KABARBURSA.COM - Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen pada awal 2025 disinyalir akan memukul sektor industri Indonesia. Hal ini diperparah lantaran kondisi perekonomian terus melandai. Efeknya antara lain terlihat dari turunnya daya beli, merosotnya konsumsi rumah tangga, hingga inflasi beruntun yang terjadi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan penerapan PPN 12 persen sebaiknya ditunda. Di tengah turunnya daya beli masyarakat, kata Faisal, penerapan PPN 12 persen akan memukul industri terkait.
"Industri juga mengalami kontraksi dan kalau itu industri kontraksi, efek lanjutannya bisa sampai penurunan, pengurangan jumlah karyawan, PHK dan lain-lain," ungkap Faisal kepada KabarBursa.com, Senin, 25 November 2024.
Konsumsi masyarakat memiliki kaitan erat dengan kemampuan produksi manufaktur suatu negara. Ketika daya beli masyarakat melemah, permintaan terhadap produk barang dan jasa manufaktur lokal juga menurun, yang pada akhirnya memengaruhi kinerja industri manufaktur.
Pada Oktober 2024, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers Index/PMI) Manufaktur Indonesia tercatat di level 49,2. Laporan bulanan dari S&P ini menunjukkan performa manufaktur Indonesia berada dalam fase kontraksi, mengingat indeks di bawah 50 mencerminkan kondisi tersebut. Tren kontraksi ini berlanjut dari bulan sebelumnya, di mana PMI Manufaktur berada di angka 48,9 pada Agustus 2024.
[caption id="attachment_101900" align="alignnone" width="1200"] Indeks Manufaktur PMI S&P Global Indonesia berada di posisi 49,2 pada Oktober 2024, tetap stabil untuk bulan kedua berturut-turut sambil menandai penurunan aktivitas pabrik selama empat bulan berturut-turut. Sumber: S&P Global[/caption]
Menurut Faisal, pemerintah perlu mengkaji dengan cermat kebijakan fiskal yang hendak diterapkan. Seandainya pun tetap dipaksakan untuk meningkatkan PPN 12 persen dan Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh), ia khawatir kebijakan tersebut akan berdampak pada daya saing industri.
"Jangan dipaksakan untuk menaikkan tarif, PPN, kemudian PPH, cukai dan lain-lain, yang sifatnya nanti akan berdampak terhadap daya beli dan konsumsi daripada masyarakat, dan juga terhadap daya saing dari pelaku usaha, pelaku bisnis," katanya.
Di sisi lain, Faisal juga menegaskan baiknya pemerintah tidak hanya memikirkan kesehatan fiskal, melainkanbjuga rencana belanja pemerintah baru yang dianggap membengkak dari periode sebelumnya. Menurutnya, pemerintah perlu memikirkan penerimaan yang lebih arif terhadap ekonomi negara.
"Kebijakan fiskal itu justru bukan (hanya) memperhatikan kesehatan fiskal, tapi juga kesehatan ekonomi. Karena dia punya banyak manfaat secara terhadap ekonomi secara luas, termasuk berdampak terhadap distribusi pendapatan, kemudian sebagai peredam shock atau guncangan ekonomi dari luar," tegasnya.
Seandainya kebijakan tersebut dianggap genting untuk menghindari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tutur Faisal, mestinya pemerintah juga menetapkan belanja negara yang realistis. "Jangan justru belanja yang di belanja APBN itu didorong untuk meningkat, tapi untuk program-program yang tidak berdampak secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan, terutama kelas menengah," katanya.
Jepit Pelaku UMKM
Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menyebut, kebijakan PPN 12 persen akan berdampak pada kenaikan harga kebutuhan dan bersifat multiplier effect. Menurutnya, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan tersebut agar tidak mengorbankan para pelaku UMKM.
"Meskipun sudah diputuskan sebelumnya, tidak ada salahnya sebuah kebijakan yang berdampak luas bagi rakyat itu dikaji ulang. Dampak yang signifikan tentu akan dirasakan oleh pelaku UMKM. Terutama terhadap keberlanjutan UMKM," kata Amin kepada KabarBursa.com, Senin, 25 November 2024.
Sedikitnya ada empat dampak PPN 12 persen terhadap UMKM. Pertama, kata Amin, para pelaku UMKM berpotensi menaikan harga produknya. Pada titik tertentu, kondisi ini menimbulkan kecenderungan publik untuk memilih produk dengan harga yang lebih terjangkau. "UMKM yang memasukkan PPN ke dalam harga jual kemungkinan harus menaikkan harga produk atau jasa mereka. Hal ini dapat mengurangi daya saing, terutama jika konsumen cenderung mencari alternatif yang lebih murah," katanya.
Di samping tergerusnya daya saing industri, Amin menilai kondisi tersebut juga berdampak pada penurunan permintaan. Harga yang lebih tinggi berpotensi menurunkan permintaan, terutama di segmen konsumen menengah ke bawah yang lebih sensitif terhadap perubahan harga.
Dampak ketiga, UMKM akan terbebani biaya administrasi tambahan. Bagi UMKM yang belum terbiasa dengan detail pencatatan pajak, kata Amin, kenaikan PPN akan menghambat proses administrasi. "Bagi UMKM yang belum terbiasa dengan pencatatan pajak yang detail, kenaikan PPN dapat mempersulit administrasi mereka, terutama dalam hal pelaporan pajak yang lebih kompleks," jelasnya.
Dampak keempat, Amin menyebut akan terjadi tekanan arus kas UMKM. Apalagi, para pelaku usaha yang memiliki margin rendah. "PPN yang harus dibayarkan lebih besar dapat menekan arus kas UMKM, terutama bagi usaha dengan margin kecil," katanya.
Kondisi Ekonomi RI tak Baik-baik Saja
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Konsumsi rumah tangga juga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.
Sementara itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Oktober yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) juga bertengger di angka 121,1, turun dari IKK September sebesar 123,5. Data itu menunjukkan adanya pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan.
Di sisi lain, data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), per Oktober 2024 ada sebanyak 59.796 orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), naik 31,13 persen dari tahun lalu. Data BPS per Agustus 2024 juga menunjukan proporsi pekerja penuh waktu turun dari 68,92 persen ke 68,06 persen, sementara setengah pengangguran juga naik dari 6,68 persen ke 8 persen.
Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Kholid, mengatakan kondisi tersebut terjadi seiring dengan merosotnya jumlah kelas menengah. Menurutnya, kondisi tersebut menandai bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. “Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah," kata Kholid dalam keterangannya, Sabtu, 16 November 2024.
Kholid pun meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk meninjau ulang urgensi kenaikan tarif PPN 12 persen yang rencananya berlaku pada 1 Januari 2025. PPN sebelumnya telah naik ke 11 persen pada 1 April 2022.
Kholid mengatakan peninjauan ulang rencana perlu dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat. Disamping itu, dia menyebut daya beli masyarakat cenderung melemah. Kenaikan PPN 12 persen dikhawatirkan memukul ekonomi masyarakat.
“Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen bukan kebijakan yang tepat. Hal itu akan semakin memukul daya beli masyarakat,” katanya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.