Pada tahap ini, uap dihasilkan dari boiler untuk pertama kalinya, yang kemudian digunakan untuk membersihkan saluran pipa uap hingga kualitas uap menjadi bersih sebelum memasuki turbin. Proses ini menandai langkah penting menuju penyelesaian proyek PLTU Lombok FTP-2.
Direktur Utama Rekind, Triyani Utaminingsih, menyatakan bahwa first firing ini merupakan milestone penting yang menunjukkan komitmen perusahaan untuk melanjutkan tahapan proyek dengan kinerja terbaik, demi memastikan keberhasilan proyek sesuai target. PLTU Lombok FTP-2 diharapkan memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan penyediaan energi yang andal di NTB. Seperti dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu 31 Agustus 2024.
PLTU ini dirancang dengan teknologi mutakhir yang dikembangkan oleh Rekind dan mematuhi standar lingkungan yang ketat, sehingga diharapkan dapat beroperasi dengan efisiensi tinggi dan ramah lingkungan. Sebelum tahapan first firing, dilakukan pengujian terhadap berbagai peralatan pendukung seperti sistem pendingin, sistem kipas, sistem bahan bakar, dan sistem instrumen.
Keberhasilan first firing membuka jalan untuk proses komisioning berikutnya, yaitu "coal firing" dan sinkronisasi dengan sistem kelistrikan. Seluruh kegiatan proyek ini ditargetkan mencapai 94,68 persen pada akhir tahun 2024.
Triyani menambahkan bahwa keberhasilan ini merupakan bukti dedikasi dan keahlian Rekind dalam melaksanakan proyek-proyek energi skala besar di Indonesia. Perusahaan akan terus bekerja keras untuk memastikan bahwa proyek ini selesai tepat waktu dan memenuhi semua ekspektasi pemangku kepentingan.
Wacana Sejumlah Rencana Pensiun Dini
Dalam rangka mewujudkan net zero emission (NZE) di tahun 2060, pemerintah mulai merancang sejumlah rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Teranyar, pemerintah berencana pensiunkan PLTU Suralaya dengan tujuan menjaga kualitas udara di Jakarta.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam acara Hannover Messe 2023, sempat mengungkap target Indonesia bebas PLTU pada 2050. Adapun target tersebut ditetapkan demi menunjang NZE pada 2060.
Kendati begitu, rencana pensiun dini PLTU di seluruh Indonesia masih diragukan sejumlah pihak lantaran dana besar yang digelontorkan untuk pensiun dini satu PLTU. Jika mengacu pada skema awal pensiun dini PLTU Cirebon 1, dana yang dibutuhkan mencapai USD1,3 miliar atau setara Rp21 triliun.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, sendiri meragukan langkah tersebut. Pasalnya, jika mengacu pada data Dewan Energi Nasional (DEN) pada awal 2024, penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia baru mencapai 13 persen dari target yang ditetapkan tahun ini sebesar 23 persen.
“Kalau melihat sampai saat ini, nampaknya sulit juga untuk bisa mencapai 100 persen pembangkit listrik energi terbarukan pada 2050,” kata Fahmy kepada Kabar Bursa, Kamis, 15 Agustus 2024.
Sementara untuk melakukan pensiun dini PLTU, Fahmy memandang pemerintah tidak bisa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, biaya pensiun PLTU perlu melibatkan investor asing dan dana pinjaman internasional.
“Pendanaan itu tidak bisa dari APBN atau PLN tidak akan mampu membiayai pensiun dini tadi. Maka harus mencari, apakah pembiayaan dari Asian Development Bank (ADB) misalnya. Atau mengundang investor untuk membangun pembangkit yang menggunakan EBT, yang bisa menggantikan yang pensiun dini PLTU,” jelasnya.
Di sisi lain, dalam menjalankan Rencana pensiun dini PLTU, pemerintah juga perlu memperhatikan nilai ekonomis, termasuk dengan rencana memensiunkan PLTU Suralaya. Pasalnya, langkah pensiun PLTU tidak bisa dilakukan seketika seandainya masih menyimpan nilai ekonomis yang tinggi.
“Kalau tidak ada yang membiayai, ya sangat sulit, karena PLTU itu di pensiunkan, kan harus ada gantinya, gantinya juga harus dalam energi baru yang terbarukan. Sehingga dengan begitu kan langsung ada penggantinya, kalau tidak, maka berpotensi akan menjadi defisit listrik,” tutupnya.
Gimick Komitmen Dunia Internasional
Dihubungi terpisah, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mulyanto menegaskan, mestinya pemerintah Indonesia tidak terpengaruh dengan komitmen internasional yang bersifat gimick. Adapun hal itu dia ungkap mengacu pada rencana pensiun dini PLTU sesuai dengan komitmen dunia sekaligus juga tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disusun oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN).
“Saya kira, kita jangan mau didikte oleh dunia internasional dengan komitmen yang bersifat gimmick. Kita harus rasional-obyektif di atas nasional interest untuk mensejahterakan rakyat,” kata Mulyanto kepada Kabar Bursa.
Mulyanto menegaskan, pemerintah mesti memegang target yang telah ditetapkannya secara realistis, yakni NZE pada 2060. Sementara saat ini, dia menyebut Komisi VII DPR RI bersama Dewan Energi Nasional tengah menggodok kebijakan energi nasional (KEN).
“Komisi VII DPR RI bersama DEN masih menggodok KEN yang salah satunya berisi target NZE tersebut. Ini belum putus,” tegasnya.
Lebih jauh, Mulyanto menegaskan, target NZE 2060 tidak serta diartikan sebagai penutupan seluruh PLTU di Indonesia. Apalagi saat ini, kata dia, Indonesia memiliki program khusus terkait absorpsi karbon.
“NZE juga bukan berarti zero PLTU. Jadi netto antara emisi dan absorpsi karbon-nya zero. Karenanya kita punya target-target untuk program absorpsi karbon,” tutupnya.(*)