KABARBURSA.COM - Indonesia kini menghadapi tantangan ekonomi yang semakin nyata, ditandai oleh penurunan daya beli masyarakat. Salah satu indikator yang mencerminkan situasi ini adalah turunnya penyaluran pinjaman online (pinjol) atau Peer-to-Peer (P2P) Lending. Penurunan ini bersamaan dengan fenomena deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut, yang menandakan adanya pelemahan ekonomi yang perlu menjadi perhatian serius.
Deflasi adalah penurunan umum dalam harga barang dan jasa yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2024 mengalami deflasi sebesar 0,03 persen secara bulanan. Secara tahunan, inflasi tercatat sebesar 2,12 persen, sedikit menurun dibandingkan periode sebelumnya yang mencatat inflasi sebesar 2,13 persen.
Yang mengkhawatirkan adalah fakta bahwa Indonesia telah mengalami deflasi selama empat bulan berturut-turut sejak Mei 2024. Fenomena ini pertama kali terjadi dalam kurun waktu 25 tahun, sejak era reformasi 1999. Turunnya harga-harga ini bukan hanya karena faktor musiman, tetapi juga mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat. Ketika harga barang turun, namun permintaan tetap rendah, ini menandakan bahwa masyarakat mungkin kesulitan secara finansial untuk melakukan konsumsi.
Penurunan Pinjol Indikator Melemahnya Ekonomi
Salah satu aspek lain yang menjadi perhatian adalah penurunan penyaluran pinjaman melalui Fintech P2P Lending. Pada Juni 2024, total penyaluran pinjaman online menurun sebesar 2,23 persen menjadi Rp25,4 triliun dari Rp24,8 triliun pada Mei 2024. Meskipun penurunan ini mungkin terlihat kecil, namun penurunan penyaluran pinjaman online bisa menjadi indikator awal bahwa masyarakat Indonesia mulai lebih berhati-hati dalam mengambil risiko finansial, termasuk dalam mengajukan pinjaman.
Pinjaman online sebelumnya dianggap sebagai solusi cepat bagi masyarakat yang membutuhkan akses ke dana dalam waktu singkat. Namun, seiring dengan melemahnya ekonomi dan meningkatnya ketidakpastian, masyarakat mulai mengurangi aktivitas ini. Penurunan tingkat konsumsi, yang tercermin dari penurunan pinjaman online, menunjukkan bahwa daya beli masyarakat terus tergerus.
Di sisi lain, meskipun penyaluran pinjaman online menurun, data menunjukkan adanya peningkatan pada outstanding pinjaman atau pinjaman yang belum terbayarkan. Pada Juni 2024, outstanding pinjaman online naik sebesar 3,77 persen menjadi Rp66,9 triliun dari Rp64,5 triliun pada Mei 2024. Ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin sulit membayar pinjaman mereka tepat waktu.
Faktor lain yang memperburuk situasi adalah meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri, yang memperburuk kemampuan masyarakat untuk membayar hutang. Kondisi ini mengisyaratkan adanya potensi krisis hutang di kalangan masyarakat, yang dapat memperburuk kondisi ekonomi jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Tindakan yang Diperlukan
Penurunan pinjaman online dan peningkatan outstanding pinjaman merupakan tanda bahwa masyarakat Indonesia tengah berada dalam situasi keuangan yang sulit. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, khususnya jika kemampuan masyarakat untuk mengakses pembiayaan semakin terbatas. Jika daya beli terus melemah dan konsumsi menurun, pemulihan ekonomi yang diharapkan pasca-pandemi akan semakin tertunda.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kebijakan fiskal dan moneter yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong konsumsi domestik. Salah satu kebijakan yang dapat dilakukan adalah memberikan insentif atau bantuan langsung kepada masyarakat yang terdampak, serta menciptakan lapangan kerja baru untuk meredam dampak PHK.
Selain itu, regulasi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap industri fintech diperlukan untuk mencegah lonjakan kredit macet yang dapat berakibat buruk bagi sektor keuangan.
Dampak Terhadap Emiten
Dari data di atas, beberapa emiten di sektor keuangan, khususnya yang terkait dengan fintech, multifinance, atau yang memiliki portofolio pinjaman konsumtif, berpotensi terdampak. Beberapa emiten yang mungkin relevan dengan kondisi ini meliputi:
1. Emiten Fintech dan P2P Lending
Emiten yang bergerak di sektor teknologi finansial (fintech), khususnya yang menyediakan layanan pinjaman online, dapat mengalami dampak langsung dari penurunan penyaluran pinjaman dan peningkatan kredit macet. Beberapa emiten yang beroperasi dalam ruang ini di antaranya:
- PT Amartha Mikro Fintek (Amartha): Amartha beroperasi sebagai penyedia pinjaman P2P lending yang fokus pada usaha mikro di pedesaan. Jika daya beli menurun, potensi kredit macet di platform ini bisa meningkat, yang dapat berdampak pada kinerja keuangan.
- PT KoinWorks: Sebagai salah satu pemain besar di sektor P2P lending, KoinWorks juga mungkin terdampak oleh menurunnya permintaan pinjaman online, serta potensi gagal bayar dari nasabah yang terdampak kondisi ekonomi.
2. Emiten Multifinance
Emiten-emiten di sektor multifinance juga memiliki keterkaitan erat dengan pinjaman konsumtif. Beberapa emiten yang terlibat dalam pembiayaan konsumsi, termasuk kendaraan, perumahan, dan elektronik, bisa mengalami penurunan permintaan karena daya beli yang melemah.
- PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF): Adira adalah perusahaan multifinance yang menawarkan berbagai jenis pembiayaan konsumen. Dengan melemahnya daya beli, permintaan terhadap pembiayaan ini dapat menurun, yang dapat mempengaruhi pendapatan dan portofolio pinjaman mereka.
- PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN): BFI Finance fokus pada pembiayaan kendaraan bermotor dan properti. Seperti Adira, perusahaan ini juga bisa terdampak oleh penurunan daya beli masyarakat dan meningkatnya risiko kredit macet.
3. Bank dengan Fokus Pinjaman Konsumtif
Bank yang memiliki portofolio besar di segmen pinjaman konsumtif atau yang bekerja sama dengan platform fintech P2P lending juga dapat terdampak. Beberapa di antaranya:
- PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI): BRI memiliki portofolio pinjaman mikro yang luas, dan juga terlibat dalam kerja sama dengan fintech untuk memperluas akses keuangan. Turunnya daya beli dan meningkatnya kredit macet dapat berpengaruh terhadap kinerja segmen ini.
- PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI): BNI juga memiliki portofolio pinjaman konsumer dan terlibat dalam kerja sama dengan fintech. Dengan melemahnya daya beli dan turunnya pinjaman online, BNI mungkin harus menghadapi tantangan dalam mengelola portofolio kreditnya.
4. Perusahaan yang Menyediakan Layanan Teknis untuk Fintech
Perusahaan-perusahaan yang menyediakan infrastruktur atau layanan teknologi untuk perusahaan fintech juga mungkin terkena dampak. PT Digital Mediatama Maxima Tbk (DMMX), misalnya, yang menyediakan layanan digital untuk fintech, mungkin akan melihat perubahan dalam permintaan jika aktivitas fintech melambat.
5. Emiten di Sektor Konsumsi
Selain sektor keuangan, perusahaan yang bergerak di bidang barang konsumsi seperti makanan, minuman, dan produk rumah tangga juga bisa merasakan dampak dari melemahnya daya beli. Penurunan konsumsi bisa berdampak pada pendapatan mereka, yang mungkin tercermin dalam laporan keuangan kuartalan.
Dampak dari penurunan pinjaman online dan deflasi beruntun ini tidak hanya mempengaruhi fintech dan multifinance, tetapi juga emiten-emiten lain yang terkait dengan sektor konsumsi dan pinjaman. Emiten di sektor keuangan yang memiliki portofolio pinjaman konsumtif seperti BRI dan BNI juga perlu memperhatikan potensi risiko kredit macet yang meningkat akibat kondisi ekonomi yang tidak stabil.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.