KABARBURSA.COM – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima, mengatakan beban membereskan masalah di pesisir dan kepulauan tak bisa digantungkan hanya pada Kementerian Dalam Negeri. Kompleksitas kawasan—dari konflik izin tambang hingga sengkarut tata ruang—menurut dia, menuntut pendekatan lintas kementerian dan lembaga agar pengelolaan sumber daya alam berjalan selaras.
Ia mencontohkan tumpang-tindih kewenangan antara pusat dan daerah yang kerap memicu sengketa di lapangan. Sentralisasi izin pertambangan di pemerintah pusat, misalnya, kerap menabrak kepentingan masyarakat lokal sekaligus menimbulkan celah regulasi.
“Misalnya soal pengelolaan wilayah tambang, ini bukan hanya urusan Kemendagri, tapi juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian ESDM. Kita perlu arah yang jelas, mau dibawa ke mana aset-aset daerah ini?” katanya kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 25 Juni 2025.
Aria menekankan perlunya peta jalan nasional yang memadukan aspek ekonomi, lingkungan, dan hak masyarakat adat, sehingga aset pesisir tak lagi tergerus oleh kebijakan sektoral yang berjalan sendiri-sendiri.
Aria menilai banyak pemerintah daerah masih gamang menetapkan prioritas pembangunan ekonomi. Ia mencatat sebagian daerah terjepit antara kebutuhan menggali tambang demi meningkatkan pendapatan asli daerah dan tuntutan menjaga kelestarian lingkungan atau mengembangkan sektor pariwisata serta perikanan.
Menurutnya, sejumlah wilayah yang secara hukum seharusnya bebas dari aktivitas tambang tetap saja diutak-atik untuk eksploitasi mineral. Ia menyebut situasi itu fatal dan menandakan pemerintah belum tegas menentukan penekanan kebijakan—apakah ingin mendorong ekonomi biru, pariwisata, atau pemanfaatan sumber daya alam lain.
Ia juga menyoroti kebijakan pembangunan yang masih berorientasi Jakarta. Sentralisasi kewenangan, katanya, membuat daerah sekadar menunggu aliran dana transfer. Namun begitu kewenangan didelegasikan, pelaksanaannya kerap tidak patuh aturan, memperlihatkan kontradiksi antara desentralisasi fiskal dan kemampuan eksekusi di lapangan.
Politikus PDI Perjuangan tersebut menekankan perlunya kerangka pembangunan nasional yang berpijak pada potensi spesifik setiap wilayah. Ia mendorong pemerintah pusat segera merumuskan skala prioritas konkret—terutama bagi kawasan pesisir dan kepulauan—agar arah pembangunan tak lagi kabur dan tumpang-tindih.
“Kita butuh rencana induk. Mana daerah yang diorientasikan untuk kelautan, mana untuk pariwisata, mana untuk pertanian atau pertambangan. Jangan semua dicampur, nanti yang terjadi tumpang tindih regulasi dan konflik kepentingan,” ucapnya.
Menurut Aria, tanpa arah kebijakan yang jelas, daerah hanya akan bergerak sendiri-sendiri dan kerap kali berbenturan dengan peraturan pusat atau kepentingan lingkungan jangka panjang.
Aria Bima memastikan seluruh isu—dari konflik tambang hingga tata kelola geopark—akan dibedah dalam rapat kerja khusus Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri serta para kepala daerah pesisir dan kepulauan pada 7 Juli 2025. Ia menyebut pertemuan tersebut krusial untuk menyelaraskan visi pembangunan pusat–daerah.
Menurut dia, suara kepala daerah tetap harus diakomodasi, namun pelaksanaannya mesti mendapat rambu hukum dan prinsip keberlanjutan yang jelas. Aria menambahkan, daerah tak bisa selamanya dipasung dalam mengelola asetnya, tetapi juga tak boleh dibiarkan melangkah tanpa koordinasi nasional.
“Pembangunan Indonesia-Sentris butuh koordinasi yang serius. Kalau tidak, yang rugi bukan hanya daerah tapi bangsa secara keseluruhan,” kata Aria.