KABARBURSA.COM – Lonjakan risiko geopolitik global yang dipicu konflik Iran-Israel menyulut kekhawatiran akan potensi blokade Selat Hormuz, jalur vital distribusi minyak dunia. Pengamat energi nasional, Kurtubi, menilai jika Iran benar-benar memblokir jalur tersebut, harga minyak global akan melonjak tajam dan memicu tekanan berat terhadap anggaran energi Indonesia.
“Kalau Selat Hormuz diblok oleh Iran, dampaknya akan sangat parah terhadap kenaikan harga minyak dunia. Lebih-lebih Indonesia ini sebenarnya negara kaya migas, tapi sejak 2001 dikelola salah karena Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001,” ujar Kurtubi kepada KabarBursa.com, di Jakarta, Senin 16 Juni 2025.
Ia menyoroti sejak UU Migas 2001 diberlakukan, produksi migas nasional justru mengalami tren penurunan setiap tahun. Menurutnya, ini akibat pengelolaan sektor migas yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 tentang penguasaan negara atas sumber daya alam demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tak hanya sektor migas, Kurtubi juga mengkritisi pengelolaan sektor mineral dan batubara (minerba) yang masih mengikuti sistem konsesi ala kolonial Belanda. Izin seperti IUP justru melemahkan posisi negara dalam menagih manfaat maksimal dari kekayaan tambang.
“Sampai sekarang kelola minerba masih mengikuti sistem zaman Belanda, sistem penjajahan. Ini praktik yang salah. Konsekuensinya, royalti dan pajak yang disetor pengusaha sangat kecil dibandingkan jika menggunakan sistem Pasal 33,” katanya.
Ia menyatakan, dalam kondisi harga energi global yang fluktuatif, pemerintah seharusnya tidak hanya memikirkan subsidi BBM, melainkan juga membenahi struktur hukum pengelolaan energi nasional. Apalagi masyarakat kelas bawah masih sangat membutuhkan subsidi energi untuk menjalankan usahanya dalam situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.
Meningkatnya harga minyak dunia akibat ketegangan Timur Tengah menempatkan pemerintah pada posisi sulit dalam menjaga stabilitas subsidi energi. Namun, menurut Kurtubi, ada cara untuk meringankan beban negara, yakni dengan membenahi hulu pengelolaan migas.
"Caranya adalah dengan meningkatkan produksi migas secara maksimal, walaupun saat ini masih sebatas mimpi. Menteri bilang mau genjot produksi ke 1 juta barel per hari, padahal sekarang baru 600 ribu barel. Itu cuma omong-omong karena UU-nya memang salah," jelasnya.
Kurtubi mengungkapkan, sebanyak 17 pasal dalam UU Migas 2001 telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, namun tidak ada tindakan signifikan dari pemerintah untuk menyusun UU pengganti yang sesuai konstitusi. Sistem hukum yang berlaku saat ini pun dinilai tidak menarik bagi investor karena membebani eksplorasi dengan pajak sebelum produksi dimulai.
"Undang-undang sekarang tidak investor friendly. Masih eksplorasi saja sudah dikenai pajak. Bagaimana bisa menarik investasi migas kalau begini?" keluhnya.
Untuk menyelamatkan pengelolaan energi nasional, Kurtubi mendorong Presiden Prabowo Subianto segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 yang dianggap masih mengikuti jejak kolonialisme.
"UU Minerba terbaru pun masih menganut sistem Belanda. Konsesi diberikan oleh pemerintah, padahal seharusnya negara mengelola langsung demi kemakmuran rakyat," tegasnya.
Ia menambahkan, selama kekayaan alam Indonesia masih dianggap sebagai milik individu atau korporasi melalui sistem konsesi, maka kontribusinya terhadap rakyat akan selalu minim. Bahkan sektor energi seperti gas, batu bara, dan migas hingga hari ini masih belum dikembalikan kepada kedaulatan negara sebagaimana amanat Pasal 33.
Kurtubi pun berharap agar kepemimpinannya berpihak kepada rakyat dalam urusan energi. Menurutnya, Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumber daya alam luar biasa, mulai dari migas, batu bara, hingga nuklir. "Tapi semua itu tidak akan bermanfaat kalau terus dikelola dengan sistem yang salah," kata Kurtubi.(*)