KABARBURSA.COM - Analis independen bisnis penerbangan nasional Gatot Rahardjo menilai bahwa pemerintah hanya mengincar pengurangan fuel surcharge dalam wacana penurunan harga tiket pesawat. Wacananya, pemerintah menurunkan harga sebelum libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).
"Sebenarnya, yang diturunkan itu fuel surcharge, yang akan berimbas pada penurunan harga tiket pesawat karena ini merupakan komponen yang secara otomatis membuat harga tiket lebih murah," kata Gatot saat dihubungi oleh Kabarbursa.com, Jumat, 22 November 2024.
Bagi maskapai penerbangan sendiri, ujar Gatot, kemungkinan tidak akan begitu terdampak pada pemangkasan fuel surcharge. Ia juga tidak yakin akan mengurangi secara signifikan margin pendapatan maupun laba mereka.
"Penurunan harga tiket ini tidak akan banyak mempengaruhi margin maskapai. Sebab, beberapa biaya operasional lainnya seperti biaya PJP2U (biaya pelayanan penumpang di bandara) dan PSC (Passenger Service Charge) juga diturunkan 50 persen, serta harga avtur tetap stabil di 19 bandara utama," jelas dia.
"Dengan adanya penurunan biaya-biaya tersebut, margin maskapai tetap terjaga meskipun harga tiket turun,” tambahnya.
Gatot juga menjelaskan bahwa kebijakan penurunan harga tiket ini hanya akan berlaku selama periode libur Nataru, yang berarti dampaknya bersifat sementara.
“Kebijakan ini berlaku hanya dalam periode liburan Natal 2024 dan Tahun Baru 2025. Artinya, penurunan harga tiket pesawat hanya akan berlaku dalam waktu terbatas, dan maskapai masih memiliki waktu untuk menyesuaikan kembali tarif setelah masa tersebut berakhir,” jelasnya.
Meskipun ada harapan bahwa kebijakan ini dapat mendorong lebih banyak volume penumpang, Gatot menekankan pentingnya efisiensi operasional maskapai agar tetap dapat menjaga kinerja keuangan.
Tanpa adanya perbaikan dalam struktur biaya, meski ada peningkatan penumpang, keuntungan maskapai bisa tetap tertekan.
Adapun terkait dengan kemungkinan subsidi dari pemerintah, Gatot menyatakan bahwa subsidi langsung kepada maskapai belum menjadi bagian dari kebijakan ini.
"Saat ini, fokusnya lebih pada penurunan biaya operasional dan bukan pada pemberian subsidi langsung kepada maskapai. Namun, jika situasi berubah dan diperlukan langkah-langkah lanjutan, kita tidak menutup kemungkinan bahwa pemerintah bisa memberikan dukungan lebih lanjut," ungkap Gatot.
Namun, untuk memastikan kelangsungan keberlanjutan industri penerbangan, efisiensi biaya dan manajemen keuangan yang cermat tetap menjadi kunci utama.
Satgas Penurunan Harga Tiket Pesawat
Untuk memantau dan menilai penyebab tingginya harga tiket pesawat, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akan bekerja sama dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait melalui Satuan Tugas (Satgas) Penurunan Harga Tiket Pesawat.
Melalui satgas ini, Garuda Indonesia berharap dapat menemukan solusi yang tepat guna menurunkan harga tiket tanpa mengganggu kelangsungan operasional maskapai.
“Melalui Satgas ini, kami akan mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan harga tiket pesawat tinggi, dan kami akan melakukan review satu per satu bersama kementerian/lembaga terkait,” jelas Wamildan, Direktur Utama GIAA.
Wamildan juga menyatakan bahwa target utama dari proses penurunan harga tiket pesawat ini adalah untuk mencapai hasil sebelum periode liburan Nataru tiba. Hal ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat yang merencanakan perjalanan udara selama masa liburan tersebut.
“Harapannya, sebelum libur Nataru sudah ada hasil yang bisa ditindaklanjuti untuk menurunkan harga tiket pesawat,” tambah Wamildan.
Ia juga menekankan bahwa proses ini bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh maskapai saja, melainkan memerlukan kerjasama antara berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, Wamildan berjanji untuk terus memberikan informasi terkini kepada media terkait perkembangan penurunan harga tiket pesawat ini.
Wamildan juga menyadari tantangan besar yang dihadapi oleh industri penerbangan saat ini. Penurunan harga tiket pesawat menjadi salah satu langkah strategis untuk menjaga daya beli masyarakat dan meningkatkan mobilitas ekonomi, terutama menjelang momen-momen penting seperti liburan tahunan.
Proyeksi Bisnis GIAA
Wacana pemerintah menurunkan harga tiket pesawat diprediksi menekan kinerja keuangan maskapai penerbangan khususnya emiten GIAA.
Menurut Liza Camelia Suryanata, Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia (NHKSI), menilai bahwa Garuda Indonesia akan kesulitan mengelola performa profitabilitas jangka pendek hingga panjang.
Alasannya, meskipun penurunan harga tiket berpotensi menaikkan jumlah volume penumpang pesawat, perusahaan pelat merah bidang transportasi udara mungkin sulit menekan biaya operasional penerbangan. Terlebih, bagi Garuda Indonesia, akan sulit menyaingi maskapai lain di sektornya.
“Karena Garuda Indonesia sering mengalami masalah keuangan, salah satunya karena pengeluaran yang terus membengkak sementara pendapatan tak mampu menutupinya,” ujar Liza dalam Capital Market Forum bertajuk “Bebas Finansial Berkat Saham di Usia Muda, Mungkin Gak Sih?” di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Kamis, 21 November 2024.
Di sisi lain, pemerintah berharap beban operasional para maskapai penerbangan berkurang setelah harga tiket pesawat jauh lebih murah. Namun ini menjadi catatan serius bagi Garuda Indonesia, sebut Liza, untuk memerhatikan secara serius perbaikan manajerial emiten berkode saham GIAA itu.
“Maskapai perlu melakukan restrukturisasi yang serius untuk memangkas biaya-biaya yang tidak efisien dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil bisa mendukung profitabilitas jangka panjang,” jelasnya.
Liza menambahkan bahwa kebijakan ini akan mempengaruhi margin keuntungan maskapai, dan untuk dapat bertahan, Garuda Indonesia harus mampu menjaga keseimbangan antara harga tiket yang kompetitif dengan efisiensi biaya operasional yang optimal.
“Penting bagi manajemen Garuda untuk mencari solusi yang tepat agar maskapai ini dapat lebih efisien, lebih kompetitif, dan akhirnya lebih profitable,” tutur Liza.
Dari lantai pasar modal, kata Liza, Bursa Efek Indonesia (BEI) kerap mensuspensi saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lantaran menghadapi masalah keuangan serius, salah satunya terkait pelunasan utang. GIAA pun menghadapi masalah serupa sehingga rentan di mata para investor.
“Ketika sebuah BUMN besar seperti Garuda mengalami suspensi, ini bukan hanya merugikan investor, tetapi juga mencoreng citra perusahaan dan pemerintah,” ungkapnya. (*)