KABARBURSA.COM – Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengancam akan melakukan aksi mogok lantaran merasa keberatan dengan aturan pembatasan angkutan barang pada masa arus mudik dan arus balik lebaran 2025.
Aptrindo meminta pemerintah mengkaji ulang Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Direktur Jenderal Bina Marga tentang Pengaturan Lalu Lintas Jalan Serta Penyeberangan Selama Masa Arus Mudik dan Arus Balik Angkutan Lebaran Tahun 2025/1446 Hijriah.
Dalam SKB tersebut, diputuskan terkait pembatasan angkutan barang berlaku mulai Senin, 24 Maret 2025 pukul 00.00 WIB hingga Selasa, 8 Maret 2025 pukul 24.00 di jalan tol dan non-tol.
Pengusaha angkutan berharap pemerintah tidak mengurangi durasi hari pembatasan pengoperasian truk selama arus mudik dan arus balik. Karena, pada lebaran tahun ini pemerintah menetapkan pembatasan angkutan barang berlangsung selama 16 hari. Pembatasan pada tahun ini lebih lama dibanding tahun lalu yang hanya 10-12 hari.
Pihak Aptrindo menilai pembatasan angkutan barang kali ini tidak mempertimbangkan masukan pengusaha angkutan yang akan merasakan dampak signifikan dari sisi pemasukan. Apabila tuntutan Aptrindo tidak diindahkan, mereka akan berhenti beroperasi pada 20 Maret 2025.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, keputusan mogok Aptrindo berdampak kepada banyak pihak seperti halnya, pemilik kendaraan, pelaku usaha, pengemudi, buruh bongkar muat, pabrik, gudang, perkapalan, dan semua stakeholder dalam bisnis logistik.
“Pengumuman pelarangan beroperasi hendaknya diberlakukan 1 bulan sebelumnya. Agar para pengusaha angkutan sudah bisa menjadwalkan keberangkatan dan pulang kembali armada truknya,” kata Djoko dalam keterangan tertulis, Senin, 17 Maret 2025.
Pembatasan Tak Perlu Lama
Djoko menturkan, masa pelarangan tidak perlu lama (tidak lebih dari 10 hari). Menurutnya, jika pemerintah telah membenahi angkutan umum di daerah dan tidak fokus mengangkut logistik menggunakan jalan raya. Karena, menurut dia, sebagai negara kepulauan, moda alternatif lain masih ada untuk mengangkut barang, seperti jalan rel dan perairan.
“Harus ada kompromi, jalan tengahnya adalah pemerintah mengikuti permintaan APTRINDO namun dengan catatan dilarang beroperasi armada truk yang berlebihan dimensi dan muatan atau ODOL,” ujarnya.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu menjelaskan, moda transportasi memiliki keunggulan masing-masing berdasarkan jarak tempuhnya. Untuk perjalanan yang relatif singkat, kurang dari 500 km, angkutan darat lebih efisien. Sementara itu, kereta api lebih unggul dalam jarak menengah, yakni antara 500 hingga 1.500 km. Adapun untuk perjalanan yang melebihi 1.500 km, transportasi laut menjadi pilihan yang lebih ekonomis.
Menurutnya, pemerintah daerah belum melakukan pembenahan angkutan umum secara masif seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Hasil dari upaya yang telah dilakukan terlihat jelas, di mana kini sekitar 89,5 persen wilayah Jakarta telah terjangkau layanan transportasi umum.
Transformasi ini dimulai sejak tahun 2004 dengan peluncuran Bus TransJakarta di rute Blok M – Jakarta Kota. Namun, sejauh mana kemajuan pembenahan transportasi umum di daerah yang sedang dijalankan saat ini?
Sementara itu, pemerintah memberikan fleksibilitas bagi aparatur sipil negara (ASN) untuk bekerja dari mana saja (work from anywhere/WFA) melalui Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 2 Tahun 2025. Kebijakan ini memungkinkan ASN untuk menjalankan WFA selama empat hari, yaitu pada 24 hingga 27 Maret 2025.
Ia menyarankan, kebijakan WFA ini juga disertai dengan anjuran agar masyarakat yang ingin mudik lebih memilih angkutan umum dibandingkan kendaraan pribadi. Dengan begitu, arus distribusi barang tidak terganggu oleh perpanjangan WFA.
Menurutnya, Sudah saatnya mobilitas kendaraan pribadi dikurangi dan angkutan umum, baik untuk penumpang maupun barang, menjadi prioritas saat mudik Lebaran. Perbaikan sistem transportasi publik harus segera dilakukan secara menyeluruh, bukan menunggu hingga dua dekade ke depan, ketika target Indonesia Maju ingin dicapai.
Kesejahteraan Sopir Truk masih Kurang
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat itu juga menyoroti kesejahteraan sopir truk kini tak lagi seperti dulu. Menurutnya, persaingan tarif dalam pengangkutan barang berdampak langsung pada pendapatan mereka. Tak hanya itu, fenomena truk dengan kelebihan dimensi dan muatan atau ODOL juga menjadi salah satu akibatnya.
Sepanjang tahun 2024, Pusat Kebijakan Keselamatan dan Keamanan Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan melakukan pemetaan serta berdiskusi dengan berbagai pihak terkait.
Dari hasil kajian tersebut, mayoritas sopir truk berusia 40 hingga 55 tahun, dan banyak di antaranya memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) yang tidak sesuai dengan jenis kendaraan yang dikendarai. Selain itu, mayoritas pengemudi memperoleh SIM tanpa melalui pendidikan dan pelatihan (Diklat), serta tanpa Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP). Pendapatan rata-rata sopir berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 4 juta per bulan, masih berada di bawah upah minimum di berbagai daerah.
Beban biaya pelatihan juga menjadi kendala tersendiri. Jika biaya Diklat ditanggung oleh perusahaan, pengemudi dapat mengikuti pelatihan. Namun, jika harus membayar sendiri, banyak yang merasa keberatan. Kurangnya sosialisasi mengenai kewajiban kompetensi pengemudi melalui Diklat dan uji kompetensi menyebabkan minimnya jumlah pengemudi yang telah mengikuti sertifikasi tersebut. Hal ini diperburuk dengan rendahnya pemahaman sopir terhadap pentingnya kompetensi berkendara.
“Dulu, sopir truk masih bisa membayar kenek atau pembantu sopir dan terkadang bisa memiliki istri lebih dari satu. Sekarang, jangankan memiliki istri lagi, untuk memenuhi kehidupan keseharian rumah tangga dari pendapatan yang diperoleh sudah tidak mencukupi. Pendapatan yang diperoleh guna membayar kenek juga sudah tidak cukup,” ujarnya.
Transportasi logistik, terutama distribusi sembako untuk masyarakat Indonesia, bergantung pada jasa sopir truk. Namun, hingga kini perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan mereka masih sangat minim.
“Permintaan dibuatkan standar minimum upah pengemudi truk, hingga sekarang belum dituntaskan oleh Kementerian Tenaga Kerja. Bisa jadi menunggu mogok massal sopir truk baru segera dikabulkan permintaannya,” tuturnya. (*)