Logo
>

PHK Meluas, Indonesia Defisit Lapangan Kerja?

Ditulis oleh KabarBursa.com
PHK Meluas, Indonesia Defisit Lapangan Kerja?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda sepanjang semester pertama tahun ini semakin memperburuk situasi pasar kerja di Indonesia, yang sudah sempit dalam satu dekade terakhir.

    Selama paruh pertama tahun 2024, data resmi dari Kementerian Tenaga Kerja mencatat sebanyak 32.064 orang mengalami PHK, melonjak tajam sebesar 95,51 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Lonjakan tersebut terjadi di tengah klaim pemerintah mengenai penciptaan 1,23 juta lapangan kerja baru, hasil dari investasi yang direalisasikan antara Januari dan Juni 2024.

    Namun, penciptaan lapangan kerja baru ini tetap menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Data dari Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja formal mengalami penurunan drastis dalam sepuluh tahun terakhir.

    Dari 2009 hingga 2014, sektor formal mampu menyerap sekitar 15,62 juta pekerja. Sayangnya, angka ini merosot menjadi hanya 8,5 juta pekerja pada periode 2014-2019, dan semakin menyusut menjadi 2,77 juta pada periode 2019-2024. Artinya, peluang pekerjaan di sektor formal semakin langka.

    Sektor formal, menurut definisi BPS, mencakup pegawai, karyawan, serta pekerja mandiri dengan buruh tetap. Di luar definisi ini, termasuk sektor informal. Hingga Februari lalu, berdasarkan data Sakernas, hanya 58,05 juta orang Indonesia yang bekerja di sektor formal.

    Pandemi COVID-19 memang memperburuk kondisi penyediaan lapangan kerja formal. Namun, penurunan tren ini sudah terlihat sebelum pandemi, dengan penyerapan tenaga kerja yang semakin menurun sejak periode awal pemerintahan Jokowi dibandingkan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

    Sektor informal kini mendominasi pasar kerja dengan persentase mencapai 59,17 persen pada Februari 2024. Dominasi sektor informal menunjukkan bahwa pekerjaan dengan pendapatan yang layak dan jenjang karir yang jelas masih sangat jarang di Indonesia.

    Defisit Lapangan Kerja

    Kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan di sektor formal telah memaksa banyak orang beralih ke sektor gig economy, seperti ojek online atau kurir, yang sering kali rentan terhadap eksploitasi dalam model kemitraan semu. Di sisi lain, banyak masyarakat yang berusaha membuka usaha kecil dengan modal minimal, mulai dari reseller barang di marketplace hingga membuka warung kelontong atau jasa cuci baju.

    Data Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2021 mencatat bahwa dari 64,2 juta pelaku UMKM, sebanyak 63,95 juta di antaranya merupakan usaha mikro (99,62 persen). Sementara usaha kecil hanya mencakup 0,3 persen dan usaha menengah 0,07 persen, sedangkan usaha besar hanya 0,01 persen.

    Menurut riset SMERU Research Institute pada Juni 2023, negara-negara dengan pendapatan tinggi cenderung memiliki tingkat self-employment yang lebih rendah karena banyak pekerja yang dapat bekerja di sektor formal.

    Dominasi UMKM, terutama yang mikro dan ultra mikro, menunjukkan bahwa kondisi lapangan kerja di Indonesia kurang berkualitas dan tidak memadai dalam menyerap kebutuhan masyarakat akan pekerjaan yang layak. Bila tidak ditangani, masalah ini dapat berdampak luas pada pertumbuhan ekonomi. Pekerjaan di sektor informal sering kali dikaitkan dengan pendapatan rendah, kurangnya tunjangan, dan kurangnya jenjang karir yang jelas.

    Pendapatan yang tidak memadai berdampak pada konsumsi masyarakat dan penerimaan pajak negara, mengingat pajak banyak disumbang oleh pendapatan dan konsumsi rakyat. Meski pemerintah berusaha menggenjot investasi dengan kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja, hasilnya belum signifikan dalam menciptakan lapangan kerja baru. Investasi yang masuk lebih banyak berfokus pada sektor padat modal, bukan padat karya.

    Kementerian Investasi/BKPM melaporkan bahwa lima sektor dengan realisasi investasi terbesar adalah industri logam dasar, barang logam, transportasi, gudang, telekomunikasi, pertambangan, dan perumahan. Sektor-sektor ini, sayangnya, bukan sektor padat karya. Data BPS terbaru menunjukkan bahwa tiga sektor dengan penyerapan tenaga kerja terbesar adalah pertanian, perdagangan besar dan eceran, serta industri pengolahan.

    Meskipun investasi menunjukkan pertumbuhan yang baik, sebesar 22,3 persen pada semester pertama 2024, dengan nominal mencapai Rp829,9 triliun, dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja masih terbatas. Pemerintah mengklaim bahwa investasi ini telah menciptakan 1,23 juta lapangan kerja baru, namun jumlah ini belum mampu mengatasi kesulitan pasar kerja yang ada.

    Penjualan ritel yang terseret oleh ketidakpastian ini menunjukkan penurunan tajam, dengan indeks penjualan riil pada Mei naik hanya 2,1 persen year-on-year setelah bulan April mengalami kontraksi. Penurunan penjualan ini lebih dalam dari yang diperkirakan, menunjukkan bahwa masyarakat semakin berhati-hati dalam berbelanja.

    Indeks Keyakinan Konsumen juga menunjukkan penurunan, mencerminkan kemerosotan kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi yang lebih buruk untuk enam bulan ke depan. Hal ini mencerminkan kekhawatiran yang mendalam mengenai situasi ketenagakerjaan dan kondisi ekonomi secara umum. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi