KABARBURSA.COM - Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, meramal permintaan industri tidak akan meningkat signifikan dalam beberapa bulan ke depan. Hal itu ia ungkap menyusul Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober 2024 berada pada posisi kontraksi dengan level yang sama dengan bulan sebelumnya, yaitu 49,2.
Huda menuturkan, kontraksi yang terjadi pada sektor industri di Indonesia wajar terjadi lantaran pasar global dan domestik sedang mengalamk konidisi berat sebagaimana yang melanda industri tekstil beberapa waktu terakhir.
Di samping terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), permintaan di industri tekstil dari China dan US terus mengalami penurunan drastis dalam dua tahun terakhir. Akibatnya, kata Huda, Tekstil dan Produksi Tekstil (TPT) dalam negeri dirasionalisasikan dengan permintaan ekspor.
Di sisi lain, Huda menilai persaingan industri TPT dalam negeri kalah dengan produk impor dari China yang jauh lebih murah seiring berlakukan beleid Peraturan Menteri Perdagangan (Permenda) Nomor 8 Tahun 2024 yang dianggap mempermudah arus impor barang dari luar negeri.
Pada kondisi tersebut, Huda menilai, masyarakat cenderung lebih memilih produk dari China yang dibandrol harga murah dibandingkan dengan produk lokal. Terlebih, lanjut Huda, ada info masuknya produk impor dari China secara ilegal beberapa waktu lalu yang semakin menekan industri dalam negeri.
"Kemungkinan PHK akan bertambah sangat terbuka mengingat PMI kita masih belum membaik. Permintaan dalam negeri mungkin akan membaik dalam beberapa bulan ke depan namun tidak akan signifikan saya rasa," kata Huda kepada Kabarbursa.com, Minggu, 3 November 2024.
Di sisi lain, Huda juga menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak berkualitas lantaran dianggap terlalu kedap dalam menyerap tenaga kerja. Dia menuturkan, Indonesia sempat mengalami masa 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap hingga lebih dari 400 ribuan tenaga kerja. Sementara saat ini, terjadi hal sebaliknya, di mana 1 persen ekonomi hanya menyerap sekitar 100 ribu tenaga kerja.
"Ada faktor pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini bisa saya bilang, tidak berkualitas, karena salah satu indikatornya adalah terlalu kedap dalam menyerap tenaga kerja," ungkapnya.
Selain itu, Huda juga menilai industri dalam negeri tengah mengalami deindustrialisasi prematur yang terlihat dari kinerja sektor industri manufaktur tidak optimal, di mana proporsi sektor tersebut terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya berkontribusi sekitar 18 persen.
Padahal 10 tahun lalu, kata Huda, proporsi industri manufaktur sempat mencapai 20 persen lebih. Dia menilai, PMI Manufaktur Indonesia yang terus melambat dalam beberapa bulan terakhir juga berperan dalam menekan sektor manufaktur. "Belum juga ditambah serbuan produk impor yang semakin menekan industri dalam negeri," jelasnya.
Lebih jauh, Huda juga menilai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja seolah tidak efektif lantaran tidak adanya investasi yang masuk membawa penyerapan tenaga kerja yang besar. Hal itu juga tercermin dari sektor industri yang porsinya terus menurun dibandingkan PDB nasional.
"Dari 22 persen-an di tahun 2010-an awal, sekarang hanya 18 persenan di jaman Jokowi (Presiden Joko Widodo). Praktis tidak ada pembangunan pabrik secara masif di jaman Jokowi. Malah yang jamak terjadi adalah PHK," tutupnya.
Biang Keladi Lambatnya PMI Manufaktur RI
Diberitakan sebelumnya, PMI manufaktur Indonesia pada Oktober 2024 berada pada posisi kontraksi dengan level yang sama dengan bulan sebelumnya, yaitu 49,2. S&P Global menyebut, PMI manufaktur 2024 dipengaruhi oleh penurunan output dan pesanan baru.
Adapun bulan Oktober ini menandai periode penurunan output dan pesanan di industri manufaktur yang terjadi sejak empat bulan terakhir. Adapun merosotnya PMI Oktober disinyalir akibat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif menilai, kontraksi PMI manufaktur Indonesia akan terus berlanjut selama tidak ada kebijakan yang signifikan untuk mendukung sektor manufaktur dan melindungi pasar dalam negeri, seperti revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024.
“PMI Indonesia bulan Oktober 2024 oleh S&P Global merupakan bukti konkrit dampak dari Permendag 8/2024,” ujar Febri dalam keterangan tertulisnya, dikutip Minggu, 3 November 2024.
Febri menyebut, Permendag No. 8/2024 menjadi salah satu penyebab merosotnya kinerja manufaktur lantaran pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk jadi impor. Hal itu mudah terjadi lantaran Permendag No. 8/2024 tidak memuat aturan penerbitan Persetujuan Teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian untuk produk pakaian jadi.
Dari 518 kode HS kelompok komoditas yang direlaksasi impornya dalam kebijakan tersebut, Febri menyebut sekitar 88,42 persen atau 458 komoditas merupakan kode HS barang jadi yang sudah bisa diproduksi oleh industri dalam negeri. Dia menyebut, Permendag No. 8/2024 telah membuka pintu seluas-luasnya bagi produk jadi impor dan telah membanjiri pasar Indonesia.
“Jadi, kami mempertanyakan pernyataan Menteri Perdagangan bahwa Permendag No. 8/2024 bertujuan melindungi industri dalam negeri, terutama industri tekstil. Fakta yang terjadi justru sebaliknya," tegas Febri.
"Permendag No. 8/2024 tidak mensyaratkan Pertek atau rekomendasi untuk mengimpor barang jadi ke pasar domestik Indonesia. Akibatnya, semua produk TPT, terutama produk jadi, dibukakan pintu impor seluas-luasnya oleh kebijakan tersebut,” sambungnya.
Jaga Iklim Kondusif
Kendati begitu, Febri menegaskan, Kemenperin tidak bisa bertindak sendiri dalam menjaga iklim yang kondusif bagi industri dalam negeri agar terus tumbuh dan menjadi tulang punggung untuk pencapai target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto.
Pasalnya, Febri menyebut kebijakan Kementerian/Lembaga lain sangat menentukan kinerja manufaktur. Karenanya, dia meminta stakeholder pemerintah terkait untuk bisa menurunkan ego sektoralnya demi keberlanjutan nasib industri manufaktur.
“Kami meminta pada Kementerian/Lembaga lain untuk menurunkan ego sektoral masing-masing dalam rangka melindungi industri manufaktur dalam negeri. Kemenperin sudah meng-exercise semua tugas Pokok dan Fungsi kami sebagai Pembina Industri demi mendongkrak pertumbuhan industri, guna mencapai pertumbuhan ekonomi 7-8 persen," tegasnya.
Adapun salah satu kebijakan dari kementerian dan lembaga lain yang juga dibutuhkan dan mendesak saat ini oleh Kemenperin dan industri adalah pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) pakaian jadi. Sebelumnya, Kemenperin sudah mengusulkan BMTP pakaian jadi dan dibahas di Bandung beberapa waktu lalu.
“Namun Kementerian/Lembaga terkait masih menolak usulan tersebut. Sektor industri benar-benar membutuhkan perlindungan pada pasar produk jadi atau produk hilir. Sehingga perlu segera ada tindakan nyata agar industri manufaktur bisa bertahan,” pungkasnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.