KABARBURSA.COM - Posisi investasi internasional (PII) Indonesia pada triwulan II 2024 mencatat penurunan kewajiban neto, menurut laporan terbaru dari Bank Indonesia (BI). Pada akhir triwulan II 2024, kewajiban neto PII Indonesia tercatat sebesar USD247,3 miliar, menurun dibandingkan dengan USD253,9 miliar pada akhir triwulan I 2024.
Merujuk dari laman BI, penurunan ini disebabkan oleh peningkatan posisi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) serta penurunan posisi Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN). Posisi AFLN Indonesia meningkat menjadi USD491,5 miliar, naik sebesar 1,2 persen dari triwulan sebelumnya yang sebesar USD485,7 miliar.
Peningkatan ini dipicu oleh investasi penduduk pada berbagai instrumen finansial luar negeri, terutama dalam bentuk instrumen utang. Selain itu, kenaikan harga beberapa aset finansial luar negeri turut berkontribusi pada peningkatan posisi AFLN.
Sementara itu, posisi KFLN Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,1 persen menjadi USD738,7 miliar dari USD739,6 miliar pada triwulan I 2024.
"Penurunan ini terjadi meskipun aliran masuk modal asing tetap solid, baik dalam investasi langsung maupun investasi portofolio. Penurunan nilai instrumen keuangan domestik dan penguatan dolar AS terhadap mata uang global, termasuk Rupiah, serta penurunan harga saham domestik, turut mempengaruhi posisi KFLN," ujar Asisten Gubernur BI Erwin Haryono, Kamis, 5 September 2024.
BI menilai bahwa perkembangan PII Indonesia pada triwulan II 2024 masih terjaga dengan baik, mendukung ketahanan eksternal. Rasio PII Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 18,1 persen, lebih rendah dibandingkan dengan 18,4 persen pada triwulan I 2024. Struktur kewajiban PII Indonesia didominasi oleh instrumen berjangka panjang, dengan proporsi mencapai 92,8 persen, terutama dalam bentuk investasi langsung.
Adapun, BI berkomitmen untuk terus memantau dinamika perekonomian global yang dapat memengaruhi prospek PII Indonesia. Bank sentral akan terus memperkuat respons bauran kebijakan serta sinergi dengan pemerintah dan otoritas terkait guna memperkuat ketahanan sektor eksternal.
Selain itu, BI juga akan terus memantau potensi risiko terkait kewajiban neto PII terhadap perekonomian domestik.
Deflasi Berbulan-bulan
Diberitakan sebelumnya, BI mengatakan bahwa deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut pada Mei-Juni 2024 bukan merupakan indikasi melemahnya daya beli masyarakat.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter BI, Juli Budi Winantya. Ia menegaskan bahwa hal itu juga bukan tanda-tanda resesi ekonomi.
Menurut Juli, deflasi yang berlangsung beberapa bulan terakhir ini terutama dipengaruhi oleh penurunan inflasi pada komponen harga pangan bergejolak (volatile food). Ia menjelaskan bahwa komponen ini mengalami penurunan inflasi signifikan, turun menjadi di bawah 5 persen setelah sebelumnya sempat mencapai angka 9 persen.
“Ketika berbicara mengenai daya beli, kita seharusnya melihat inflasi inti. Namun, dalam konferensi pers kemarin, inflasi inti menunjukkan kondisi yang stabil. Hal ini terlihat dari ekspektasi inflasi yang tetap terjaga, kapasitas perekonomian yang masih memadai, dan inflasi impor yang terkendali,” jelas Juli.
Di sisi lain, Erwin, menegaskan bahwa deflasi selama tiga bulan berturut-turut ini lebih disebabkan oleh penurunan inflasi pada komponen harga pangan yang bergejolak.
Erwin menjelaskan bahwa sebelumnya, inflasi harga pangan sempat mencatatkan kenaikan yang signifikan, yang mengakibatkan peningkatan harga dan memicu kekhawatiran terkait keadaan darurat pangan.
“Dulu sempat ada isu darurat pangan karena harga pangan yang melonjak, membuat hidup sulit akibat harga makanan yang tinggi. Namun, sekarang harga pangan sudah turun secara konsisten, dan itulah yang menyebabkan terjadinya deflasi pada Indeks Harga Konsumen (IHK),” ujar Erwin.
Meskipun demikian, Erwin menekankan bahwa BI tetap waspada terhadap dinamika ekonomi yang terjadi, terutama terkait perkembangan inflasi setiap bulannya. Namun, ia kembali menegaskan bahwa deflasi yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh koreksi pada komponen volatile food.
“Kami tidak mengabaikan kondisi ini, kami terus memantau situasi. Namun, indikator-indikator IHK sejauh ini menunjukkan bahwa penurunan inflasi terutama terjadi pada komponen volatile food,” pungkas Erwin.
Inflasi Beras Terus Menerus
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,18 persen pada Juli 2024, dengan inflasi tahunan mencapai 2,13 persen. Deflasi tersebut tercatat selama tiga bulan berturut-turut sejak Mei 2024. Angka deflasi ini lebih dalam dibandingkan dengan deflasi pada Mei dan Juni yang masing-masing sebesar 0,03 persen dan 0,08 persen.
Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan penurunan harga komoditas terjadi akibat pasokan yang melimpah di tengah permintaan yang tetap. Namun, situasi beras justru sebaliknya, mengalami inflasi sejak Juni 2024 setelah mengalami deflasi dalam dua bulan sebelumnya.
“Beras kembali mengalami inflasi karena kenaikan harga. Ini disebabkan oleh menurunnya produksi beras setelah masa puncak panen pada April dan Mei 2024,” kata Amalia.
BPS mencatat inflasi beras pada Juni dan Juli 2024 masing-masing sebesar 0,15 persen dan 0,04 persen. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.