KABARBURSA.COM - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan target ambisius untuk produksi batu bara nasional pada tahun 2024, yakni hampir mencapai 1 miliar ton. Rencana produksi batu bara 1 miliar ton ini disampaikan oleh Plt Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Bambang Suswantono, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR, Maret 2024 lalu. Pemerintah menyetujui 587 dari 883 permohonan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang diajukan sektor batu bara. Dengan persetujuan ini, produksi batu bara dalam tiga tahun mendatang diproyeksikan mencapai 922,14 juta ton pada 2024, 917,16 juta ton di 2025, dan 902,97 juta ton pada 2026.
Menteri ESDM saat itu, Arifin Tasrif–sebelum diganti Bahlil Lahadalia– menegaskan peningkatan produksi ini dipicu oleh melonjaknya permintaan pasar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. "Kenaikan permintaan terutama dari proyek-proyek pembangkit 35 GW yang masih berlangsung, serta gangguan pada pasokan energi alternatif," ujarnya dalam konferensi pers Januari 2024. Selain itu, pencapaian target domestic market obligation (DMO) yang mencapai 213 juta ton, atau 121 persen dari target, turut mendorong peningkatan produksi batu bara sepanjang tahun 2023.
Meskipun produksi batu bara terus mengalami kenaikan, ada tantangan besar yang harus dihadapi pemerintah. Beberapa kalangan, termasuk Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik, Salamudin Daeng, mempertanyakan bagaimana pemerintah dapat memastikan peningkatan produksi ini dapat memberikan manfaat maksimal bagi negara, terutama dalam hal pendapatan.
Potensi Pendapatan Fantastis dari Batu Bara
Salamudin mengungkapkan, produksi batu bara sebesar 1 miliar ton berpotensi mendatangkan pendapatan yang sangat besar bagi pemerintah. Dengan harga acuan batu bara (HBA) sebesar USD125,85 per ton, potensi nilai jual dari 1 miliar ton tersebut bisa mencapai USD125,85 miliar, atau setara dengan sekitar Rp2.000 triliun jika dikalikan dengan kurs Rp15.500 per dolar.
Namun, ia juga menekankan pentingnya pemerintah mengelola potensi ini dengan hati-hati, terutama mengingat tantangan dalam memastikan penerimaan negara. "Dengan hasil penjualan batu bara sebanyak 1 miliar ton, pemerintah akan memperoleh sedikitnya 28 persen dari nilai penjualan, atau sekitar Rp560 triliun," ujar Salamudin dalam keterangannya kepada KabarBursa, Kamis, 12 September 2024.
Pemerintah memang memiliki ketentuan yang jelas terkait pembagian hasil dari penjualan batu bara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak di sektor tambang, penerimaan negara dari batu bara dikenakan tarif bervariasi tergantung harga jualnya. Tarif tertinggi sebesar 28 persen diterapkan untuk harga batu bara yang di atas atau sama dengan USD100 per ton.
Namun, Salamudin mengingatkan potensi besar ini bisa saja tergerus jika tidak ada pengawasan yang ketat. Menurutnya, ada kecenderungan pengusaha batu bara untuk melaporkan harga jual yang lebih rendah, terutama untuk ekspor, guna menghindari tarif pajak yang lebih tinggi. "Jika pengusaha melaporkan menjual batubara seharga 40 dolar per ton, maka pemerintahan Prabowo Gibran dapatnya seupil," ujar Salamudin.
Tantangan dalam Pengelolaan Penerimaan Negara
Meskipun potensi pendapatan negara dari sektor batu bara tampak menggiurkan, Salamudin Daeng menyoroti penerimaan negara selama ini dari sektor tersebut tidak selalu sesuai ekspektasi. Dalam RAPBN 2025, pemerintah memproyeksikan pendapatan dari sumber daya alam sebesar Rp217,96 triliun, yang mencakup minyak bumi, gas bumi, serta pendapatan non-migas seperti mineral dan batu bara.
Salamudin berpendapat, dengan produksi batu bara mencapai 1 miliar ton, pendapatan dari batu bara saja bisa jauh melampaui akumulasi seluruh pendapatan dari sektor migas dan pertambangan lainnya. "Batubara telah mengambil alih APBN dari dominasi minyak," ujarnya. Ia mengingatkan produksi migas Indonesia terus merosot selama beberapa dekade terakhir.
Pada puncaknya, produksi minyak mentah Indonesia pernah mencapai 1,6 juta barel per hari, namun saat ini hanya tersisa sekitar 600 ribu barel per hari. Kondisi ini menyebabkan ketergantungan yang besar pada impor migas dan subsidi BBM serta LPG 3 kilogram.
Namun, Salamudin juga mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam mengelola sektor batu bara ini. "Pengusaha batu bara rata-rata pelit. Mereka lebih memilih menjual murah ke luar negeri agar tidak terkena peraturan pajak yang berlaku di Indonesia," ungkapnya. Jika hal ini terus dibiarkan, ia menambahkan, potensi pendapatan negara dari batu bara bisa tidak maksimal.
Perketat Pengawasan
Menghadapi tantangan ini, Salamudin mendesak pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap pengusaha batu bara. Ia berharap agar pemerintah dapat memastikan setiap transaksi batubara, terutama yang diekspor, dilaporkan secara transparan dan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Tanpa langkah pengawasan yang tegas, potensi pendapatan negara dari sektor ini bisa hilang atau malah disimpan di luar negeri.
Dengan proyeksi produksi batu bara yang mendekati 1 miliar ton, pemerintah diharapkan dapat memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, seperti yang diingatkan Salamudin, langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati agar potensi besar dari sektor batu bara tidak tergerus oleh praktik-praktik yang merugikan negara.(*)