Logo
>

PPN Diisukan Naik 12 Persen, Emiten Bisa Untung?

Ditulis oleh Hutama Prayoga
PPN Diisukan Naik 12 Persen, Emiten Bisa Untung?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pengamat Pasar Modal Wahyu Laksono, mengatakan bahwa pada dasarnya emiten bisa diuntungkan andai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen pada tahun depan. Namun dengan satu syarat, bahwa hasil PPN tersebut harus bisa dirasakan oleh masyarakat secara jelas, akuntabel dan adil.

    "Penerimaan negara berupa PPN akan didistribusikan kembali kepada masyarakat melalui subsidi, pembangunan nasional, dan menurunkan rasio utang negara," ujar dia kepada Kabarbursa.com, Jumat, 20 September 2024.

    Menurut dia, cara itu berpotensi menguntungkan emiten khususnya di bidang subsidi, kontruksi, hingga perbankan.

    "Terkhusus perbankan (banyak orang akan cenderung hemat dan menabung atau meningkatkan pinjaman)," ungkap dia.

    Sayangnya, untuk saat ini Wahyu melihat kenaikan PPN justru bisa menyebabkan beban konsumen semakin berat sehingga menekan daya beli hingga menurunkan konsumsi. Di pihak produsen, kenaikan PPN ini justru bisa mempersulit atau bahkan menghilangkan ruang lebih untuk menaikkan harga lantaran semakin menekan konsumen.

    "Kalau begini, emiten justru cenderung dirugikan," ungkap Wahyu.

    PPN Diisukan Naik, Emiten Bisa Kena Sentimen Negatif

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan bakal naik menjadi 12 persen pada tahun depan, bisa memberikan dampak terhadap pasar modal.

    Pengamat Pasar Modal, Wahyu Laksono mengatakan kenaikan PPN 12 persen sangat berpotensi menekan ekonomi, terutama konsumen domestik. Menurutnya, hal ini bisa berefek pada daya beli masyarakat.

    “Ancaman kepada saya beli dan belanja masyarakat bisa turun, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik bisa melambat,” ujar dia.

    Menurut Wahyu, terdapat sejumlah emiten yang bakal terdampak naiknya PPN menjadi 12 persen. Di antaranya ialah emiten sektor konsumer hingga sektor industri perbankan.

    “Sektor-sektor yang bersentuhan langsung pada kenaikan tarif PPN ini secara tidak langsung juga berkaitan dengan produk-produk layanan perbankan di segala sektor industri,” jelasnya.

    “Juga kepada sektor distribusi dan logistik terkait supply chain karena beban biaya bisa naik juga,” tambah dia.

    Dampak ke Sektor Properti

    Diberitakan sebelumnya, wacana pemerintah yang ingin menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan disinyalir bakal berdampak pada aktivitas ekonomi, khususnya iklim bisnis di sektor properti.

    Director PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk, Reza Priyambada, menekankan bahwa kebijakan tersebut tentu akan menjadi tantangan bagi emiten properti untuk tetap bisa menjual di tengah kenaikan PPN.

    “Bisa jadi, ada promo-promo kerjasama dengan bank untuk pembeli via KPR maupun pemberian insentif dari pemerintah lagi,” ujar Reza kepada Kabarbursa.com, Kamis 18 Juli 2024

    Menurut Reza, meski emiten properti saat ini sedang dalam tren yang positif, posisi saham-saham tersebut secara teknikal sudah berada di area overbought seiring kenaikan yang terjadi dalam beberapa periode sebelumnya. Namun, penjualan dari sektor properti belakangan ini ditopang oleh marketing sales dari sejumlah emiten besar seperti BSDE, SMRA, dan CTRA, yang banyak menjual landed house dan merasakan dampak positif dari sentimen keringanan PPN dan uang muka.

    “kenaikan sebelumnya seiring pemberitaan kenaikan marketing sales dari sejumlah emiten properti,” jelas dia.

    Namun, posisi saham-saham tersebut secara teknikal sebenarnya sudah berada di area overbought seiring kenaikan yang terjadi dalam beberapa periode sebelumnya.

    Di sisi lain, Pendiri sekaligus Direktur Utama PT Jababeka Tbk (KIJA)  Setyono Djuandi Darmono, juga menanggapi wacana pemerintah yang akan menaikkan PPN menjadi 12 persen. Darmono berpendapat bahwa hal itu akan berdampak pada aktivitas ekonomi, khususnya iklim bisnis di sektor properti, karena dapat memberatkan konsumen dan melemahkan daya beli.

    “PPN itu yang berat adalah konsumen, tapi konsumen juga bisa pilih kan [untuk menyesuaikan besaran pajak yang dibayar]. Saya pilih barang yang murah, biar 12 persen jangan barang yang mahal,” kata Darmono di Jakarta, dikutip Kamis, 18 Juli 2024.

    Darmono juga menjelaskan bahwa untuk menjaga ekonomi tetap tumbuh, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memangkas pajak korporasi. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia sehingga RI dapat bersaing menjadi negara destinasi investasi favorit.

    “Jadi sebetulnya policy itu tinggal pilih. Jangan PPN 12 persen terus corporate tax 25 persen rusaklah bisnis. Hong Kong dan Singapura pajak [korporasinya] jauh lebih rendah dari Indonesia, karena apa? Karena mereka mau narik supaya investor jangan pergi,” tambahnya.

    Darmono memberikan gambaran bahwa saat ini pajak korporasi di Singapura berada di sekitar level 17 persen. Di tengah situasi sektor properti Singapura yang melemah, Singapura juga dilaporkan akan memangkas pajak korporasi menjadi 12 persen untuk menarik minat investasi di sana.

    “Indonesia [pajak korporasi] 25 persen tinggi. Di Singapura itu 17 persen atau berapa, mau turun lagi ke 12 persen. Hong Kong sudah lebih rendah lagi. Itu negara kaya,” pungkasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.