KABARBURSA.COM - Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengamankan total 25.257 unit speaker aktif asal China.
Pengamanan tersebut dilakukan karena puluhan ribu speaker ini tidak dilengkapi dengan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT-SNI), sebuah dokumen penting yang menjamin bahwa produk tersebut memenuhi standar nasional Indonesia.
Kepala BSKJI, Andi Rizaldi, menjelaskan bahwa speaker yang disita itu berasal dari tiga pelaku usaha, yaitu PT BSR, PT SEI, dan PT PIS.
Rinciannya yaitu PT BSR menyuplai 24.099 unit speaker dengan nilai sekitar Rp8,5 miliar, PT SEI mengirimkan 353 unit dengan nilai sekitar Rp1,4 juta, dan PT PIS memasok 805 unit dengan nilai sekitar Rp281 juta.
“Total nilai gabungan dari semua unit yang disita mencapai Rp10,2 miliar,” kata Andi Rizaldi saat ditemui di salah satu gudang di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat, Jumat, 19 Juli 2024.
Menurut Andi, ketiga pelaku usaha tersebut harus menghentikan kegiatan impor sementara dan dilarang mengedarkan produk yang tidak memiliki SPPT-SNI.
“Speaker-speaker ini berasal dari tiga gudang yang dimiliki oleh ketiga pelaku usaha tersebut. Lokasinya semua berada di wilayah Jakarta, dengan jarak sekitar 20-30 menit dari lokasi kami. Seluruh barang ini diimpor dari China,” ungkap Andi.
Dijelaskan Andi, ketiadaan SPPT-SNI pada produk tersebut dapat menimbulkan risiko terhadap keamanan dan keselamatan pengguna, serta merugikan produsen dalam negeri.
“Produk yang tidak memenuhi standar ini juga berpotensi menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga harus ditindak dengan tegas,” ujarnya.
Speaker aktif termasuk dalam kategori produk yang wajib mematuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan berada dalam daftar larangan terbatas (lartas) yang proses importasinya memerlukan dokumen SPPT-SNI sesuai dengan kode Harmonized System (HS) yang berlaku.
Sebagai langkah selanjutnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan menyita sementara speaker dari China tersebut dan melarang peredarannya hingga para pelaku usaha dapat menunjukkan SPPT-SNI yang sah.
Selain itu, pihak Kementerian Perindustrian akan memeriksa kesesuaian produk berdasarkan spesifikasi, dimensi, dan parameter lainnya sesuai dengan standar SNI. Proses pengujian akan dilakukan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
Jika hasil pengujian menunjukkan pelanggaran, Kemenperin akan mengambil tindakan penindakan yang sesuai dan tegas. Opsi penindakan mencakup pengembalian atau pemusnahan produk, tergantung pada tingkat pelanggaran yang ditemukan. Saat ini, status produk adalah tidak diperbolehkan untuk diedarkan hingga proses verifikasi dan penindakan selesai.
Andi Rizaldi menegaskan bahwa pengawasan ini bertujuan untuk mengingatkan seluruh pelaku usaha agar mematuhi regulasi yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia, termasuk kewajiban memiliki SPPT-SNI untuk produk yang diwajibkan.
"Pengawasan ini juga berfungsi sebagai peringatan agar semua pelaku usaha memastikan produk yang mereka edarkan sesuai dengan standar yang ditetapkan," pungkas Andi Rizaldi.
Keramik China bakal Banjiri Indonesia
Sementara itu, Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengungkapkan kekhawatirannya terkait terus meningkatnya volume keramik impor yang membanjiri pasar lokal.
Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, mengatakan bahwa puluhan juta meter persegi keramik impor diperkirakan akan masuk ke pasar domestik dalam satu bulan ke depan.
Menurut Edy, kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena sering kali harga produk keramik impor lebih murah daripada produk lokal.
Edy pun menekankan perlunya langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk melindungi industri keramik nasional, seperti melakukan antisipasi dengan memberlakukan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
"Yang dikhawatirkan Asaki saat ini adalah importasi keramik yang sangat masif," kata Edy dalam keterangan tertulis, yang dikutip, Rabu, 17 Juli 2024.
Menurut Edy, tidak hanya industri keramik saja yang dirugikan, tetapi konsumen juga akan terdampak lantaran ditawarkan harga murah dengan kualitas produk yang tak berkualitas.
"Contohnya penurunan ketebalan keramik yang sebelumnya 1 centimeter menjadi 7 milimeter. Ini tentu mempengaruhi kekuatan dari keramik itu sendiri yakni Bending dan Breaking Strength-nya menurun," ungkap Edy Suyanto.
Kata Edy lagi, beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), dan beberaa negara di kawasan Eropa Timur, juga di kawasan Timur Tengah telah melakukan perlindungan terhadap produk keramik dalam negeri mereka dari maraknya keramik impor China.
"Sampai sekarang tidak ada keberatan maupun tuntutan balik dari China ke WTO karena memang terbukti praktik dumping tersebut," pungkas Edy. (*)