KABARBURSA.COM - Presiden RI Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, berlaku efektif mulai 1 Januari 2025.
Pengumuman ini disampaikan usai rapat tutup tahun 2024 di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa 31 Desember 2024.
“Kenaikan tarif ini dilakukan bertahap. Dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, sudah kita laksanakan. Kini, sesuai amanat undang-undang, 11 persen akan naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025,” ungkap Presiden dalam konferensi pers.
Ia menegaskan, tahapan ini dirancang untuk meminimalkan dampak terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurut Presiden, strategi bertahap ini dirancang agar tidak memberatkan masyarakat sekaligus mendorong distribusi ekonomi yang lebih merata.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kenaikan tarif PPN hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah. “Contohnya, pesawat jet pribadi, kapal pesiar, yacht, motor yacht, hingga rumah mewah. Barang-barang ini memang digunakan oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi,” jelas Prabowo. Untuk barang dan jasa non-mewah, tarif tetap seperti sebelumnya, yakni 11 persen sejak 2022.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya telah memastikan bahwa pemerintah menyiapkan sejumlah insentif guna meredam dampak kenaikan ini. Paket Stimulus Ekonomi disiapkan bersamaan dengan penerapan PPN 12 persen pada tahun 2025.
Fasilitas bebas PPN atau tarif 0 persen tetap diberlakukan untuk barang dan jasa esensial yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Ini mencakup bahan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayuran, susu segar, gula konsumsi, serta jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, keuangan, asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana, hingga utilitas seperti listrik dan air minum.
Sebagai tambahan, pemerintah juga memberikan stimulus berupa PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen untuk Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting), seperti Minyakita, tepung terigu, dan gula industri. Dengan mekanisme ini, tarif PPN efektif untuk kelompok barang tersebut tetap di angka 11 persen.
“Stimulus ini sangat vital untuk melindungi daya beli masyarakat, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pokok,” pungkas Prabowo.
Menurunkan Ekonomi Secara Signifikan
Peneliti Ekonomi dari Celios, Bakhrul Fikri, menyuarakan kekhawatirannya terkait dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan pemerintah pada 2025. Menurut Fikri, kebijakan ini berisiko menurunkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
“Jika tarif PPN dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen, saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya akan mencapai 4,09 persen. Ini sangat berbahaya karena dapat memicu resesi dan memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan,” ujar Fikri saat dihubungi Kabarbursa.com, Sabtu, 28 Desember 2024.
Fikri menambahkan bahwa sektor konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 53 persen terhadap PDB Indonesia, mengalami penurunan signifikan pada kuartal ketiga 2024. Penurunan ini mencerminkan daya beli masyarakat yang terus melemah dan memerlukan perhatian serius dari pemerintah.
Sebagai solusi, Fikri mengusulkan penurunan tarif PPN dari 11 persen menjadi 8 persen. Menurutnya, langkah ini dapat memberikan dampak positif bagi konsumen dan dunia usaha. “Dengan menurunkan tarif PPN, permintaan akan meningkat, dan dunia usaha, khususnya sektor UMKM, dapat terhindar dari potensi kerugian besar,” jelasnya.
Kelompok Terkaya Di Indonesia
Selain itu, Fikri menyarankan pemerintah mencari alternatif pendapatan negara yang lebih progresif. “Alih-alih mengenakan pajak regresif seperti PPN, pemerintah bisa menerapkan pajak progresif pada kelompok terkaya di Indonesia. Pajak sebesar 2 persen dari 50 orang terkaya dapat menghasilkan tambahan pendapatan negara hingga Rp81,6 triliun per tahun—jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan penerimaan dari kenaikan tarif PPN,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa kebijakan fiskal yang lebih progresif akan memberikan dampak yang lebih adil dan berkelanjutan, serta membantu menjaga daya beli masyarakat yang saat ini semakin tertekan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penerapan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 didasari prinsip keadilan dan gotong royong. Kebijakan ini juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan bertujuan menjaga daya beli di tengah tantangan global dan domestik.
“Ekonomi kita tetap berjalan meski dihadapkan pada dinamika global dan situasi dalam negeri yang perlu diwaspadai,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers bertema Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan, di Jakarta.
Di lain kesempatan, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Putri Zulkifli Hasan, menekankan pihaknya mendukung implementasi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Ia juga akan memastikan bahwa pemerintah akan menjamin bantuan bagi masyarakat rentan.
“Kenaikan PPN menjadi 12 persen bukan sekadar langkah fiskal, tetapi juga wujud nyata prinsip gotong royong dalam membangun bangsa. Dengan memastikan barang kebutuhan pokok tetap bebas PPN, pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat rentan, sementara kontribusi dari kelompok yang lebih mampu diarahkan untuk mendukung pembangunan nasional,” ujar Putri dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin, 23 Desember 2024.(*)