KABARBURSA.COM - Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengeluarkan peringatan serius terkait potensi lonjakan utang yang mungkin terjadi di bawah pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Laporan terbaru mereka menunjukkan bahwa utang bisa meroket hingga 41 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Dalam laporan Article IV Consultation Edisi Agustus 2024, IMF menekankan pentingnya pengelolaan belanja yang bijaksana oleh pemerintahan baru dalam lima tahun mendatang. Jika belanja tidak dikendalikan, defisit fiskal berkelanjutan yang mencapai 3 persen dari PDB bisa menjadi kenyataan.
Menurut IMF, defisit fiskal 3 persen dari PDB akan menyebabkan utang meningkat secara bertahap menjadi 41 persen dari PDB pada 2029. "Walaupun angka ini masih berada di bawah batas maksimum utang PDB sebesar 60 persen, risikonya tetap signifikan, terutama terkait potensi pelanggaran batas atas defisit 3 persen dari PDB," ungkap laporan tersebut.
IMF juga mengingatkan bahwa jika defisit berada di batas atas dan utang melebihi 40 persen dari PDB, maka ruang fiskal akan semakin menyusut, yang dapat menimbulkan sentimen negatif di kalangan investor dan memerlukan strategi pembiayaan pasar yang baru.
Kondisi sistem pembiayaan utang yang memburuk dapat semakin mempersempit ruang fiskal, terutama mengingat rasio pembayaran utang terhadap pendapatan Indonesia yang sudah tinggi. "Prioritaskan mobilisasi pendapatan domestik untuk mendanai belanja pembangunan, sambil memperlakukan batas defisit sebagai batas tertinggi, bukan sebagai target," tambah laporan tersebut.
Untuk menjaga defisit tetap di bawah 3 persen dari PDB, IMF merekomendasikan reformasi kebijakan belanja, termasuk efisiensi belanja, reformasi subsidi, dan peningkatan pelaksanaan belanja desentralisasi oleh pemerintah daerah.
Ruang Fiskal yang Sempit
Dalam periode pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, ruang fiskal akan berhadapan dengan beban utang yang diwariskan dari era Presiden Jokowi. Pada tahun 2025, utang pemerintah yang jatuh tempo mencapai Rp800 triliun—angka yang hampir dua kali lipat dibandingkan tahun ini. Rincian utang tersebut meliputi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp94,83 triliun.
Persoalan ini tidak hanya berlaku untuk tahun 2025, melainkan juga untuk tahun-tahun berikutnya. Utang jatuh tempo dengan nilai serupa akan terjadi pada 2026, 2027, dan 2028, masing-masing sebesar Rp719,8 triliun, dan pada 2029, sebesar Rp622,3 triliun. Menurut Esther, kondisi ini akan semakin mempersempit ruang fiskal pemerintahan Prabowo.
Esther menjelaskan hal-hal yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan oleh pemerintahan Prabowo dari sisi pendapatan dan belanja negara dalam situasi ini. Salah satu isu utama adalah pendapatan pajak. Dalam debat Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka mengajukan target rasio pajak sebesar 23 persen. Namun, Esther menilai target tersebut tidak realistis. “Apakah semua akan dikenakan pajak?” ujar Esther, menekankan bahwa rasio pajak hanya bisa meningkat secara bertahap dengan pertumbuhan ekonomi yang memadai—setidaknya mencapai angka 8 persen.
Program makan siang bergizi gratis untuk anak sekolah, yang diperkirakan akan masuk dalam APBN 2025 sebesar Rp71 triliun, merupakan janji politik dari Prabowo-Gibran. Menurut Menkeu Sri Mulyani, program ini sudah direncanakan untuk tahun depan. Namun, Esther mengingatkan bahwa peningkatan impor bahan makanan seperti beras dan susu bisa mengganggu anggaran. “Jika dampaknya tidak signifikan, sebaiknya program ini dipertimbangkan kembali,” ungkapnya.
Selain itu, evaluasi belanja bantuan sosial (bansos) dari era Jokowi juga menjadi perhatian. Esther menilai bahwa bansos tidak memberikan kontribusi besar terhadap penurunan kemiskinan dan malah bisa memperburuk situasi. “Bansos tidak bisa memutus rantai kemiskinan; yang bisa adalah pendidikan yang lebih baik,” tegasnya.
Berdasarkan data BPS, selama satu dekade pemerintahan Jokowi, jumlah penduduk miskin hanya berkurang sekitar 3,06 juta orang, atau sekitar 2,22 persen poin dari total penduduk miskin pada Maret 2014. Selain itu, Esther menekankan pentingnya efisiensi dalam kabinet pemerintahan mendatang. “Kabinet yang ramping dan efisien lebih diperlukan untuk menekan belanja rutin,” sarannya.
Terdapat spekulasi bahwa tim Prabowo-Gibran mungkin mempertimbangkan revisi Undang-Undang Keuangan Negara untuk memperlonggar batasan utang dan defisit APBN. Namun, Thomas Djiwandono menolak rumor ini, menyatakan komitmennya terhadap target yang telah disepakati. Drajad Wibowo juga menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk mengubah undang-undang terkait, menilai hal tersebut sebagai gosip belaka.
Menurut Drajad, peningkatan defisit APBN 2024 telah diperkirakan sebelumnya dan merupakan dampak dari kondisi makroekonomi serta belanja akhir masa jabatan. “Pemerintahan Prabowo-Gibran akan menghadapi tekanan fiskal dengan terobosan penerimaan negara, baik secara sistemik maupun ad hoc, termasuk PPN, PPh, PNBP, serta bea dan cukai,” katanya. Belanja negara, termasuk untuk IKN dan program makan bergizi gratis, akan disesuaikan secara bertahap dengan ruang fiskal yang tersedia setiap tahunnya. (*)