Logo
>

DPR Kritik Kredibilitas Fiskal usai Rating Investasi Turun

Goldman Sachs menurunkan peringkat obligasi dan saham Indonesia, sementara arus modal asing keluar Rp23 triliun. DPR menilai investasi makin sulit masuk dan ekonomi kian terancam.

Ditulis oleh Dian Finka
DPR Kritik Kredibilitas Fiskal usai Rating Investasi Turun
Rapat Komisi XI DPR RI bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 13 Maret 2025. Foto: KabarBursa/Dian Finka.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Indonesia kembali mendapat kabar kurang sedap dari dunia keuangan global. Setelah sebelumnya Morgan Stanley menurunkan peringkat obligasi Indonesia dari neutral menjadi underweight, kini giliran Goldman Sachs yang mengambil langkah serupa. Lembaga keuangan internasional itu memangkas bond rating Indonesia dari overweight menjadi neutral weight, sekaligus menurunkan peringkat pasar saham dari overweight menjadi market weight

    Anggota Komisi XI DPR, Harris Turino, menyoroti dampak besar dari keputusan ini terhadap persepsi investor global terhadap Indonesia. Menurutnya, situasi ini bukan sekadar penurunan peringkat biasa, tetapi juga memengaruhi arus modal asing yang keluar dari pasar Indonesia. 

    “Dampaknya besar sekali. Indonesia kini dipersepsikan tidak lagi sebagai negara yang ramah investasi. Akibatnya, dalam beberapa minggu terakhir terjadi arus keluar dana asing dari pasar modal kita mencapai Rp23 triliun,” ujarnya dalam rapat bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 13 Maret 2025. 

    Harris mengatakan penurunan peringkat ini bukan hanya sekadar angka di laporan keuangan, tetapi berpotensi mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi. Investor mulai melirik negara lain yang dianggap lebih stabil dan memiliki kebijakan yang lebih menarik. 

    Fenomena peralihan investasi ini makin nyata dengan keputusan beberapa perusahaan global yang lebih memilih negara lain ketimbang Indonesia. Harris menyoroti keputusan TikTok yang justru mengucurkan investasi senilai Rp132 triliun ke Thailand, padahal jumlah pengguna TikTok di Indonesia jauh lebih besar, yakni mencapai 107 juta orang atau satu setengah kali populasi Thailand. 

    Tak hanya TikTok, Apple juga lebih memilih Vietnam sebagai basis investasinya. Perusahaan raksasa teknologi itu menggelontorkan Rp255 triliun ke negara tersebut hingga menciptakan sekitar 200 ribu lapangan kerja baru. “Ini jelas menunjukkan bahwa Indonesia semakin tidak menarik bagi investor,” tegas Harris. 

    Keputusan perusahaan-perusahaan besar ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang membuat investor enggan menanamkan modal di Indonesia. Bisa jadi karena kebijakan yang kurang kondusif atau ketidakpastian ekonomi yang membuat mereka memilih bermain aman di negara lain. 

    Turunnya peringkat ini juga berimbas pada meningkatnya imbal hasil obligasi Indonesia yang akhirnya membebani anggaran pemerintah. “Bond kita bunganya akan lebih tinggi, sementara pemerintah sedang mengalami keterbatasan dana,” kata Harris. 

    Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini juga mengkritik kondisi fiskal yang makin mengkhawatirkan. Data penerimaan pajak Januari 2025 menunjukkan angka yang tidak menggembirakan, hanya mencapai Rp88,89 triliun atau mengalami kontraksi 41 persen. Harris menyoroti lambatnya transparansi fiskal pemerintah, di mana laporan keuangan yang seharusnya rutin dipublikasikan justru sempat menghilang dari radar. 

    “Investor melihat ini sebagai tanda tanya besar terhadap kredibilitas fiskal kita. Apalagi, ada indikasi bahwa pada Februari kontraksi pajak bisa mencapai 30 hingga 40 persen,” tambahnya. 

    Banyak yang menduga anjloknya penerimaan pajak ini berkaitan dengan sistem Core Tax (Cortex) yang dinilai bermasalah. Namun, Harris menegaskan jika hanya Cortex yang menjadi penyebab, maka solusinya masih bisa ditemukan. “Jika hanya masalah Cortex, ini masih bisa diperbaiki. Tapi bagaimana jika masalah utamanya adalah bahwa berusaha di Indonesia memang semakin sulit? Penurunan pendapatan dan laba perusahaan tentu berdampak pada penerimaan pajak,” ungkapnya. 

    Ekonomi di Ujung Tanduk

    Pengamat pasar modal, Ibrahim Assuaibi, menilai langkah Goldman Sachs yang menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight berkaitan erat dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Salah satu yang menjadi perhatian adalah program tiga juta rumah yang tengah digenjot pemerintah lewat Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). 

    Bersamaan dengan itu, Kementerian Keuangan juga diperkirakan akan melakukan lelang obligasi perumahan sebagai bagian dari strategi pembiayaan proyek tersebut. Namun, menurut Ibrahim, ada kekhawatiran besar ihwal siapa yang akan menyerap obligasi ini. “(Lelang Obligasi) itu kemungkinan besar yang akan melakukan pembelian adalah Bank Indonesia, ini kan sebelumnya sudah ada pembicaraan-pembicaraan. Nah ini rupanya menurut Goldman Sachs kurang bagus,” kata Ibrahim kepada KabarBursa.com melalui sambungan telepon di Jakarta, Selasa, 11 Maret 2025.  

    Ibrahim menjelaskan lelang obligasi idealnya dilepas ke pasar sehingga pengusaha baik dari dalam maupun luar negeri bisa berpartisipasi dalam pembelian surat utang tersebut. Jika hanya mengandalkan Bank Indonesia, hal ini bisa memunculkan kekhawatiran terhadap stabilitas fiskal negara.

    Selain itu, Indonesia juga diperkirakan mengalami defisit anggaran pada 2025 karena belanja pemerintah yang membengkak. Beberapa program besar seperti Makan Bergizi Gratis atau MBG, relokasi anggaran, hingga pembentukan BPI Danantara disebut sebagai faktor utama yang menyedot keuangan negara.   

    Dampak dari kondisi ini pun mulai terasa di sektor riil. Banyak perusahaan manufaktur yang terpaksa gulung tikar dan mengakibatkan PHK massal yang berujung pada daya beli masyarakat yang melemah.  Menurut Ibrahim, kelompok kelas menengah ke bawah paling rentan terdampak situasi ini. “Kelas menengah ke bawah jika mengalami masalah itu bisa kelihatan dari apa? Dari penjualan retail, properti, otomotif, yang mengalami penurunan cukup signifikan,” kata Ibrahim.  

    Dengan tekanan ekonomi yang terus meningkat, peringatan Goldman Sachs ini menjadi sinyal serius bagi pemerintah agar lebih berhati-hati dalam mengelola kebijakan fiskal dan investasi. Jika tidak ada strategi yang jelas, bukan tidak mungkin kepercayaan investor akan terus melemah dan memperburuk arus modal keluar dari Indonesia.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.