KABARBURSA.COM - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus menghantui sektor industri padat karya. Jika merujuk pada data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), hingga pertengahan tahun ini jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) telah mencapai 26.455 kasus per Selasa, 20 Mei 2025.
Adapun PHK di Jawa Tengah adalah sebanyak 10.695 kasus, diikuti dengan Jakarta di angka 6.279, lalu Riau dengan 3.570 kasus. Untuk sektornya ada di pengolahan, perdagangan besar eceran, dan jasa.
Sementara Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebelumnya mengungkapkan jumlah PHK dari rentang waktu 1 Januari-10 Maret 2025 telah mencapai 73.992 kasus.
Ekonom senior Fithra Faisal menyoroti situasi ini sebagai bukti bahwa ekosistem bisnis nasional sedang mengalami tekanan serius.
Ia menyebut bahwa lonjakan PHK tersebut tak hanya menandakan lemahnya permintaan, tetapi juga menunjukkan kurangnya dukungan sistemik terhadap sektor riil.
“Jika kondisi ini dibiarkan, dampaknya bukan hanya pada jumlah tenaga kerja formal yang tereduksi, tetapi juga pada penurunan pendapatan karena banyak yang akhirnya hanya bisa bekerja di sektor informal,” ujar Fithra dalam keterangannya, Senin 26 Mei 2025.
Menurutnya, pergeseran tenaga kerja dari sektor formal ke informal bukan solusi jangka panjang.
Meski secara teknis mereka masih bekerja, namun kualitas pekerjaan dan pendapatan menurun drastis.
Alami Resistensi Menurun: Lambat!
Untuk diketahui, jumlah pekerja informal selama sepuluh tahun terakhir mengalami resisten menurun sangat lambat, dan secara nominal jumlahnya bertambah.
Badan Pusat Statistik mencatat jumlah pekerja informal di Indonesia hingga Februari 2025 mencapai 59,40 persen dari total jumlah penduduk yang bekerja yakni 145,77 juta orang dengan rincian pekerja yang berusaha sendiri jumlahnya naik 880 ribu orang, berusaha dibantu buruh tidak tetap naik 950 ribu orang dan pekerja bebas naik 54 ribu orang.
Karena itu, fokus kebijakan pemerintah semestinya tidak hanya menyasar pekerja yang terdampak, melainkan juga industri yang menjadi penyerap utama tenaga kerja.
Ia menekankan pentingnya insentif fiskal maupun nonfiskal untuk menjaga produktivitas industri. “Sektor-sektor padat karya membutuhkan dorongan nyata agar tetap bertahan di tengah tantangan global dan domestik,” tambahnya.
Tak hanya itu, Fithra juga menyinggung soal keamanan dan stabilitas usaha yang selama ini terhambat oleh praktik pemalakan dan premanisme di sejumlah wilayah industri.
Ia mengapresiasi langkah pemerintah membentuk satuan tugas (Satgas) untuk memberantas gangguan keamanan tersebut.
“Langkah-langkah ini krusial untuk memulihkan kepercayaan investor dan konsumen,” tegasnya.
Pasalnya, Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengatakan masih terlalu banyaknya regulasi dari pemerintah yang menghambat jalannya usaha.
Di sektor ritel, misalnya, terlalu banyak aturan dan iklim yang belum kondusif seutuhnya. Padahal jika itu dibenahi dan diperbaiki oleh pemerintah, akan tercipta lapangan kerja yang bermuara pada peningkatan pendapatan masyarakat.
“Itu yang harus dilakukan pemerintah, memudahkan dunia usaha," terangnya
Ia mengatakan banyak ritel dari luar ataupun dalam negeri yang ingin buka toko. Kendati mereka terhalang masalah premanisme yang menyebabkan biaya sewa ruko jadi membengkak.
"Ini sudah dikeluhkan, memangnya hanya industri baja saja yang di-premanisme? Industri ritel juga sama, sebelum buka toko saja sudah ada,” pungkas Budi.(*)