KABARBURSA.COM - Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan warisan utang dalam jumlah besar kepada Prabowo Subianto, Presiden RI mendatang. Utang tersebut menjadi tantangan berat bago pemerintahan baru.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan Prabowo Subianto kemungkinan justru besar akan menambah utang baru.
Menurut dia, dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, inflasi di angka 2,5 persen, dan rasio utang negara yang diperkirakan mencapai 37,91-38,71 persen, situasi ini hampir tidak mungkin Prabowo tidak berutang.
“Perlu didorong penambahan utang yang berkelanjutan, tapi batasnya paling sampai tahun 2029 masih 37 persen. Tentu saja ini warisan dari pemerintahan Jokowi 39,13 persen, masih tinggi sekali begitu,” kata Tauhid dalam sebuah diskusi virtual ‘Insan Cita’ beberapa hari lalu.
Tauhid pun menyebut pemerintahan Prabowo sebagai “tukang cuci piring” dari bekas makan pemerintah periode sebelumnya (Jokowi). Mengingat beban utang yang diwariskan selama satu dekade terakhir. Ini menjadi tugas besar bagi Prabowo di tengah ekspektasi publik yang tinggi.
“Artinya sebenarnya pemerintahan baru ini, cuci utang, cuci piring dari istilahnya utang yang sudah terjadi selama 10 tahun terakhir,” tuturnya.
Tauhid menekankan pentingnya menjaga defisit anggaran di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya, idealnya sekitar 2,5 persen.
Menurutnya hal ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi makro. Pasalnya, jika defisit terus melebar dan utang tidak terkendali, Indonesia bisa menghadapi situasi kritis seperti yang terjadi pada 2021.
“Karena ini untuk menjaga ekonomi makro relatif stabil dan terjaga begitu. Kalau ini tidak terjadi dan kembali katakanlah utang ini membesar dan tidak terkendali, maka kita akan mengalami titik puncak seperti kejadian 2021,” jelas Tauhid.
Namun, beban tambahan ini akan semakin berat jika pemerintah memilih untuk menaikkan pajak. Menurut Tauhid, kelas menengah dan masyarakat bawah saat ini sudah berada dalam kondisi ekonomi yang sulit, dan kenaikan pajak hanya akan memperburuk keadaan.
“Apalagi di tengah situasi kelas menengah maupun ekonomi bawah yang sama sekali sekarang lagi sulit,” ucapnya.
Sebagai solusinya, Tauhid menyarankan agar pemerintahan Prabowo Subianto harus meningkatkan rasio pajak dengan cara yang lebih cerdas. Menurutnya, hal itu bisa dilakukan tidak dengan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak tambahan lainnya, tapi fokus pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berbasis non-komoditas, yang sering kali belum digali secara maksimal.
“Jangan mengejar PPN atau mengejar tambahan yang lain. Tapi, seringkali kita kurang gercep (gerak cepat) adalah soal PNPB berbasis non komoditas yang kurang digali termasuk sumber pembiayaan lain,” pungkas Tauhid.
Berikut perkembangan utang pemerintah Indonesia dari tahun 2.000 hingga 2024:
Tahun 2000
Pada tahun 2000, setelah keluar dari krisis moneter Asia yang terjadi pada akhir 1990-an, pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dengan nilai utang mencapai Rp1.228 triliun. Sementara, rasion utang terhadap PDB melonjak ke angka 83 persen. Masa ini adalah masa sulit di mana negara bergantung pada utang luar negeri untuk menstabilkan ekonomi yang sedang terpuruk.
Tahun 2001-2009
Dalam kurun waktu hampir satu dekade setelahnya, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah untuk menekan rasio utang terhadap PDB. Tahun 2004, utang tercatat sebesar Rp1.299 triliun, namun rasio terhadap PDB turun drastis menjadi 56,48 persen. Kebijakan fiskal yang lebih bijak serta pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan menjadi faktor kunci dalam penurunan rasio ini.
Pada 2009, utang pemerintah mencapai Rp1.590 triliun. Meski nominalnya terus meningkat, rasio utang terhadap PDB semakin membaik, turun menjadi 26,64 persen. Ini menunjukkan bahwa PDB Indonesia terus tumbuh dan berhasil mengurangi beban rasio utang, meskipun jumlah utang secara absolut masih besar. Namun, kondisi ini hanya bertahan sementara.
Tahun 2010-2015
Memasuki tahun 2010, kebijakan pemerintah mulai menunjukkan arah yang lebih ekspansif, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur. Akibatnya, utang kembali meningkat dengan cepat. Pada 2010, utang tercatat sebesar Rp1.676 triliun. Dan pada 2015, utang sudah melonjak menjadi Rp3.165 triliun, hampir dua kali lipat dari tahun 2009.
Dalam lima tahun ini, kenaikan utang cukup mengkhawatirkan, meskipun pemerintah berdalih bahwa investasi infrastruktur akan membuahkan hasil di masa mendatang. Namun, dengan rasio utang terhadap PDB yang terus merangkak naik, dari 25 persen pada 2010 menjadi 27,48 persen pada 2015, ada kekhawatiran bahwa beban utang bisa menjadi bom waktu jika tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Tahun 2016-2019
Pemerintahan Jokowi pada periode pertamanya juga mempercepat laju utang demi memperkuat fondasi infrastruktur nasional. Tahun 2016, utang sudah mencapai Rp3.466 triliun. Kenaikan ini tidak mengejutkan, mengingat banyak proyek besar seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan yang membutuhkan pendanaan besar.
Pada 2019, utang semakin membengkak menjadi Rp5.918 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 30,49 persen. Meskipun pemerintah terus menyatakan bahwa utang digunakan untuk pembangunan produktif, lonjakan utang ini menimbulkan kritik dari berbagai kalangan yang khawatir akan ketergantungan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri.
Tahun 2020-2021: Krisis Pandemi COVID-19
Tahun 2020 menjadi titik balik yang dramatis dalam sejarah utang Indonesia. Pandemi COVID-19 menghantam perekonomian global, dan Indonesia tidak luput dari dampaknya. Pada tahun ini, utang pemerintah melonjak tajam hingga mencapai Rp6.625 triliun, dengan rasio terhadap PDB naik drastis menjadi 39,38 persen.
Pandemi ini memaksa pemerintah untuk mengeluarkan stimulus ekonomi besar-besaran guna menopang daya beli masyarakat, membantu dunia usaha, serta menangani krisis kesehatan. Akibatnya, utang terus meningkat sepanjang 2021, mencapai Rp7.003,62 triliun. Rasio utang terhadap PDB pun meroket hingga 40,74 persen, level tertinggi dalam dua dekade terakhir.
Tahun 2022-2023
Setelah pandemi mulai mereda, utang pemerintah tetap mengalami peningkatan. Pada tahun 2022, utang tercatat sebesar Rp7.548,58 triliun, sementara pada tahun 2023, angka tersebut melonjak menjadi Rp8.444,87 triliun. Meskipun pemerintah telah berupaya menurunkan rasio utang terhadap PDB menjadi 39,13 persen pada 2023, jumlah utang yang besar ini tetap menjadi perhatian utama. Peningkatan utang ini terus membayangi prospek ekonomi Indonesia, menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana pemerintah akan mengelola beban utang di masa mendatang.
Tahun 2024
Saat ini, di pertengahan 2024, Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa utangnya telah mencapai Rp8.444,87 triliun. Rasio utang terhadap PDB yang berada di angka 39,13 persen masih mengisyaratkan bahwa meskipun ekonomi mulai pulih dari pandemi, ketergantungan pada utang tetap tinggi. Pemerintah perlu segera memikirkan langkah-langkah strategis untuk mengelola utang dengan lebih bijaksana agar tidak terjerat dalam siklus utang yang semakin sulit diatasi. (*)