KABARBURSA.COM – Perdagangan barang lintas negara diprediksi bakal melempem tahun ini. Bukan cuma lesu biasa, tapi bisa benar-benar jeblok kalau Presiden Donald Trump jadi mengeksekusi rencana tarif impor yang sempat ditunda. Badan Perdagangan Dunia (WTO) menyebut ancamannya bukan cuma dari kebijakan Amerika Serikat, tapi dari efek domino ketidakpastian dagang yang bisa menjalar ke seluruh dunia.
Dalam laporan proyeksi semesterannya, WTO menyebut ekspor dan impor barang secara global diperkirakan akan turun 0,2 persen tahun ini akibat lonjakan tarif yang sudah berlaku per 14 April—baik di AS maupun dari negara-negara yang membalas kebijakan itu. Padahal sebelumnya, WTO memperkirakan perdagangan global akan tumbuh sebesar 2,7 persen.
Kalau rencana tarif baru yang diumumkan AS pada 2 April (namun ditunda selama 90 hari) jadi diberlakukan, angka penurunannya bisa lebih dalam lagi: turun 0,8 persen. Dan jika ketidakpastian soal arah kebijakan dagang meluas ke negara-negara lain seperti halnya kepercayaan yang mulai luntur terhadap AS, WTO memperkirakan perdagangan bisa anjlok sampai 1,5 persen.
Penurunan sebesar itu bukan hal biasa. Menurut WTO, sepanjang abad ini, penurunan tajam dalam skala global hanya terjadi dua kali, yakni saat pandemi Covid-19 tahun 2020 dan ketika krisis keuangan global melanda pada 2009.
“Kami memang memusatkan perhatian pada ketidakpastian hubungan dagang Amerika Serikat. Tapi, bagaimana jika ketidakpastian itu menyebar ke seluruh dunia karena kepercayaan makin tipis?” ujar Kepala Ekonom WTO, Ralph Ossa, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Sabtu, 19 April 2025.
Ossa menyebut salah satu ancaman terbesar adalah apa yang disebut trade diversion. Misalnya, kalau produsen China mendapati permintaan dari AS menurun karena barangnya jadi lebih mahal akibat tarif, mereka akan cari pasar baru—kemungkinan dengan menurunkan harga.
Kalau itu terjadi, Eropa dan negara lain bisa jadi bakal membentengi diri dari banjir barang murah asal China, membuka babak baru dalam konflik dagang global. WTO memperkirakan ekspor China ke pasar non-AS bakal naik antara 4 sampai 9 persen tahun ini, dengan ekspor ke Uni Eropa saja diproyeksikan naik 5,8 persen.
Namun lonjakan ini bisa jadi pisau bermata dua. Beberapa industri di negara tujuan ekspor bisa ketiban sial karena persaingan makin sengit, produksi lokal terpukul, dan potensi kehilangan pekerjaan pun membayang. Tekanan ke pemerintah untuk “bertindak” bisa saja makin besar.
Di sisi lain, wilayah yang paling terdampak adalah Amerika Utara. Jika tarif per 14 April tetap diberlakukan, ekspor kawasan ini diperkirakan anjlok 12,6 persen, sementara impor turun 9,6 persen. Kalau tarif dinaikkan lebih jauh, ya siap-siap saja penurunannya makin dalam.
Meski begitu, WTO masih melihat titik-titik cerah di Asia dan Eropa. Tapi, cerahnya tak secerah proyeksi awal. Ekspor Asia tahun ini diperkirakan tumbuh 1,6 persen, padahal sebelumnya diprediksi bisa tembus 3,2 persen sebelum Trump mulai mainkan pedal tarif.
Penurunan arus dagang global tahun ini, menurut WTO, kemungkinan besar baru akan terasa benar-benar di paruh kedua tahun. Soalnya banyak pelaku usaha sudah ngebut stok barang di kuartal pertama untuk menghindari tarif yang lebih mahal di kemudian hari. Strategi “sikat sebelum mahal” ini juga ikut dorong pertumbuhan ekonomi China di triwulan awal.
Meski sejauh ini konflik dagang masih berkutat di barang, WTO mulai waswas soal kemungkinan eskalasi ke sektor jasa. Layanan finansial, transportasi, teknologi—semuanya bisa kena imbas kalau ketegangan tarif makin melebar. Bahkan Uni Eropa dikabarkan sedang mempertimbangkan pembatasan perdagangan jasa sebagai balasan ke AS.
“Ini juga risiko lain terhadap proyeksi kami. Ketegangan dagang bisa meluas dari barang ke sektor jasa,” ujar Ossa.
Efek gabungan dari pelemahan perdagangan barang dan potensi pelambatan perdagangan jasa diperkirakan melemahkan pertumbuhan ekonomi global. WTO sekarang memproyeksikan output global hanya akan tumbuh 2,2 persen tahun ini, jauh lebih rendah dari prediksi sebelumnya di angka 2,8 persen. Tahun depan, pertumbuhannya pun diturunkan dari 2,6 persen jadi 2,4 persen.
“Penurunan ketegangan tarif akhir-akhir ini memang sempat mengurangi tekanan terhadap perdagangan global,” kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala. “Namun ketidakpastian yang terus bertahan justru jadi rem yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia—dan dampak paling parahnya akan menimpa negara-negara yang paling rentan.”
Penurunan ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan yang jauh di bawah ekspektasi di kawasan Amerika Utara. Gabungan ekonomi AS, Kanada, dan Meksiko kini diprediksi hanya akan tumbuh 0,4 persen tahun ini, padahal sebelumnya diperkirakan bisa menyentuh 2 persen. Tahun 2026 juga tak jauh beda, diturunkan dari proyeksi 1,7 persen jadi 1,1 persen saja.
Dampak terhadap Investor Indonesia
Ketidakpastian arah kebijakan perdagangan internasional, khususnya pasca pernyataan Donald Trump soal tarif impor, membawa implikasi langsung bagi investor Indonesia, terutama yang berfokus pada sektor ekspor, logistik global, dan manufaktur berorientasi luar negeri.
Dalam konteks ini, temuan Kyle Handley (2011) dalam makalah Exporting Under Trade Policy Uncertainty menjadi relevan. Melalui teori Ketidakpastian Kebijakan atau Policy Uncertainty tersebut, Ia menunjukkan bahwa dalam situasi ketidakpastian kebijakan perdagangan, perusahaan cenderung menunda ekspor karena khawatir biaya awal yang dikeluarkan—seperti investasi produksi dan distribusi—akan sia-sia bila kondisi pasar memburuk akibat perubahan tarif mendadak. Dengan kata lain, ketidakpastian itu sendiri menciptakan friksi ekonomi yang membuat pelaku usaha memilih menunggu kepastian, alih-alih berekspansi.
Penerapannya terhadap situasi Indonesia cukup jelas. Emiten-emiten ekspor seperti di sektor tekstil, otomotif, elektronik, dan komoditas primer berpotensi mengalami perlambatan permintaan dari negara mitra, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Tekanan terhadap pendapatan berisiko menurunkan valuasi saham dan memperlemah prospek pertumbuhan emiten tersebut di mata investor.
Di sisi lain, investor institusional yang biasa masuk ke pasar negara berkembang cenderung bersikap defensif saat ketidakpastian kebijakan meningkat. Hal ini dapat mendorong arus keluar dana asing dari pasar modal Indonesia dan menekan indeks harga saham gabungan (IHSG) di sektor manufaktur dan logistik.
Risiko lainnya adalah transmisi tekanan global ke nilai tukar rupiah. Jika eskalasi perang dagang meluas dan memicu kekhawatiran terhadap stabilitas global, investor cenderung memindahkan portofolio ke aset aman (safe haven) yang berdampak pada pelemahan rupiah dan kenaikan biaya lindung nilai bagi investor domestik.
Secara umum, bagi investor pasar modal, ketidakpastian kebijakan perdagangan internasional bukan hanya memengaruhi sentimen jangka pendek, tetapi juga dapat mengubah arah alokasi portofolio, baik dari sisi sektor maupun geografis. Investor yang memegang aset berbasis ekspor perlu mewaspadai risiko penurunan permintaan global dan potensi beban tarif baru di pasar tujuan.(*)