KABARBURSA.COM – Tahun 2025 diprediksi menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia. Sejumlah faktor diperkirakan akan mempengaruhi adalah daya beli masyarakat, ancaman inflasi dan perang dagang.
Salah satu faktor yang menjadi sorotan adalah penurunan daya beli dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal Januari 2025.
Dorongan konsumsi tinggi pada kuartal pertama 2025, yang dipicu oleh perayaan Ramadhan dan Idul Fitri diprediksi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, setelah periode tersebut, Indonesia diperkirakan memasuki masa low season yang lebih panjang. Hal ini berpotensi menekan daya beli masyarakat lebih parah.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Asuaibi, menjelaskan bahwa inflasi cenderung akan meningkat pada kuartal pertama 2025, seiring dengan lonjakan konsumsi masyarakat selama perayaan hari besar.
“Dari benang merah dari tahun sebelumnya, inflasi akan tinggi, terutama bersamaan dengan perayaan hari-hari besar,” ujar Ibrahim dalam wawancara dengan kabarbursa.com, Jumat, 3 Januari 2025.
Ibrahim memprakirakan inflasi pada Januari 2025 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Desember 2024. Menurutnya, hal ini terjadi karena perubahan pola inflasi yang sebelumnya dipicu oleh pembelian logam mulia atau perhiasaan.
Pembelian ini dilakukan seiring dengan adanya ketakutan masyarakat terhadap potensi perang dunia ketiga. Sehingga inflasi lebih banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga barang-barang konsumsi, terutama yang terkait dengan pangan.
“Kalau dulu-dulu sebelum-sebelumnya itu inflasi disebabkan oleh masyarakat yang melakukan pembelian terhadap perhiasan logam mulia, karena ada ketakutan dari perang dunia ketiga, tetapi di bulan Desember, inflasi naik ini disebabkan oleh barang konsumsi,” jelasnya.
Meski begitu, Ibrahim menilai bahwa konsumsi tinggi pada periode ini akan berdampak positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
“Konsumsi masyarakat yang tinggi akan membentuk PDB, yang diharapkan akan menunjukkan angka yang lebih baik,” tambahnya.
Namun, memasuki kuartal kedua 2025, Ibrahim memprediksi inflasi akan menurun karena berkurangnya konsumsi seiring dengan tidak adanya perayaan besar yang mendorong pengeluaran masyarakat.
“Biasanya, pada kuartal berikutnya, saat tidak ada lagi hari besar, inflasi akan sedikit menurun karena daya beli masyarakat mulai berkurang,” jelasnya.
Meski demikian, Ibrahim menegaskan bahwa situasi ini bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Menurutnya, daya beli dan inflasi masih dalam kondisi terkendali.
Waspada Ancaman Perang Dagang
Namun, Ibrahim lebih menyoroti faktor eksternal yang dapat membawa dampak besar, terutama pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 pada 20 Januari 2025.
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah lebih berhati-hati terhadap potensi perang dagang yang mungkin kembali terjadi, mengingat neraca perdagangan Amerika Serikat dengan Eropa, Kanada, dan Meksiko belum menunjukkan surplus.
“Makanya kita harus berhati-hati juga, Trump dilantik tanggal 20 Januari dan wanti-wanti akan melakukan perang dagangan kembali,” ujar dia.
Ibrahim menilai perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok dapat memicu masuknya barang-barang murah dari Tiongkok ke Indonesia. Sektor yang paling berpotensi terpengaruh adalah tekstil, otomotif, dan elektronik.
“Kebijakan Trump dulu menyebabkan barang-barang dari Tiongkok membanjiri pasar Indonesia, yang menyebabkan produk dalam negeri sulit bersaing,” katanya.
Barang-barang impor yang lebih murah ini, menurut Ibrahim, berisiko menekan daya beli produk lokal. Ia juga mencemaskan penurunan konsumsi masyarakat pada kuartal kedua.
Jika situasi ini terus berlanjut, kata dia, akan ada efek domino yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dimulai dari kebangkrutan yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
“PHK akan menyebabkan pengangguran massal dan berisiko menyebabkan deflasi,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu terkait ancaman perang dagang yang berdampak di hampir semua sektor dan mempengaruhi ekonomi Indonesia.
“Perang dagang AS-China dijamin akan meningkatkan ketidakpastian ekonomi global yang mengancam stabilitas ekonomi Indonesia melalui beberapa mekanisme,” kata Yannes kepada kabarbursa.com, beberapa waktu lalu.
Disrupsi perdagangan dan investasi, kata Yannes, berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bergantung kepada permintaan ekspor dari China dan AS karena kedua negara ini merupakan mitra dagang utama Indonesia di berbagai sektor, termasuk otomotif.
Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut menyoroti bahwa ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas seperti batu bara dan minyak kelapa sawit ke kedua negara ini cukup signifikan.
“Ketergantungan yang tinggi pada ekspor komoditas ke China membuat Indonesia rentan terhadap guncangan ekonomi eksternal, terutama yang berasal dari China. Hal ini akan meningkatkan kerentanan terhadap penurunan permintaan,” paparnya.
Penurunan permintaan dari China, lanjutnya, dapat memberikan dampak negatif bagi Indonesia karena berpotensi mengurangi pemasukan devisa negara. Pelambatan ekonomi di China secara langsung memengaruhi tingkat permintaan mereka terhadap komoditas asal Indonesia.
“Ketergantungan hampir semua industri di Indonesia pada komponen impor dipastikan akan semakin menciptakan kerentanan serius yang berpotensi fatal,” tambahnya. (*)