Logo
>

Tata Kelola di Era Erick Jadi Akar Masalah Korupsi Pertamina

Dugaan korupsi di Pertamina mencapai Rp193,7 triliun. Kurtubi menilai perubahan regulasi sejak krisis moneter membuka celah praktik korupsi dan mengubah tata kelola migas yang sebelumnya menguntungkan negara.

Ditulis oleh Dian Finka
Tata Kelola di Era Erick Jadi Akar Masalah Korupsi Pertamina
Menteri BUMN Erick Thohir. Foto: Instagram @erickthohir.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Pengamat perminyakan Kurtubi menyoroti dugaan kasus korupsi besar-besaran di tubuh Pertamina yang mencapai Rp 193,7 triliun. Ia menilai kasus ini tidak dapat dilepaskan dari perubahan sistem pengelolaan migas di Indonesia yang mulai bergeser sejak adanya intervensi regulasi baru pasca krisis moneter.

    Menurut Kurtubi, industri migas di Indonesia awalnya dikelola sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, di mana kekayaan alam, termasuk migas, dikuasai dan dimiliki oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Pengelolaan tersebut diperkuat dengan Undang-Undang Migas Nomor 44/PRP/1960 dan Undang-Undang Pertamina Nomor 8 Tahun 1971, yang menetapkan investasi migas menggunakan sistem kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) antara Pertamina sebagai perusahaan negara dan investor baik dari dalam maupun luar negeri.

    “Dengan sistem ini, negara dijamin mendapat keuntungan lebih besar, yaitu 65 persen untuk negara dan 35 persen untuk investor. Sistem ini juga memberikan kemudahan bagi investor, di mana mereka tidak dikenakan pajak sebelum berproduksi, serta perizinan eksplorasi dikelola langsung oleh Pertamina,” jelas Kurtubi kepada KabarBursa.com di Jakarta, Jumat 14 Maret 2025.

    Keberhasilan sistem ini dibuktikan dengan peningkatan produksi migas dari 200 ribu barel per hari menjadi 1,7 juta barel per hari, menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor minyak dan LNG terbesar di dunia pada era 1980-an.

    Pada masa itu, sektor migas berkontribusi sebesar 80 persen terhadap penerimaan APBN dan ekspor Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 9,8 persen tertinggi dalam sejarah perekonomian nasional.

    Namun, menurut Kurtubi, perubahan besar terjadi setelah Indonesia menerima pinjaman dari IMF saat krisis moneter. Sebagai syarat pinjaman, Indonesia diwajibkan mengubah Undang-Undang Migas yang sebelumnya sudah sesuai dengan konstitusi.

    Akibatnya, Undang-Undang Migas Nomor 44/PRP/1960 dan Undang-Undang Pertamina Nomor 8/1971 dihapus dan digantikan dengan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001. Sejak saat itu, status Pertamina berubah menjadi PT Persero yang berada di bawah kendali Kementerian BUMN, bukan lagi langsung di bawah Presiden.

    “Perubahan ini menghilangkan integrasi vertikal dari hulu ke hilir yang sebelumnya dijalankan oleh Pertamina. Kini, dengan status PT Persero, Pertamina dirancang untuk go public dan privatisasi lewat IPO,” katanya.

    Kurtubi menekankan perubahan ini berpotensi membuka celah bagi praktik korupsi, mengingat pengelolaan migas tidak lagi sepenuhnya berada di bawah kontrol negara.

    Pertamina di Era Erick Thohir Picu Korupsi Besar-besaran

    Sebelumnya, Pertamina beroperasi sebagai satu perusahaan terintegrasi yang mengelola sektor hulu hingga hilir dalam satu bendera. Namun, di era Erick Thohir, perusahaan ini dipecah menjadi beberapa subholding yang masing-masing berdiri sendiri sebagai perusahaan kecil.

    “Yang merubah ini Erick Thohir. Menteri BUMN sebelumnya tidak melakukan perubahan ini. Pertamina yang tadinya perusahaan terintegrasi dari hulu ke hilir kini dipecah menjadi perusahaan-perusahaan kecil atau subholding,” jelas Kurtubi.

    Ia mengatakan perubahan ini menjadi pemicu terjadinya dugaan korupsi besar-besaran di lingkungan Pertamina, yang kini mencatatkan kerugian hingga Rp 193,7 triliun dalam satu tahun. Jika pola ini terus berlanjut, potensi kerugian dalam lima tahun ke depan bisa semakin besar.

    Menurut Kurtubi, Erick Thohir tidak bisa lepas tangan dari permasalahan ini. Ia menilai subholding-subholding kecil yang dibentuk di bawah Pertamina cenderung berorientasi pada profit maximization atau mencari keuntungan sebesar-besarnya sehingga tujuan awal pengelolaan migas untuk kesejahteraan rakyat semakin terpinggirkan.

    “Kita mendukung penuh langkah Kejaksaan dalam mengusut tuntas kasus ini. Semua pihak yang terlibat harus diadili tanpa pandang bulu,” katanya.

    Kurtubi menambahkan, perubahan struktur Pertamina seharusnya tetap berpihak pada kepentingan nasional dan bukan hanya sekadar strategi korporasi. Ia pun berharap agar kebijakan ini dievaluasi demi mengembalikan tata kelola migas yang lebih transparan dan sesuai dengan konstitusi.

    DPR Yakin Ada Keterlibatan Pejabat Tinggi

    Perubahan struktur Pertamina yang memicu dugaan korupsi besar-besaran kini berujung pada proses hukum. Kejaksaan Agung mulai menyeret sejumlah nama dalam skandal tata kelola minyak mentah dan produk kilang hingga membuka kemungkinan keterlibatan pejabat di level yang lebih tinggi.

    Anggota Komisi Hukum atau Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, menilai kemungkinan keterlibatan pejabat di level yang lebih tinggi masih terbuka, tergantung alat bukti yang dikantongi penyidik. "Pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal. Kecuali si tersangka memiliki keterangan yang jelas dan pasti bahwa pejabat di level atas ikut mengarahkan dan mendapatkan hasil dari arahan itu," ujar Nasir saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Sabtu, 8 Maret 2025.

    Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini meminta penyidikan dilakukan secara transparan dan profesional. Jika ada indikasi pejabat di tingkat direksi atau kementerian ikut bermain, mereka harus diproses sesuai hukum yang berlaku.

    Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, sebelumnya juga mengingatkan agar penyidikan tidak terpaku pada isu blendingBBM. Ia menilai perdebatan soal ini justru bisa menutupi skema markup impor minyak mentah, impor BBM, hingga manipulasi pengapalan yang merugikan negara dalam jumlah jauh lebih besar.

    "Fokus utama seharusnya pada dugaan skema korupsi dalam tata kelola impor minyak dan BBM, bukan sekadar perdebatan blending yang justru bisa merugikan Pertamina lebih lanjut," kata Fahmy.

    Jika polemik blending terus berlarut-larut, kata Fahmy, migrasi konsumen Pertamax ke SPBU asing atau ke Pertalite yang disubsidi pemerintah bisa semakin besar. Dampaknya, subsidi BBM membengkak dan berisiko menggerus APBN.

    Fahmy meminta Kejaksaan Agung tidak berhenti pada penetapan sembilan tersangka. Menurutnya, kasus ini diduga melibatkan berbagai pihak mulai dari Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, hingga Komisaris sejumlah perusahaan swasta.

    "Pembersihan besar-besaran harus dilakukan terhadap semua pihak yang terkait dengan mafia migas, termasuk di Pertamina dan kementerian terkait. Bahkan backing mafia migas pun harus disikat," katanya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.