Logo
>

Pernah Terseret Kasus Bank Century, Sri Mulyani Menkeu Tiga Presiden

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Pernah Terseret Kasus Bank Century, Sri Mulyani Menkeu Tiga Presiden

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Presiden Prabowo Subianto kembali menunjuk Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, menjadikannya satu-satunya individu yang pernah menjabat posisi tersebut di tiga presiden berbeda.

    Sebelumnya, Sri Mulyani pernah memegang jabatan ini di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).

    Sri Mulyani, yang lahir di Bandar Lampung pada 26 Agustus 1962, merupakan lulusan Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI). Ia melanjutkan studi dengan meraih gelar Master dan PhD dalam bidang ekonomi di University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat.

    Kariernya di Kementerian Keuangan dimulai saat ia dilantik sebagai Menteri Keuangan pada tahun 2005 di era SBY. Pada tahun 2010, ia bergabung dengan Bank Dunia sebagai Managing Director, menjadi salah satu perempuan Indonesia yang berkarir di lembaga keuangan global terkemuka.

    Setelah kembali ke Kementerian Keuangan di awal pemerintahan Jokowi pada 2016, Sri Mulyani berhasil menjaga stabilitas fiskal dan meningkatkan penerimaan negara, terutama dalam situasi yang menantang seperti pandemi COVID-19. Selama masa jabatannya, ia juga dikenal karena reformasi perpajakan, pengelolaan utang yang hati-hati, dan upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran negara.

    Kiprahnya dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur nasional telah diakui secara internasional, termasuk penghargaan sebagai Menteri Keuangan Terbaik Asia Timur dan Pasifik tahun 2020 dari majalah Global Markets.

    Pernah Terseret di Kasus Century

    Meski memiliki karir cemerlang, Sri Mulyani pernah terlibat dalam kontroversi terkait dugaan korupsi seputar penetapan PT Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

    Kasus ini berkaitan dengan perannya sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dituduh mengakibatkan kerugian negara mencapai triliunan rupiah.

    Pada 30 April dan 1 Mei 2013, saat diperiksa di Kedutaan Besar (Kedubes) Republik Indonesia di Washington, Sri Mulyani menjelaskan alasan di balik keputusan KSSK untuk menetapkan Bank Century sebagai bank gagal.

    Dalam rapat KSSK pada 24 November 2008, dia mengungkapkan bahwa data yang disampaikan oleh Bank Indonesia (BI) saat itu masih kurang memadai. Ia meminta BI untuk bertanggung jawab atas keputusan penanganan bank tersebut, termasuk mengklarifikasi mengapa beberapa laporan tidak diawasi secara intensif.

    Sri Mulyani menyoroti bahwa rasio kecukupan modal Bank Century anjlok dari minus 2 persen menjadi minus 35,93 persen dalam waktu singkat.

    “Kasus Bank Century menjadi pelajaran bagi KSSK untuk memastikan data yang diterima benar-benar dapat dipercaya,” kata Sri Mulyani pada 2016 silam.

    Data yang diserahkan oleh Gubernur BI saat itu, Boediono (yang di kemudian hari menjadi Wakil Presiden RI periode kedua SBY), menjadi dasar rekomendasi penanganan masalah solvabilitas Bank Century.

    Boediono juga menjelaskan bahwa untuk memenuhi rasio kecukupan modal sebesar 8 persen, bank tersebut memerlukan tambahan modal sebesar Rp632 miliar.

    Dalam rapat selanjutnya, BI menyatakan bahwa Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik dan merekomendasikan agar penanganan bank tersebut diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

    Sri Mulyani mengungkapkan bahwa meski terdapat penentangan dari beberapa peserta rapat terhadap analisis dampak sistemik BI, keputusan untuk menetapkan Bank Century sebagai bank gagal tetap diambil.

    Menurutnya, situasi perbankan yang rapuh dan ketidakpastian di pasar keuangan mengharuskan KSSK untuk bertindak hati-hati agar tidak mengancam sistem keuangan.

    Keputusan tersebut kemudian dipersoalkan sebagai salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia, dengan dugaan kerugian negara akibat bailout mencapai Rp6,7 triliun.

    Akibat tekanan politik, Sri Mulyani mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan pada Mei 2010 dan melanjutkan karier di Bank Dunia.

    Indonesia Gagal Lakukan Regenerasi

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti berpendapatan, dipilihnya kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan mungkin dianggap sebagai solusi untuk menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks.

    “Mungkin karena pengalaman panjang selama  kepemimpinan tiga presiden dan punya track record menteri keuangan terbaik di dunia. Sehingga dipercaya mampu mengatasi, Fiscal space yang kecil, ekonomi lesu karena lima bulan berturut turut, jumlah kelas menengah yang turun,” kata Esther kepada Kabar Bursa, Senin, 21 Oktober 2024.

    Namun, di balik apresiasi terhadap kinerja Sri Mulyani, Esther juga menekankan bahwa penunjukan ini mencerminkan kegagalan Indonesia dalam melakukan regenerasi di sektor pemerintahan

    “Di sisi lain, penunjukan kembali Sri Mulyani juga menunjukkan bahwa Indonesia gagal melakukan regenerasi dan kaderisasi. Harusnya ada wajah-wajah baru yang muncul dan diberi kesempatan untuk memimpin," ujarnya.

    Minimnya regenerasi ini terlihat jelas dari bagaimana Sri Mulyani selalu menjadi pilihan utama setiap kali Indonesia membutuhkan seorang Menteri Keuangan yang mumpuni.

    Dari era SBY hingga Prabowo, Sri Mulyani selalu menduduki posisi yang sama, seolah-olah tidak ada tokoh lain yang cukup berkompeten untuk menggantikannya.

    Sementara itu, Direktur Program INDEF Eisha Maghfiruha mengungkapkan bahwa di tengah ketidakpastian global saat ini, penting untuk menjaga stabilitas makroekonomi serta memastikan pengelolaan APBN tetap hati-hati. Ke depan, diperlukan optimalisasi penerimaan negara.

    “Dalam kebijakan fiskal, sebagai Menteri Keuangan di tiga presiden berbeda, stabilitas makroekonomi sangat dibutuhkan di tengah ketidakpastian global. Selain itu, APBN harus dikelola dengan prudent, dan ke depannya perlu ada optimalisasi penerimaan negara,” ujarnya.

    Eisha juga menyoroti tantangan ke depan, seperti meningkatkan rasio pajak dan mewujudkan janji pemerintah terkait optimalisasi penerimaan negara.

    “Tantangan ke depan adalah bagaimana meningkatkan tax ratio agar sesuai dengan janji pemerintah Prabowo dalam program Asta Cita,” pungkasnya. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.