KABARBURSA.COM - Pemimpin kedua China memperingatkan bahwa deglobalisasi akan memberi dampak berat pada perekonomian global. Pernyataan ini disampaikan saat ia menyambut para pemimpin lembaga keuangan multilateral di Beijing.
Perdana Menteri China, Li Qiang, mengungkapkan hal tersebut dalam pidato pembukaan pada sebuah pertemuan puncak yang dihadiri oleh para pemimpin dari berbagai organisasi, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Bank Dunia.
Dalam pidatonya, Li menyoroti kondisi perekonomian global yang tengah lesu. Ketidakpastian yang kian meningkat, menurutnya, menyebabkan gangguan besar pada jalannya aktivitas ekonomi dunia. "Di tengah situasi ini, kita melihat semakin banyaknya tantangan yang dihadapi oleh ekonomi global," ujar Li kepada para peserta di Wisma Negara Diaoyutai, Beijing, seperti yang dikutip dari Channel News Asia, Rabu 11 Desember 2024.
Li juga mencatat bahwa tindakan perdagangan dan investasi diskriminatif terus meningkat setiap tahunnya sejak 2020. "Tren deglobalisasi semakin memburuk," tegas Li, mencermati dampak negatifnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Di tengah tantangan ini, China sedang berjuang menghadapi berbagai hambatan, termasuk krisis utang di sektor properti yang tak kunjung usai dan tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan pemuda. Data resmi yang dirilis sebelum pidato Li menunjukkan inflasi nasional yang menurun menjadi 0,2 persen pada November, menandakan adanya pelemahan permintaan.
Para pemimpin dunia saat ini tengah berupaya menemukan cara untuk mendukung perdagangan luar negeri menjelang pelantikan Presiden terpilih AS, Donald Trump, yang sebelumnya mengancam akan memberlakukan tarif tinggi terhadap produk-produk China.
Li juga mengkritik sejumlah negara yang terus mengenakan tarif tinggi dan memperketat pembatasan perdagangan, meskipun ia tidak menyebutkan secara langsung nama Amerika Serikat atau Trump dalam pidatonya di hadapan para wartawan.
Adopsi Kebijakan Moneter
China mengumumkan akan mengadopsi kebijakan moneter yang longgar untuk tahun depan demi mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilaporkan langsung oleh media pemerintah China, Xinhua, pada Senin, 11 Desember 2024. Langkah ini menandai pergeseran kebijakan pelonggaran pertama sejak 2010.
Selain itu, kebijakan fiskal yang lebih proaktif juga akan diterapkan, disertai peningkatan langkah-langkah yang tidak konvensional untuk mengatasi siklus ekonomi. “China harus secara aktif mendorong konsumsi dan memperluas permintaan domestik di segala lini,” tulis laporan Xinhua yang mengutip pertemuan Politbiro Partai Komunis, dikutip dari Reuters.
Pernyataan ini muncul menjelang Konferensi Kerja Ekonomi Pusat tahunan yang akan menetapkan target dan kebijakan utama untuk 2025. “Kebijakan fiskal yang lebih proaktif dan kebijakan moneter yang longgar secara tepat harus diimplementasikan, memperkuat alat kebijakan yang luar biasa dan memperbaiki penyesuaian kontra-siklus,” tambah laporan itu.
Pergeseran ke arah pelonggaran ini adalah yang pertama kali sejak akhir 2010. Sebelumnya, China menerapkan kebijakan pelonggaran moneter secara tepat setelah krisis keuangan global 2008, sebelum beralih ke kebijakan prudent atau hati-hati pada akhir 2010.
Bank sentral China memiliki lima pendekatan kebijakan, yakni longgar, longgar secara tepat, prudent, ketat secara tepat, dan ketat. Masing-masing memiliki fleksibilitas bergantung pada kondisi ekonomi. Dengan kebijakan baru ini, China berupaya menjaga stabilitas sekaligus mendorong inovasi di tengah tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.
Pelonggaran kebijakan moneter yang direncanakan China tahun depan tampaknya menjadi langkah strategis untuk menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Dengan inflasi yang terus melambat dan permintaan domestik yang masih lesu, langkah-langkah seperti kebijakan fiskal proaktif dan penyesuaian kontra-siklus diharapkan dapat mendongkrak konsumsi sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.
Pasalnya, realita di lapangan menunjukkan bahwa efek dari kebijakan yang ada sejauh ini belum cukup signifikan. Inflasi konsumen yang mencapai titik terendah dalam lima bulan terakhir pada November 2024 menjadi salah satu indikasinya. Ditambah lagi, tekanan deflasi di sektor pabrik terus berlanjut. Hal ini mempertegas pemulihan ekonomi China masih menghadapi jalan terjal.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.