Logo
>

PNBP Mulai Tertekan: ICP Turun, Lifting tak Capai Target

Pada bulan Maret 2025 mengalami rebound setelah dua bulan sebelumnya mengalami kontraksi.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
PNBP Mulai Tertekan: ICP Turun, Lifting tak Capai Target
ilustrasi soal PNPB. Gambar diolah dengan AI buat KabarBursa.com

KABARBURSA.COM - Realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sepanjang empat bulan terakhir, dari Desember 2024 hingga Maret 2025, memperlihatkan dinamika yang fluktuatif. Meskipun mencatat rebound pada Maret, tekanan pada sektor sumber daya alam (SDA) mencerminkan tantangan besar dalam menjaga postur fiskal di tengah ketidakpastian harga komoditas global dan faktor cuaca ekstrem domestik.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan bahwa rerata bulanan PNBP pada periode Desember 2024 hingga Maret 2025 berada di angka Rp44,4 triliun. Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan rerata bulanan Desember 2021 - Maret 2022 yang sebesar Rp43,8 triliun. Namun, masih tertinggal jauh dibandingkan periode dua tahun terakhir yakni Rp56,3 triliun (2023) dan Rp52,7 triliun (2022).

"Pada bulan Maret 2025 mengalami rebound setelah dua bulan sebelumnya mengalami kontraksi," kata Suahasil dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI, Kamis 8 Mei 2025 di Jakarta.

Pertumbuhan pada Maret tercatat mencapai 15,1 persen dibandingkan Februari 2025. Kenaikan ini terutama didorong oleh naiknya harga batubara acuan (HBA), peningkatan lifting gas bumi, serta bertambahnya pendapatan dari penggunaan spektrum frekuensi radio dan dana perkebunan kelapa sawit.

"Harga komoditas tahun ini terjadi penurunan, secara year to date dan month to month-nya beberapa turun. Ini yang membuat PNBP-nya juga terefleksi," ujarnya.

Migas: ICP Turun, Lifting Naik tapi Masih di Bawah Target

PNBP dari SDA migas selama periode tersebut tercatat sebesar Rp24,9 triliun. Penurunan ini terjadi seiring dengan turunnya harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar 4,42 persen dari USD 77,67 per barel pada 2024 menjadi USD 74,24 per barel pada 2025.

Meski demikian, produksi menunjukkan sedikit perbaikan. Lifting minyak bumi naik 3,11 persen menjadi 596 ribu barel per hari. Sementara lifting gas bumi naik 4,41 persen menjadi 947 ribu barel setara minyak per hari. Sayangnya, angka tersebut tetap belum mencapai asumsi APBN yang menargetkan lifting minyak 605 ribu barel/hari dan gas bumi 1,005 juta barel setara minyak per hari.

"Kita lihat ICP dibandingkan tahun lalu turun. Tapi bukan hanya ICP yang berpengaruh, lifting-nya juga. Lifting minyak bumi memang lebih tinggi dibandingkan tahun lalu tapi tetap di bawah asumsi APBN," jelas Suahasil.

Penurunan ICP sendiri dipengaruhi oleh dua faktor utama: perlambatan ekonomi Tiongkok yang melemahkan permintaan minyak mentah, serta kekhawatiran pasar terhadap potensi penurunan permintaan global akibat kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap Kanada dan Meksiko.

Depresiasi nilai tukar rupiah juga ikut memengaruhi. Kurs tercatat naik 3,38 persen dari Rp15.638 menjadi Rp16.167 per USD.

Nonmigas: Batubara Terpukul Cuaca, Kehutanan dan Panas Bumi Terkoreksi Tajam

PNBP dari SDA nonmigas didominasi oleh sektor minerba, terutama batubara, yang memberikan kontribusi hingga 92,3 persen. Total penerimaan dari sektor ini mencapai Rp23,7 triliun, terdiri dari Rp17,1 triliun royalti batubara dan Rp6,6 triliun royalti non-batubara. Namun, angka ini tetap terkoreksi 7,6 persen secara tahunan. Penurunan tersebut dipicu oleh turunnya produksi batubara akibat kondisi cuaca yang buruk sejak akhir 2024.

"PNBP SDA Minerba terkontraksi dipengaruhi kinerja penerimaan royalti batubara yang menurun dampak penurunan produksi batubara disebabkan kondisi cuaca yang buruk akhir tahun 2024 sampai saat ini,” jelas Suahasil.

Sementara itu, sektor kehutanan, kelautan, perikanan, dan panas bumi juga mengalami kontraksi 10,2 persen secara tahunan. PNBP sektor kehutanan turun 6,8 persen karena lesunya pembayaran Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). 

"Hal ini akibat turunnya harga kayu bulat sehingga pengusaha menahan penebangan kayu," kata Suahasil.

Sektor kelautan dan perikanan juga mencatat penurunan tipis 0,8 persen karena turunnya hasil produksi yang didaratkan di pelabuhan.

Kontraksi paling tajam justru terjadi pada sektor panas bumi, yang turun 27,4 persen akibat penurunan setoran bagian pemerintah (SBP) hingga 68 persen. Ini terjadi karena lonjakan biaya di seluruh wilayah kerja panas bumi milik Pertamina Geothermal Energy.

Risiko APBN di Tengah Ketidakpastian Sumber Daya Alam

Ketergantungan terhadap sektor SDA sebagai tulang punggung PNBP kini diuji. Kinerja PNBP yang berfluktuasi dan belum stabil, bahkan dengan rebound di Maret, menunjukkan kerentanan terhadap variabel eksternal dan cuaca domestik.

“Ini yang nanti akan punya impact kepada keseluruhan postur adalah ketika kita bandingkan ia dengan asumsi APBN. Jadi perlu kita awasi betul dengan sangat hati-hati,” tegas Suahasil.

Untuk diketahui, Pemerintah mencatat realisasi pendapatan negara hingga 31 Maret 2025 mencapai Rp400,1 triliun atau setara 17,2 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari jumlah tersebut, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menunjukkan capaian signifikan sebesar Rp115,9 triliun atau 22,6 persen dari total target sebesar Rp513,6 triliun.(*)

“Ini kan sudah triwulan satu per 31 Maret 2025. Pendapatan negara itu terhadap total APBN-nya kira-kira sudah mencapai 17,2 persen. Khusus untuk PNBP, secara target APBN-nya 22,6 persen,” kata Suahasil.

Kontribusi terbesar PNBP masih bersumber dari sektor Sumber Daya Alam (SDA), khususnya migas dan nonmigas. Pada sektor migas, penerimaan tercatat sebesar Rp24,90 triliun, seluruhnya berasal dari minyak bumi, tanpa ada kontribusi dari gas bumi.

Sementara itu, PNBP dari sektor SDA nonmigas mencapai Rp25,73 triliun. Sub-sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) menjadi penopang utama dengan kontribusi Rp23,74 triliun, terutama dari iuran produksi atau royalti serta keuntungan bersih IUPK. 

Sektor kehutanan menyumbang Rp1,47 triliun, sebagian besar berasal dari Dana Reboisasi dan penggunaan kawasan hutan. Sedangkan sektor kelautan dan perikanan menyumbang Rp212,1 miliar dan panas bumi Rp313,2 miliar.

Dari sektor Kekayaan Negara Dipisahkan (KND), pemerintah membukukan Rp10,88 triliun. Sementara kategori lainnya seperti hibah tunai dan pendapatan kementerian/lembaga (K/L) menyumbang Rp37,23 triliun. Rinciannya, hibah tunai sebesar Rp7,46 triliun dan pendapatan K/L Rp29,77 triliun. Penerimaan dari Badan Layanan Umum (BLU) juga memperkuat struktur penerimaan negara, dengan kontribusi Rp17,10 triliun.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.