KABARBURSA.COM - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyebutkan bahwa pendapatan riil masyarakat cenderung mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, sementara biaya hidup terus meningkat. Penurunan ini menjadi tantangan bagi pembangunan nasional.
Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas, Scenaider C.H. Siahaan, mengungkapkan bahwa proporsi pendapatan masyarakat yang dialokasikan untuk konsumsi menunjukkan tren penurunan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dari tahun 2010 hingga 2023.
“Tantangan pembangunan yang pertama adalah penurunan tren pendapatan disposibel masyarakat. Jika kita lihat, proporsi terhadap GDP (Gross Domestic Product) per kapita pada tahun 2023 berada di angka 72,7 persen,” kata Scenaider dalam Rapat Kerja bersama Komite IV DPD RI, Jakarta Pusat, Selasa, 3 September 2024.
Berdasarkan data yang dipresentasikannya, proporsi pendapatan riil terhadap PDB per kapita pada tahun 2010 sebesar 78,5 persen, bahkan mencapai puncaknya di 78,9 persen pada tahun 2011. Namun, pendapatan riil menunjukkan tren penurunan selama empat tahun terakhir.
Disposable income terhadap PDB per kapita pada tahun 2023 hanya berada di angka 72,7 persen. Disposable income ini mencerminkan jumlah maksimal pendapatan masyarakat yang dapat digunakan untuk konsumsi.
Scenaider menjelaskan, bahwa penurunan tren pendapatan ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tekanan inflasi akibat pandemi COVID-19 dan ketidakpastian global. Selain itu, peningkatan biaya hidup secara umum juga turut berkontribusi.
“Penurunan pendapatan riil ini dipengaruhi oleh tekanan inflasi sebagai akibat dari faktor global seperti COVID-19, perang Rusia-Ukraina, perang dagang, serta kenaikan biaya hidup secara keseluruhan,” jelasnya.
Selain itu, dia juga menyoroti bahwa mayoritas masyarakat Indonesia bekerja di sektor-sektor nonproduktif. Terdapat 18,9 juta orang yang bekerja di sektor manufaktur, 36,8 juta orang sebagai pekerja paruh waktu, dan 12,1 juta orang yang masih menganggur.
Kenaikan PPN Pengaruhi Daya Beli Masyarakat
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disorot publik. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai dampaknya akan menurunkan daya saing industri dan melemahkan daya beli masyarakat.
Menurut INDEF, kenaikan taruf PPN akan menyebabkan biaya produksi industri meningkat, sehingga berpotensi menggerus daya saing industri nasional di pasar global.
Mereka menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan penerapan skema multi tarif yang lebih adaptif terhadap berbagai sektor industri.
“Perlu dipertimbangkan skema multi tarif,” kata INDEF dalam siaran persnya secara tertulis, Selasa, 20 Agustus 2024.
Selain itu, INDEF juga memperingatkan bahwa kenaikan PPN akan memicu penurunan daya beli masyarakat, terutama di tengah tingginya inflasi pangan.
Daya beli yang melemah ini dikhawatirkan akan berdampak negatif pada penjualan dan utilisasi industri, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Bahkan, kata INDEF , dampak kenaikan PPN akan membuat biaya produksi akan meningkat di saat permintaan sedang melambat. Sehingga, kondisi ini memaksa industri untuk melakukan penyesuaian terhadap input produksi, termasuk dalam hal penggunaan tenaga kerja.
Penyesuaian tersebut berpotensi mengurangi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) karena penurunan jumlah pekerja.
Namun, di sisi lain, pemerintah tampaknya berharap kenaikan PPN ini akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat. INDEF mengingatkan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan baik-baik cost and benefit dari kebijakan ini, terutama dalam konteks perekonomian jangka pendek dan jangka panjang.
“Ketika kenaikan PPN, pemerintah berharap akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat, namun perlu dikalkulasi cost and benefit-nya terhadap perekonomian dalam jangka pendek dan jangka panjang,” terangnya.
Jaring Wajib Pajak Baru
Dalam analisisnya, INDEF juga menyoroti pentingnya memperluas basis pajak (tax base) PPN sebagai strategi untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa harus mengandalkan kenaikan tarif.
Menurut mereka, penerimaan negara yang lebih besar dapat dicapai melalui penjaringan wajib pajak baru, bukan semata-mata dengan menaikkan tarif PPN.
“Untuk mendapatkan penerimaan negara yang lebih besar, bukan melalui peningkatan tarif PPN, tetapi melalui penjaringan wajib pajak baru,” imbuhnya.
Selain itu, INDEF mengusulkan ekstensifikasi penerimaan perpajakan, termasuk melalui peningkatan cakupan cukai. Mereka mencatat bahwa ekstensifikasi cukai telah direncanakan untuk diterapkan pada tahun-tahun mendatang sebagai bagian dari upaya optimalisasi penerimaan negara bukan pajak.
“Untuk meningkatkan penerimaan pajak perlu optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak,” pungkas INDEF.
Ekonom senior INDEF, Faisal Basri, mengkritik rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Menurut dia, kenaikan pajak seharusnya dikenakan untuk industri batu bara saja, karena kenaikan PPN akan menambah beban masyarakat.
Faisal Basri pun menyinggung perilaku pemerintah Indonesia yang sedang gencar-gencarnya memberi insentif kepada korporasi, tapi seiring dengan itu menambah beban rakyat.
Selain itu, ia menilai rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen tidak efisien, sebab tambahan pendapatan negara diproyeksikan hanya sekitar Rp100 triliun saja.
“Jadi, apa yang terjadi kalau tatanan dirusak. Insentif diberikan kepada korporasi yang besar, sementara rakyat dibebani terus, hampir pasti PPN akan dinaikkan 12 persen yang dikecualikan barang dan jasa. Saya bingung, yang dikecualikan barang dan jasa atau judulnya keliru, nanti banyak yang dikecualikan. Itu coba bayangkan tambahan pendapatan dari menaikkan 11 persen ke 12 persen, kenaikannya tidak sampai Rp100 triliun,” kata Faisal dalam diskusi bertema ‘Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa, Senin, 19 Juli 2024.
Menurut dia, jika pemerintah berencana untuk menambah lebih banyak pendapatan negara, sebaiknya dilakukan adalah mengenakan pajak ekspor untuk komoditas batu bara.
Katanya, dengan pengenaan pajak ekspor, negara bisa mendapatkan pendapatan sekitar Rp200 triliun.
Namun, lanjut Faisal Basri, opsi ini tidak diambil oleh pemerintah. Ia menyebut hal ini sebagai bukti pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jauh dari teori sentimen moral yang ideal.
“Padahal kalau kita kenakan pajak ekspor buat batu bara itu bisa Rp200 triliun. Nah, ini yang moral sentiment itu, theory of moral sentiment itu jauh. Jauh dari yang kita lihat di era Jokowi ini,” tegas dia.
Sementara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai kebijakan tersebut merupakan upaya dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk memenuhi kebutuhan penerimaan negara sekaligus merealisasikan janji kampanye mereka.
Menurut dia, kenaikan tarif PPN ini akan berdampak pada peningkatan harga, dan kelompok menengah ke bawah akan merasakan dampaknya. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah perlu mengantisipasi dan mencari solusi yang tepat.
“Pasti akan ada dampak terhadap kenaikan harga dan kelompok menengah-bawah. Pemerintah perlu mengantisipasi hal ini dan mencari solusinya,” ujar Fajry kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.
Namun, menurutnya, selama kenaikan harga akibat kenaikan tarif PPN ini tidak melebihi 1 persen, kebijakan tersebut masih dapat dijalankan dengan baik.
Dia paparkan, berdasarkan perhitungan, kenaikan harga yang diakibatkan oleh peningkatan tarif tersebut diperkirakan akan berada di bawah 1 persen. Namun, pasokan barang harus dijaga dengan baik, dan koordinasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) serta Bank Indonesia (BI) sangat diperlukan.
“Selama kenaikan harga tidak melebihi 1 persen akibat kenaikan tarif 1 persen, kebijakan ini masih layak untuk dijalankan,” jelasnya. (*)