tertangani dengan baik, perusahaan-perusahaan tersebut enggan berinvestasi di suatu wilayah,” jelasnya.
Konsumen di negara-negara tujuan ekspor, khususnya Eropa, makin memperhatikan aspek keberlanjutan dalam proses produksi. Indonesia perlu menjaga aspek kesehatan, lingkungan, dan sosial dari sebuah produk agar bisa meningkatkan daya saingnya di pasar global.
Selain itu, penanganan konflik sosial dan lingkungan yang buruk dapat menghambat masuknya investasi baru ke Indonesia. Bahkan upaya meningkatkan minat investor di Indonesia, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya mengeluarkan Undang-Undang Cipta Kerja untuk mendukung investasi yang masuk.
Tapi, pada praktiknya, investasi justru menurun sejak tahun 2020-2023. Meski sempat terjadi peningkatan investasi pada 2022-2023, namun jika dibandingkan dengan masa awal Jokowi menjabat, terjadi penurunan yang cukup signifikan.
“Ini menunjukkan sebenarnya undang-undang cipta kerja yang selama ini digemborkan pro-investasi pada kenyataannya tidak banyak mengubah struktur ekonomi kita, terutama peranannya dalam peranan (meningkatkan) investasi dalam ekonomi kita. Justru yang terjadi adalah semakin kecil peranannya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” jelas Imaduddin.
Berbagai konflik lahan antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah menimbulkan kerugian ekonomi dan menghambat pencapaian target pembangunan. Proyek-proyek strategis nasional seharusnya dapat memberikan dampak ekonomi positif jika dijalankan dengan partisipasi yang baik. Namun, konflik sering kali meminggirkan masyarakat dari manfaat ekonomi yang seharusnya mereka peroleh.
Menurut Imaduddin, penanganan konflik dengan pendekatan represif justru meningkatkan ketegangan sosial dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan investasi pemerintah. Dalam jangka panjang, risiko sosial dan ketimpangan menjadi faktor yang tidak boleh diabaikan jika Indonesia ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Tantangan Jangka Panjang
Imaduddin mengatakan saat ini Indonesia mengalami kesenjangan pertumbuhan ekonomi dengan Malaysia sejak krisis 1998 akibat konflik sosial yang berkepanjangan. Untuk itu, Indonesia membutuhkan strategi investasi yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan jangka pendek, tetapi juga memastikan keberlanjutan dan kualitas investasi jangka panjang.
Pendekatan yang lebih partisipatif dan komprehensif diperlukan agar investasi memberikan manfaat optimal bagi pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Ia menjelaskan Indonesia membutuhkan investasi besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Namun, tingkat investasi saat ini masih terbatas jika dibandingkan dengan negara lain. "Bahkan setelah implementasi undang-undang cipta kerja,” ujarnya.
Di sisi lain, realita yang terjadi adalah investasi sering bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Padahal pencegahan konflik justru menjadi kunci dalam memperlancar investasi. Proses yang berkesinambungan dan lebih partisipatif menjadi kunci, terutama dalam konteks saat ini ketika dunia semakin berfokus pada faktor seperti ESG.
"Pencegahan konflik ini justru jangan-jangan menjadi kunci utama ketika kita ingin memperlancar arus investasi untuk masuk ke Indonesia,” katanya.(*)