KABARBURSA.COM – Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia memiliki peran penting dalam perekonomian negara. Namun, Hendri Saparini, seorang ekonom senior, menilai bahwa pendekatan pemerintah dalam mendukung sektor ini masih belum efektif jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Vietnam.
Dalam paparan terbaru pada Jumat, 20 Desember 2024 di Gedung CORE Indonesia, Jakarta Selatan, Hendri menyampaikan sejumlah kritik terhadap sistem yang ada saat ini serta memberi usulan untuk perbaikan agar sektor UKM dapat berkembang secara lebih optimal.
Hendri mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia memiliki banyak lembaga yang bertugas mendukung UKM, sistem yang terfragmentasi dan birokratis justru menghambat kemajuan sektor ini.
"Di Indonesia, UKM sering kali diperlakukan seperti objek bantuan sosial atau charity. Padahal, mereka butuh sistem yang bisa membantu mereka berkembang, bukan hanya mendapatkan bantuan yang sifatnya sementara," ujarnya.
Salah satu permasalahan utama yang diidentifikasi Hendri adalah bahwa lembaga-lembaga di Indonesia cenderung terpisah dan saling bergantung pada kementerian yang berbeda, sehingga proses pendampingan UKM menjadi lambat dan tidak efektif. Hal ini berbeda dengan Korea Selatan, yang memiliki sistem dukungan yang lebih terorganisir dan sistematis.
Belajar dari Korea Selatan: Kolaborasi Swasta dan Pemerintah
Menurut Hendri, di Korea Selatan, UKM mendapatkan dukungan melalui lembaga yang menggabungkan unsur swasta dan pemerintah. "Di Korea Selatan, mereka memiliki lembaga yang menggabungkan unsur swasta dan pemerintah, yang membuat mereka jauh lebih fleksibel dalam membantu UKM. Ini berbeda dengan Indonesia yang lebih bergantung pada kementerian dan lembaga yang terfragmentasi," jelasnya.
Pendekatan di Korea Selatan memungkinkan sektor UKM berkembang dengan lebih cepat dan memiliki produk yang sangat kompetitif di pasar global. Hal ini terjadi karena dukungan yang diberikan tidak hanya bersifat bantuan sementara, melainkan juga mencakup pengembangan kapasitas dan peningkatan kualitas produk.
Mencontoh Vietnam: Sistem Terstruktur untuk Pengembangan UKM
Selain Korea Selatan, Hendri juga menilai bahwa Indonesia bisa mencontoh sistem di Vietnam, yang menurutnya lebih terstruktur. Di Vietnam, UKM yang masih mikro tidak langsung dikelola oleh kementerian yang membangun UKM, melainkan berada di bawah kementerian dalam negeri. Sistem ini, menurutnya, memungkinkan UKM fokus pada pengembangan terlebih dahulu sebelum dipindahkan ke lembaga yang lebih tinggi ketika mereka siap berkembang.
"Sistem ini memungkinkan mereka untuk fokus pada pengembangan terlebih dahulu, sebelum dipindahkan ke lembaga yang lebih tinggi ketika mereka sudah siap berkembang," katanya. Dengan pendekatan ini, UKM di Vietnam memiliki kesempatan untuk tumbuh dengan dukungan yang lebih terarah dan terukur.
Vietnam juga menerapkan sistem yang menarik untuk mengukur perkembangan UKM. Negara tersebut memiliki sistem "bintang" yang mengharuskan UKM untuk "naik kelas" dari bintang 1 menjadi bintang 2. "Mereka memiliki sistem di mana UKM diharuskan untuk naik kelas, misalnya dari bintang 1 menjadi bintang 2, yang artinya usaha mereka sudah layak ekspor atau memenuhi standar kualitas tertentu," tutur Hendri.
Sistem ini bukan hanya membantu UKM bertahan, tetapi juga memastikan bahwa mereka berkembang dengan kualitas yang semakin baik. Dengan adanya sistem pengukuran yang jelas, UKM di Vietnam dapat terus meningkatkan kualitas produk mereka dan mempersiapkan diri untuk bersaing di pasar internasional.
Tantangan dan Solusi untuk Indonesia
Menurut Hendri, salah satu masalah besar di Indonesia adalah anggaran pemerintah yang terlalu banyak digunakan untuk membantu UKM tanpa adanya indikator jelas untuk meningkatkan kelas mereka. "Bantuan yang diberikan selama ini seharusnya diiringi dengan upaya untuk menaikkan kelas UKM agar mereka bisa bersaing secara global. Tanpa reformasi kebijakan, kita akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama," katanya.
Untuk itu, Hendri menegaskan perlunya reformasi kebijakan yang lebih menyeluruh dan mendalam dalam mendukung sektor UKM. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia memerlukan lembaga yang lebih fleksibel dan terintegrasi, yang mampu memberikan dukungan lebih efektif dan tidak terjebak dalam prosedur birokratis yang lambat.
"Kita membutuhkan lembaga yang bisa lebih fleksibel dan terintegrasi untuk mendukung UKM, bukan hanya dengan pendekatan birokratis yang lambat," ujarnya.
Reformasi kebijakan yang dimaksudkan oleh Hendri bertujuan untuk membangun UKM yang memiliki daya saing tinggi di pasar global. Tanpa adanya perubahan sistem yang lebih baik, sektor UKM di Indonesia akan terus berada dalam kondisi stagnan dan tidak dapat berkembang menjadi lebih kompetitif. "Jika kebijakan yang ada tidak segera diubah, maka sektor UKM di Indonesia akan terus berada dalam kondisi stagnan, tanpa adanya dorongan untuk berkembang menjadi lebih kompetitif di pasar global," tuturnya.
Kesimpulannya, untuk memastikan sektor UKM di Indonesia dapat berkembang dengan baik dan berdaya saing tinggi, diperlukan reformasi kebijakan yang lebih terstruktur, terintegrasi, dan fleksibel. Pendekatan yang lebih baik akan membuka peluang bagi UKM untuk tumbuh, bersaing, dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian Indonesia.
Reformasi Kelembagaan dan Peran Menko Jadi Kunci Pemulihan Ekonomi
Lebih jauh Hendri menilai bahwa reformasi kelembagaan dan penggabungan antara sektor swasta dan pemerintah menjadi kunci dalam mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia. Menurut Hendri, meskipun konsep tersebut sudah pernah disuarakan, implementasinya masih menghadapi kendala besar akibat birokrasi yang kaku dan tidak fleksibel.
Ia mengkritik struktur kementerian yang ada saat ini, terutama terkait dengan peran Menteri Koordinator (Menko) yang kurang efisien.
“Kita perlu keberanian dari pemerintah untuk mengubah kebiasaan lama yang sudah tertulis dalam undang-undang. Kita membutuhkan struktur yang lebih fleksibel dan dinamis, agar sesuai dengan kondisi dan tantangan saat ini,” ujarnya.
Hendri mengusulkan agar fokus pemerintahan lebih terarah pada sektor-sektor yang menjadi prioritas nasional, seperti pertanian, pendidikan, atau industri. "Menko harus memiliki kewenangan lebih untuk menyelesaikan persoalan lintas kementerian. Saat ini, koordinasi antar Menko justru membuat kebijakan ekonomi dan sektor lainnya menjadi semakin sulit tercapai," lanjutnya.
Ia juga menekankan pentingnya penggabungan antara sektor swasta dan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ekonomi. Menurutnya, pendekatan ini telah terbukti efektif di banyak negara dan harus diterapkan di Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada birokrasi yang lambat.
"Saat ini kita terlalu bergantung pada sistem yang kaku dan kurang responsif. Reformasi kelembagaan yang benar-benar mampu menggabungkan kekuatan sektor swasta dan pemerintah akan membuat kita lebih gesit dalam merespons tantangan ekonomi global," pungkasnya. (*)