KABARBURSA.COM - Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor menjadi polemik yang belum berujung. Saat ini, Permendag 8/2024 disorot lantaran mengakibatkan industri tekstil Tanah Air jatuh.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) saat ini jelas terdampak Permendag 8/2024 menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta. Terutama dengan berakhirnya perlindungan tarif bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard pada November 2024 nanti.
"Permintaan revisi ini sangat mendesak, khususnya dalam penerapan persetujuan teknis (pertek) untuk barang jadi seperti garmen dan pakaian jadi. Jika pertek tidak diberlakukan, kita akan menghadapi risiko banjirnya produk impor," ujar Redma kepada Kabarbursa.com, Senin 28 Oktober 2024.
Pasalnya, kata dia, safeguard untuk pakaian jadi yang berakhir November ini tidak bisa diperpanjang. "Kalau safeguard selesai dan Permendag 8/2024 ini masih tidak mewajibkan pertek untuk pakaian jadi, maka produk pakaian dari negara-negara seperti Bangladesh, Vietnam, dan India akan masuk secara masif dan menambah tekanan pasar domestik," tambahnya.
Menurut Redma, selama ini pasar domestik sudah kewalahan dengan produk impor ilegal, yang didominasi dari China. Meski demikian, produk legal yang dikenai safeguard masih relatif terbatas. Namun, tanpa pembaruan dalam kebijakan proteksi Permendag, masuknya produk legal secara besar-besaran berpotensi menghantam industri dalam negeri.
Selain itu, ia menekankan dampak dari banjirnya pakaian impor ini tidak hanya akan dirasakan oleh sektor hilir, tetapi juga merambah ke seluruh rantai pasok industri tekstil, termasuk produsen kain dan benang lokal. "Saat ini, pangsa pasar kita hanya mampu menguasai sekitar 40 persen pasar domestik. Dari jumlah itu, sebagian besar menggunakan bahan baku lokal seperti kain dan benang," jelas Redma.
Jika proteksi tidak diberikan, serbuan barang impor berpotensi mengguncang industri dalam negeri, mulai dari sektor tekstil hingga ke industri petrokimia. "Bahan baku utama industri tekstil, seperti poliester dan rayon, berasal dari petrokimia. Dengan terganggunya rantai nilai ini, dampak ekonominya akan sangat signifikan dan merugikan," tambah dia.
Lebih lanjut, Redma menyatakan harapan bahwa Menteri Perdagangan Budi Santoso dapat segera mengambil langkah tegas untuk melindungi industri tekstil dalam negeri. "Kami berharap Pak Budi bisa lebih tegas menghadapi tekanan asing dan kepentingan pihak tertentu. Apalagi, kita semua memahami instruksi dari Presiden Prabowo agar industri lokal harus diperkuat," tambahnya.
Redma menekankan bahwa pemerintah perlu menjaga konsistensi kebijakan agar industri tekstil lokal yang sudah babak belur ini tidak semakin terpuruk. "Industri sudah terpuruk, dan sangat berharap agar kebijakan yang diambil saat ini benar-benar berpihak pada penguatan sektor dalam negeri, bukan hanya mengakomodasi tekanan dari pihak luar," tutupnya.
Raksasa Tekstil Sritex Pailit
Baru-baru ini, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal dengan Sritex (SRIL), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang setelah bertahun-tahun bergelut dengan masalah utang yang menggunung. Keputusan ini menjadi akhir dari salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, yang sebelumnya berperan penting dalam industri tekstil domestik maupun internasional.
Keputusan pailit ini ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Semarang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Moch Ansar pada Kamis, 24 Oktober 2024. Majelis Hakim memutuskan untuk menerima permohonan pemohon, yaitu PT Indo Bharat Rayon, dan menyatakan SRIL serta beberapa anak perusahaannya, seperti PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, pailit. Keputusan ini tertuang dalam perkara dengan nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Dasar dari keputusan ini adalah kelalaian SRIL dalam memenuhi kewajibannya kepada pemohon berdasarkan Putusan Homologasi pada 25 Januari 2022. Putusan tersebut menyatakan bahwa SRIL tidak mampu memenuhi perjanjian perdamaian terkait restrukturisasi utangnya yang disepakati pada putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg.
Sebelum putusan pailit ini, SRIL sebenarnya telah berusaha keras untuk mengatasi krisis keuangan yang menjeratnya. Pada Januari 2022, perusahaan berhasil mencapai kesepakatan melalui Putusan Homologasi yang memungkinkan restrukturisasi utang perusahaan dengan tujuan menjaga stabilitas bisnis dan memenuhi kewajiban keuangan.
Salah satu langkah yang diambil manajemen SRIL adalah menjaminkan aset-aset perseroan senilai Rp13,27 triliun. Namun, meskipun langkah ini diambil, masalah utang terus menghantui perusahaan.
SRIL juga mengumumkan rencana untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 18 September 2024, di mana mereka akan meminta persetujuan pemegang saham untuk penjaminan lebih dari 50 persen aset Grup Perseroan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan dapat memenuhi kewajiban yang diatur dalam putusan homologasi.
Industri TPT Perlu Ditolong
Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengatakan pemerintah serius menyoroti krisis di sektor TPT ini dan akan segera mengambil kebijakan strategis untuk membantu industri TPT pulih. Tujuannya, agar perusahaan-perusahaan di sektor tersebut tidak lagi melakukan PHK massal terhadap para pekerjanya.
Kemenperin mengungkap gelombang PHK di industri TPT telah mempengaruhi lebih dari 11.000 pekerja dari enam perusahaan besar. Beberapa perusahaan yang terdampak termasuk PT Dupantex di Jawa Tengah yang melakukan PHK terhadap 700 karyawan, PT Alenatex di Jawa Barat dengan 700 PHK, dan PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah yang merumahkan 500 pekerjanya.
Kasus PHK terbesar terjadi di PT Sai Apparel di Jawa Tengah, yang terpaksa memutus hubungan kerja dengan lebih dari 8.000 karyawan.
Sementara itu, kontraksi di sektor manufaktur, khususnya industri tekstil, makin diperparah oleh tingginya biaya logistik dan harga bahan baku yang terus meningkat. Kondisi ini menjadi tantangan utama yang dihadapi oleh pelaku usaha, yang memaksa mereka untuk melakukan efisiensi dan restrukturisasi biaya.
Dalam menghadapi krisis ini, Faisol menegaskan bahwa Kemenperin akan segera mengambil langkah konkret untuk menghidupkan kembali sektor TPT dan mencegah lebih banyak PHK. Salah satu langkah utama yang akan diambil adalah pemberian insentif bagi pelaku usaha di industri TPT.
Insentif yang diusulkan tidak hanya berupa bantuan langsung, tetapi juga fokus pada pengurangan biaya-biaya yang membebani perusahaan, seperti biaya logistik dan harga bahan baku.
Pemerintah menyadari bahwa biaya tinggi dalam proses produksi menjadi salah satu penyebab utama kesulitan di sektor ini. Oleh karena itu, menurunkan biaya logistik dan memastikan akses yang lebih terjangkau terhadap bahan baku akan menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah. (*)